Wakil Presiden R.I. Jusuf Kalla menyatakan bahwa “pemberantasan korupsi di Indonesia jangan sampai menghambat dan menghancurkan perekonomian dan tujuan berbangsa, yaitu mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat”. Lebih lanjut Jusuf Kalla menyatakan bahwa “Jangan sampai pemberantasan korupsi hanya memberikan ketakutan kepada pejabat dan siapapun juga, akan tetapi juga harus membuat agar perekonomian kita tetap bisa berjalan”. Entah siapa yang membuat konsep dalam sambutan Jusuf Kalla ini (mungkin juga pernyataan ini bersumber dari pemikiran beliau sendiri), namun pernyataan yang dikutip Kompas ini berusaha menggambarkan hubungan antara korupsi atau pemberantasan korupsi dengan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan tulisan tersebut saya bisa menangkap satu benang merah bahwa Jusuf Kalla berpendapat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini telah menjadi terror bagi pejabat publik dan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Sekilas mungkin pendapat ini dapat diterima, namun sayang sekali bahwa ternyata pernyataan Jusuf Kalla ini tidak memiliki dasar dan gagal menyoroti hubungan sebenarnya antara Korupsi dan pertumbuhan ekonomi.
Bahwa pemberantasan korupsi telah menghambat pertumbuhan ekonomi adalah satu pendapat yang menggelikan dan tidak memiliki dasar argumen yang jelas. Walaupun ada beberapa tulisan yang menyatakan bahwa korupsi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, seperti apa yang ditulis oleh Huntington (1968) dan Leff (1964). Kaufman dan Wei (2000) dan Braguinsky (1996) menyatakan bahwa korupsi dapat mempercepat pertumbuhan (ekonomi). Korupsi juga membuka kesempatan kepada para pengusaha untuk memotong rantai birokrasi sehingga meningkatkan efisiensi produksi (Bardhan, 1997). Disamping itu Huntington (2002) juga percaya bahwa korupsi dikalangan politisi dapat menjadi perekat yang akan menurunkan potensi konflik politik sehingga secara tidak langsung akan menigkatkan pertumbuhan ekonomi.
Seluruh argumen yang dikemukakan di atas jelas sangatlah segmentatif dan gagal menyoroti sisi lain dari korupsi yaitu massifnya dampak negatif, terutama di bidang ekonomi dan sosial, yang muncul akibat dari toleransi terhadap perbuatan-perbuatan koruptif. Argumentasi yang mungkin diambil oleh Jusuf Kalla (bila memang ada) untuk mendukung pendapat bahwa korupsi bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi memiliki paling tidak dua benang merah yang serupa. Keduanya merupakan suatu mekanisme untuk menjelaskan bagaimana korupsi menjadi katalis dalam pertumbuhan ekonomi. Pertama tindakan koruptif seperti suap dapat membuka kesempatan kepada seseorang (baca: pengusaha) untuk menghindari kelambanan birokrasi. Kedua, pejabat publik yang menerima suap kinerjanya akan lebih meningkat terutama jika suap tersebut dinikmati oleh banyak pihak. Kedua argumen ini tentu saja tidak bisa diterima karena terlalu dangkal, bersifat temporer dan mengabaikan dampak negatif yang lebih besar yang disebabkan karena sikap permisif terhadap perbuatan-perbuatan koruptif.
