Pages

Selasa, November 1

Bejalar dari Kebaikan Orang Lain



Dalam hidup ini siapapun harus berbuat baik dan kelak meninggalkan  kebaikan. Tidak semestinya  hidup  tanpa  meninggalkan apa-apa. Hidup harus bermakna. Kebaikan itu berupa apa saja, hingga yang penting adalah memberikan  kemudahan atau melapangkan bagi orang lain.

Sekalipun bergitu, ternyata berbuat baik terhadap orang lain tidak mudah dilakukan. Sehari -hari yang terpikir adalah justru sebaliknya. Yaitu bagaimana agar orang lain selalu melapangkan dan  memudahkan bagi dirinya. Bahkan apapun yang sudah dilakukan oleh orang lain dianggap tidak cukup, atau kurang sempurna.

Orang yang seperti digambarkan  itu,  selalu berharap agar selalu mendapatkan sesuatu. Kebutuhannya sudah dicukupi dan juga persoalannya  diselesaikan. Orang lain selalu dituntut agar berbuat baik pada dirinya. Sementara dia sendiri tidak  berpikir untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Mereka itu lupa bahwa orang lain sudah sedemikian  banyak berbuat baik dan melapangkan  hidupnya.

Kesadaran bahwa sudah banyak orang lain berbuat baik terhadap dirinya, kadang masih perlu ditumbuh-kembangkan.   Hal itu tidak saja diperlukan bagi orang yang berpendidikan  rendah, tetapi juga terhadap orang yang telah meraih pendidikan tertinggi sekalipun. Tidak selalu dipahami bahwa prestasi yang diraih oleh seseorang sebenarnya adalah merupakan akumulasi dari kebaikan berbagai orang yang melakukan peran berbeda-beda.

Seseorang yang mendapatkan kebahagiaan oleh karena disertasinya telah diujikan dan lulus  hingga berhak menyandang gelar Doktor sekalipun, belum tentu  menyadari bahwa prestasi itu adalah merupakan hasil kebaikan dari berbagai pihak.  Bagi orang yang tidak berpikir orang lain, maka seolah-olah gelarnya itu merupakan  prestasinya sendiri, tanpa ada sumbangan dari orang lain.  Padahal jika direnungkan secara mendalam, tentu tidak sedikit sumbangan orang lain hingga menghasilkan prestasi itu.

Pada kenyataannya,  seseorang lulus menjadi Doktor, maka sebenarnya sedemikian banyak orang  yang telah memberikan andil terhadap keberhasilan itu. Misalnya saja adalah para gurunya, mulai dari  guru sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Selain itu, adalah kedua orang tuanya, saudara-saudaranya,  isteri dan anak-anaknya, para teman-temannya. Bahkan,  jika ingin disebut  secara lebih sempurna lagi, adalah juga jasa  para pegawai kampus itu, mulai dari para petugas administrasi, tukang sapu, pihak keamanan dan juga pihak-pihak lainnya yang tidak mungkin  disebutkan.

Oleh karena itu, maka artinya bahwa keberhasilannya  itu sebenarnya diperoleh dari kebaikan orang lain yang jumlahnya sedemikian banyak. Orang lain lah yang sebenarnya telah memberikan andil pada keberhasilan itu. Keberhasilan  tersebut adalah diraih bukan semata-mata  atas kekuatan  yang bersangkutan sendiri,   tetapi  keberhasilan itu adalah oleh karena telah banyak orang lain berbuat baik.

Merenungkan kebaikan orang lain terhadap dirinya adalah penting. Dengan mengingat –ingat kebaikan orang lain, maka yang bersangkutan akan tergerak untuk melakukan kebaikan serupa, dan bahkan lebih. Jika orang lain telah berbuat baik, maka pertanyaan mendasar yang seharusnya muncul dari yang bersangkutan adalah kebaikan apa yang seharusnya diberikan kepada orang lain  dalam kehidupan ini.

Hal sedemikian itu sebenarnya sangat mudah dipahami, tetapi ternyata tidak semua orang berhasil melakukannya. Banyak orang  menuntut agar orang lain berbuat baik terhadap dirinya. Sementara itu mereka tidak pernah memberikan apa-apa kepada orang lain. Islam sebenarnya, adalah ajaran  agar para pemeluknya memberi manfaat dan bukan sebaliknya, yaitu  sebatas menikmati kebaikan atau manfaat dari orang lain.

Orang seringkali merasa beruntung karena mendapatkan kebaikan dari orang lain. Padahal sebenarnya yang justru beruntung adalah orang-orang  yang selalu berbuat baik dan atau memberikan kebaikan kepada orang lain. Sebaik-baik orang adalah mereka yang  berbuat baik terhadap orang lain, dan bukan sebaliknya,  yaitu sebatas menerima kebaikan atau manfaat. Wallahu a’lam.    

0 komentar: