Wadi’ah (selanjutnya disebut “titipan”) menurut bahasa, diambil dari kata “wada’a asy syai’u” yang berarti tetap dan diamnya sesuatu di suatu tempat. Sesuatu tersebut dikatakan “al-muda’u” karena dia tetap dan tersimpan tanpa dimanfaatkan. Sedangkan yang dimaksu dengan “wadi’ah” oleh syariat, yaitu fuqoha’, yaitu tindakan seseorang yang menjadikan orang lain berjasa atas harta miliknya dengan maksud orang tersebut menjaga harta untuknya. Harta resebut dikatakan “wadi’ah” (barang atau harta yang dititipakan, selanjutnya disebut “titipan”), dan dengannya pula akad ini dinamakan. Sedangkan pemilik harta dikatakan “mudi” (penitip), dan si penjaga dikatakan “wadi” (yang dititipi, selanjutnya disebut “penjaga”).
Kata wadi’ah berasal dari kata wada’asy syai-a, yaitu meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang orang tinggalkan pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah, karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga.[2]
Pengertian wadi’ah menurut bahasa adalah “Meninggalkan atau meletakkan. Yaitu meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga”. Sedangkan dalam istilah : “Memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/ barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu”.[3]
Ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh3, yaitu :[4]
1. Ulama madzhab hanafi mendefinisikan :
دلالة وأ صارحا ماله حفظ على الغير تسليط
“ mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat”
Umpamanya ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan si penerima titipan menjawab ia atau mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka akad tersebut sah hukumnya.
2. Madzhab Hambali, Syafi’I dan Maliki ( jumhur ulama ) mendefinisikan wadhi’ah sebagai berikut :
مخصوص وجه على مملوك حفظ في توكيل
“ mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu “
Dalam bidang ekonomi syariah, wadiah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat nasabah yang bersangkutan menghendaki. Bank bertanggungjawab atas pengembalian titipan tersebut.
A.2. Jenis-jenis Wadi’ah
Wadiah sendiri dibagi menjadi 2 yaitu:[5]
Ø Wadiah yad amanah
wadiah di mana si penerima titipan tidak bertanggungjawab atas kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan penerima titipan dalam memelihara titipan tersebut.
Pada keadaan ini barang yang dititipkan merupakah bentuk amanah belaka dan tidak ada kewajiban bagi wadii’ untuk menanggung kerusakan kecuali karena kelalaiannya.
Ø Wadiah yad dhomanah
wadiah di mana si penerima titipan dapat memanfaatkan barang titipan tersebut dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat kala si pemilik menghendakinya.
Wadiah dapat berubah menjadi yad dhomanah, yaitu wadii’ harus menanggung kerusakan atau kehilangan pada wadiah, oleh sebab-sebab berikut ini:
ü wadii’ menitipkan barang kepada orang lain yang tidak biasa dititipi barang.
ü wadii’ meninggalkan barang titipan sehingga rusak.
ü memanfaatkan barang titipan.
ü bepergian dengan membawa barang titipan.
ü jika wadii’ tidak mau menyerahkan barang ketika diminta muwaddi’, maka ia harus menanggung jika barang itu rusak.
ü mencampur dengan barang lain yang tidak dapat dipisahkan.[6]
A.3. Hukum Wadi’ah
Apabila seseorang menitipkan barang kepada saudaranya, maka ia wajib menerima titipan tersebut, bila ia merasa mampu menjaganya, hal ini termasuk dalam rangka tolong menolong dalam ketakwaan dan kewajiban.
Pihak penerima barang titipan wajib mengembalikan titipan kepada pemiliknya kapan saja ia memintanya. Firman allah SWT dalam surat An-nisa’ ayat 58:
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
Artinya : “ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. An-nisa’ : 58)
Dan dalam surat QS. Al-baqarah : 53
øÎ)ur $oY÷s?#uä ÓyqãB |=»tGÅ3ø9$# tb$s%öàÿø9$#ur öNä3ª=yès9 tbrßtGöksE ÇÎÌÈ
Artinya : “ dan (ingatlah), ketika Kami berikan kepada Musa Al kitab (Taurat) dan keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang salah, agar kamu mendapat petunjuk ”. (QS. Al-baqarah:53)
Dan sabda rosulullah, SAW :
“sampaikanlah amanat kepada orang yang memberi amanat kepadamu.” (Shahih: Shahihul Jami’aus Shaghir no: 240, Tirmidzi II: 368 no : 1282 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 450 no : 3518)[7]
Landasan Syariah, “Sesungguhnya Allah telah menyuruh kamu agar menyampaikan amanat kepada ahlinya.” (4 : 58). “Dan hendaklah orang yang diberikan amanat itu menyampaikan amanatnya” (2: 283).
“Tunaikanlah amanah yang dipercayakan kepadamu dan janganlah kamu mengkhiatani terhadap orang yang telah mengkhianatimu” . H. R. Abu Dawud dan Tirmidzi.
Ijma’ Para ulama daria zaman dulu sampai sekarang telah menyepakati akad wadiah ini karena manusia memerlukannya dalam kehidupan muamalah.[8]
Titipan itu masyru’ (disyari’atkan) berdasarkan ijmak. Alqur’an, dan sunnah. Allah SWT berfirman:
…… ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& …………. ÇËÑÌÈ
Artinya “……akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) ….” (QS. Albaqarah : 283)
Amirul Mukminin Ali as. Berkata, “janganlah kalian memandang kepada banyaknya sholat mereka dan puasa mereka, dan banyaknya haji mereka, amal baik dan ruku’ sujud mereka di malam hari. Akan tetapi, lihatlah kepada kejujuran ucapannya dan penunaian amanatnya.” Makna yang demikian ini mutawattir dari ahlu bait ‘alaihimus salam dengan berbagai bentuk pengungkapan.[9]
A.4. Syarat dan Rukun Wadi’ah
Rukun Wadiah :
* Muwaddi’ ( Orang yang menitipkan).
* Wadii’ ( Orang yang dititipi barang).
* Wadi’ah ( Barang yang dititipkan).
* Shighot ( Ijab dan qobul).
Syarat Rukun Yang dimaksud dengan syarat rukun di sini adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh rukun wadiah. Dalam hal ini persyaratan itu mengikat kepada Muwaddi’, wadii’ dan wadi’ah. Muwaddi’ dan wadii’ mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus balig, berakal dan dewasa. Sementara wadi’ah disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam kekuasaan/ tangannya secara nyata.
Sifat akad wadiah Karena wadiah termasuk akad yang tidak lazim, maka kedua belah pihak dapat membatalkan perjanjian akad ini kapan saja. Karena dalam wadiah terdapat unsur permintaan tolong, maka memberikan pertolongan itu adalah hak dari wadi’. Kalau ia tidak mau, maka tidak ada keharusan untuk menjaga titipan.
Namun kalau wadii’ mengharuskan pembayaran, semacam biaya administrasi misalnya, maka akad wadiah ini berubah menjadi “akad sewa” (ijaroh) dan mengandung unsur kelaziman. Artinya wadii’ harus menjaga dan bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu wadii’ tidak dapat membatalkan akad ini secara sepihak karena dia sudah dibayar.[10]
Dalam penitipan disyararatkan hal-hal berikut :[11]
1. ijab dari penitip dan qabul dari penjaga, baik ucapan maupun perbuatan. Lebih dari sekali telah kami jelaskan bahwa ijab dan qabul termasuk dari rukun. Sekedar izin dari pemilik untuk menjaga hartanya itu tidaklah cukup. Untuk itu, harus terdapat kesepakatan antara kehendaknya dan kehendak penjaga untuk menjaga harta sehingga akad akan terjadi.