Kontras dengan pemikiran Jusuf Kalla yang berpendapat bahwa pemberantasan korupsi akan menghambat pertumbuhan ekonomi, banyak hasil penelitian justru telah membuktikan keadaan sebaliknya yang berbeda 180 derajat. Korupsi memiliki hubungan langsung dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi (Shleifer dan Fishny), menurunkan efisiensi (Kaufman dan Wei, 2000), menurunkan perolehan negara atas pajak dan sebaliknya meningkatkan pertumbuhan ekonomi illegal seperti pasar gelap (black market) dan penyelundupan (Frye dan Zhuravskaya (2000), Johnson, Kaufman, McMillan, dan Woodruff (2000), dan Schneider(2000)). Korupsi juga telah terbukti menghambat pertumbuhan ekonomi dengan cara mempengaruhi pendapatan perkapita penduduk, tingkat kematian bayi, dan angka kebodohan (Kaufman, Kraay, dan Mastruzzi (2003), dan Kaufman, Pradhan, dan Pytherman (1998)). Bukan itu saja, korupsi juga menurunkan angka investasi baik publik maupun privat (Habib dan Zurawksi (2002), Wei (2000), dan Mauro (1998), mempengaruhi efektifitas dan efisiensi pengeluaran atau belanja pemerintah yang tercermin melalui APBN karena korupsi terbukti mempengaruhi penilaian para pengambil kebijakan di bidang ekonomi (Bai dan Wei, 2000). Korupsi juga terbukti telah menurunkan tingkat efisiensi investasi dengan meningkatkan angka non-performing loan alias kredit macet yang diakibatkan pemberian kredit yang tidak berdasarkan penilaian-penilaian ekonomi secara obyektif karena telah terdistorsi oleh perbuatan koruptif seperti suap. Banyak lagi argumen-argumen yang berujung pada kesimpulan bahwa korupsi telah menurunkan angka pertumbuhan ekonomi yang tidak atau belum saya bahas di sini.
Argumen yang diambil oleh Jusuf Kalla adalah pendapat usang yang sudah tidak layak dan memang terbukti tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pendapat atau permintaan Jusuf Kalla ini untuk diabaikan karena jelas-jelas tidak memiliki dasar argumentasi yang memadai dan cenderung menyesatkan. Komentar selanjutnya berkaitan dengan pelarangan pemberian parsel semakin memperjelas bahwa Jusuf Kalla tidak memiliki dasar argumen kuat yang mendukung pendapat bahwa pemberantasan korupsi telah menghambat pertumbuhan ekonomi. Sekilas seperti berpihak pada para pengusaha parsel namun sebenarnya justru telah mengabaikan dampak jangka panjang permisifitas terhadap budaya korupsi yang akan menghancurkan masyarakat dalam cakupan yang lebih luas, bukan saja pedagang atau pengusaha parsel namun seluruh lapisan masyarakat.
Ketakutan para pejabat untuk mengambil keputusan bukanlah sebuah argumen yang tepat untuk mengambil sikap berseberangan dengan gerakan pemberantasan korupsi. Ketakutan pejabat lebih disebabkan karena tidak profesionalnya para pejabat itu sendiri yang telah terbiasa dengan pola kerja seadanya dan tidak akuntabel. Lebih jauh para pejabat yang ada sekarang lebih mementingkan hubungan personal dengan atasan melalui lobby dan upeti yang tentu saja tidak sesuai dengan aturan dan prosedur yang benar. Pengelolaan anggaran negara yang amatiran dan seadanya juga telah menjadi satu masalah kunci yang seolah-olah sengaja untuk dipelihara sebagai lumbung korupsi pihak-pihak yang selama ini menikmatinya. Pada akhirnya, dengan pemikiran dan logika yang pendek serta tidak berdasar, jadilah gerakan anti korupsi yang menjadi sasaran tembak sebagai penyebab kemunduran kinerja pemerintahan. Analogi yang tidak masuk akal.
Saya tidak mengerti, ingin sepelan apalagi-kah pemberantasan korupsi yang diinginkan oleh Jusuf Kalla? Komentar-komentar ini seolah-olah bukan dikemukakan oleh seorang Wakil presiden, tetapi lebih terdengar sebagai seorang pengusaha yang memang karena terpaksa atau tidak ‘sudah terbiasa’ dengan pola-pola lama yang koruptif. Pemberantasan korupsi di Indonesia tidak bisa dikatakan cepat, bahkan lebih tepat untuk dikatakan sangat lamban karena tidak dibarengi dengan reformasi yang menyeluruh di sektor birokrasi serta dukungan politik yang lemah (baca: dukungan politik dari parlemen). Bandingkan, untuk tingkat asia Tenggara saja, Indonesia tidak lebih baik dari Vietnam yang baru saja selesai perang dan bahkan tidak lebih baik dari Timor Leste (CPI 2006). Apakah kenaikan 0,2 dalam Corruption perception Index yang dikeluarkan Transparency International dijadikan pedoman Jusuf Kalla bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia terlalu cepat? Bahkan kenaikan 0,2 dalam CPI tidak bisa dijadikan ukuran membaiknya angka korupsi, jadi apa yang sebenarnya menjadi pedoman beliau dalam mengukur cepat lambannya pemberantasan korupsi? Wallahualam….
Bahwa pemberantasan korupsi telah menghambat pertumbuhan ekonomi adalah satu pendapat yang menggelikan dan tidak memiliki dasar argumen yang jelas. Walaupun ada beberapa tulisan yang menyatakan bahwa korupsi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, seperti apa yang ditulis oleh Huntington (1968) dan Leff (1964). Kaufman dan Wei (2000) dan Braguinsky (1996) menyatakan bahwa korupsi dapat mempercepat pertumbuhan (ekonomi). Korupsi juga membuka kesempatan kepada para pengusaha untuk memotong rantai birokrasi sehingga meningkatkan efisiensi produksi (Bardhan, 1997). Disamping itu Huntington (2002) juga percaya bahwa korupsi dikalangan politisi dapat menjadi perekat yang akan menurunkan potensi konflik politik sehingga secara tidak langsung akan menigkatkan pertumbuhan ekonomi.
Seluruh argumen yang dikemukakan di atas jelas sangatlah segmentatif dan gagal menyoroti sisi lain dari korupsi yaitu massifnya dampak negatif, terutama di bidang ekonomi dan sosial, yang muncul akibat dari toleransi terhadap perbuatan-perbuatan koruptif. Argumentasi yang mungkin diambil oleh Jusuf Kalla (bila memang ada) untuk mendukung pendapat bahwa korupsi bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi memiliki paling tidak dua benang merah yang serupa. Keduanya merupakan suatu mekanisme untuk menjelaskan bagaimana korupsi menjadi katalis dalam pertumbuhan ekonomi. Pertama tindakan koruptif seperti suap dapat membuka kesempatan kepada seseorang (baca: pengusaha) untuk menghindari kelambanan birokrasi. Kedua, pejabat publik yang menerima suap kinerjanya akan lebih meningkat terutama jika suap tersebut dinikmati oleh banyak pihak. Kedua argumen ini tentu saja tidak bisa diterima karena terlalu dangkal, bersifat temporer dan mengabaikan dampak negatif yang lebih besar yang disebabkan karena sikap permisif terhadap perbuatan-perbuatan koruptif.
Kontras dengan pemikiran Jusuf Kalla yang berpendapat bahwa pemberantasan korupsi akan menghambat pertumbuhan ekonomi, banyak hasil penelitian justru telah membuktikan keadaan sebaliknya yang berbeda 180 derajat. Korupsi memiliki hubungan langsung dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi (Shleifer dan Fishny), menurunkan efisiensi (Kaufman dan Wei, 2000), menurunkan perolehan negara atas pajak dan sebaliknya meningkatkan pertumbuhan ekonomi illegal seperti pasar gelap (black market) dan penyelundupan (Frye dan Zhuravskaya (2000), Johnson, Kaufman, McMillan, dan Woodruff (2000), dan Schneider(2000)). Korupsi juga telah terbukti menghambat pertumbuhan ekonomi dengan cara mempengaruhi pendapatan perkapita penduduk, tingkat kematian bayi, dan angka kebodohan (Kaufman, Kraay, dan Mastruzzi (2003), dan Kaufman, Pradhan, dan Pytherman (1998)). Bukan itu saja, korupsi juga menurunkan angka investasi baik publik maupun privat (Habib dan Zurawksi (2002), Wei (2000), dan Mauro (1998), mempengaruhi efektifitas dan efisiensi pengeluaran atau belanja pemerintah yang tercermin melalui APBN karena korupsi terbukti mempengaruhi penilaian para pengambil kebijakan di bidang ekonomi (Bai dan Wei, 2000). Korupsi juga terbukti telah menurunkan tingkat efisiensi investasi dengan meningkatkan angka non-performing loan alias kredit macet yang diakibatkan pemberian kredit yang tidak berdasarkan penilaian-penilaian ekonomi secara obyektif karena telah terdistorsi oleh perbuatan koruptif seperti suap. Banyak lagi argumen-argumen yang berujung pada kesimpulan bahwa korupsi telah menurunkan angka pertumbuhan ekonomi yang tidak atau belum saya bahas di sini.
Argumen yang diambil oleh Jusuf Kalla adalah pendapat usang yang sudah tidak layak dan memang terbukti tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pendapat atau permintaan Jusuf Kalla ini untuk diabaikan karena jelas-jelas tidak memiliki dasar argumentasi yang memadai dan cenderung menyesatkan. Komentar selanjutnya berkaitan dengan pelarangan pemberian parsel semakin memperjelas bahwa Jusuf Kalla tidak memiliki dasar argumen kuat yang mendukung pendapat bahwa pemberantasan korupsi telah menghambat pertumbuhan ekonomi. Sekilas seperti berpihak pada para pengusaha parsel namun sebenarnya justru telah mengabaikan dampak jangka panjang permisifitas terhadap budaya korupsi yang akan menghancurkan masyarakat dalam cakupan yang lebih luas, bukan saja pedagang atau pengusaha parsel namun seluruh lapisan masyarakat.
Ketakutan para pejabat untuk mengambil keputusan bukanlah sebuah argumen yang tepat untuk mengambil sikap berseberangan dengan gerakan pemberantasan korupsi. Ketakutan pejabat lebih disebabkan karena tidak profesionalnya para pejabat itu sendiri yang telah terbiasa dengan pola kerja seadanya dan tidak akuntabel. Lebih jauh para pejabat yang ada sekarang lebih mementingkan hubungan personal dengan atasan melalui lobby dan upeti yang tentu saja tidak sesuai dengan aturan dan prosedur yang benar. Pengelolaan anggaran negara yang amatiran dan seadanya juga telah menjadi satu masalah kunci yang seolah-olah sengaja untuk dipelihara sebagai lumbung korupsi pihak-pihak yang selama ini menikmatinya. Pada akhirnya, dengan pemikiran dan logika yang pendek serta tidak berdasar, jadilah gerakan anti korupsi yang menjadi sasaran tembak sebagai penyebab kemunduran kinerja pemerintahan. Analogi yang tidak masuk akal.
Saya tidak mengerti, ingin sepelan apalagi-kah pemberantasan korupsi yang diinginkan oleh Jusuf Kalla? Komentar-komentar ini seolah-olah bukan dikemukakan oleh seorang Wakil presiden, tetapi lebih terdengar sebagai seorang pengusaha yang memang karena terpaksa atau tidak ‘sudah terbiasa’ dengan pola-pola lama yang koruptif. Pemberantasan korupsi di Indonesia tidak bisa dikatakan cepat, bahkan lebih tepat untuk dikatakan sangat lamban karena tidak dibarengi dengan reformasi yang menyeluruh di sektor birokrasi serta dukungan politik yang lemah (baca: dukungan politik dari parlemen). Bandingkan, untuk tingkat asia Tenggara saja, Indonesia tidak lebih baik dari Vietnam yang baru saja selesai perang dan bahkan tidak lebih baik dari Timor Leste (CPI 2006). Apakah kenaikan 0,2 dalam Corruption perception Index yang dikeluarkan Transparency International dijadikan pedoman Jusuf Kalla bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia terlalu cepat? Bahkan kenaikan 0,2 dalam CPI tidak bisa dijadikan ukuran membaiknya angka korupsi, jadi apa yang sebenarnya menjadi pedoman beliau dalam mengukur cepat lambannya pemberantasan korupsi? Wallahualam….
0 komentar:
Posting Komentar