2. Kedua belah pihak harus memiliki kelayakan untuk melakukan akad-akad yang berkaitan dengan harta. Jika seseorang yang baligh dan berakal menerima titipan dari anak kecil atau orang gila, maka dia harus menjamin barang tersebut (jika rusak atau hilang) meskipun bukan karena kesalahan atau kelalaiannya. Sebab, dia telah berbuat salah ketika bersedia menerimanya karena keduanya tidak berhak memberkani izin, tidak pula melakukan akad, kecuali jika anak sudah mampu membedakan berbagai hal (mumayyiz) dan diizinkan untuk membelanjakan hartanya, berdasarkan (pendapat yang mengatakan)nbolehnya pemberian izin kepada anak kecil (mumayyiz) untuk itu. Pembahasan tentang hal itu telah disampaikan dalam juz ketiga fasal “balig” paragraph “akad anak kecil”. Akan tetapi, jika seorang yang akil baligh merasa khawatir barang akan hilang di tangan anak kecil atau orang gila, maka dia boleh mengambil barang tersebut dari keduanya, dari bab hisbah (pengawasan), dengan tujuan menjaganya, dan berada di tangannya sebagai amanat syar’i, dengan syarat mengembalikannya kepada wali keduanya, bukan kepada keduanya.
A.5. Batalnya wadi’ah
Akad penitipan terbuka dari kedua sisi, maka masing-masing pihak dapat memfasakh kapan saja. Penulis al-jawahir berkata “”Terdapat ijmak pada yang demikian ini, dan ia meruapakan hujjah dalam mengkhususkan ayat :aufu bil ‘uqud (penuhilah akad-akad itu) dan dalil-dalil lain yang menunjukkan kemengikatan”
Dengan demikian, muamalah ini akan batal dengan salah satu dari empat hal berikut:[12]
1. Dengan fasakh oleh salah satu dari keduanya.
2. dengan kemtiannya. Sebab, akad terjadi di antara keduanya itu sendiri, dan tidak ada akad dengan ahli waris penitip, tidak pula ahli waris penjaga.
3. Penyakit gila. Sebab, penyakit gila akan mencabut hak muamalah dan menyerahkannya kepada orang lain yang tidak melakukan akad.
4. Pingsan, sama hukumnya dengan penyakit gila.
A.6. Menanggung Resiko
Pihak yang menerima titipan tidak mesti mengganti kerusakan barang titipan, kecuali karena sikap menggampangkannya . Rosulullah SAW bersabda
“dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya r.a bahwa rosulullah Saw bersabda, “ Barangsiapayang dititipi barang, maka ia tidak ada tanggungan atasnya.”(Hasan: Shahih ibnu majah no: 1945, Irwa-ul Ghalil no. 1547 dan Ibnu Majah II: 802 no: 2401).[13]
Darinya (sang kakek diatas) bahwa rosulullah Saw bersabda,”tidak ada tanggungan atas orang yang diberi amanat.”(Hasan: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7518, Daruquthni III: 41 no: 167 dan Baihaqi VI : 289).[14]
Dari anas bin malik bahwa Umar bin Khattab pernah menuntut tanggung jawabnya terhadap barang titipan yang dicuri orang yang berada di antara harta bendanya. Imam baihaqi member komentar, “ Barangkali karena Anas bin Malik lalai sehingga Umar menunt ut tanggung jawabnya terhadap barang titipan itu karena kelalaliannya,” (Baihaqi VI: 289).[15]
A. Salam
B.1. Pengertian Salam
Kata salam, huruf sin dan lam diberi harokat fathah, adalah semakna dengan kata salaf. Sedangkan hakikat salam menurut syar’i adalah jual beli barang secara ijon dengan menentukan jenisnya ketika akad dan harganya dibayar di muka.(Fiqhus Sunnah III: 171).[16]
As-salam ialah suatu jenis jual beli yang dilakukan dengan cara tukar-menukar harta dengan harta. Dan harta yang dipertukarkan ini bisa jadi berupa benda berwujud nyata dan siap. Benda seperti ini dijual dengan penglihatan mata. Bisa pula barang tersebut tidak ada di tempat. Maka barang tersebut bisa dijual dengan penyifatan. Den ketiga, bisa pula barang tersebut berada dalam tanggungan, diantaranya jual beli as-salam dengan syarat-syarat yang akan kami jelaskan nanti. Boleh juga barang yang dijual itu dalam tanggungan itu berupa hewan, makananan, buah-buahan, dan sebagainya.[17]
Jual beli secara salam adalah jual beli dalam penyifatan barang dalam akad yang penyerahan barangnya kemudian sesuai dengan kesepakatan. Dengan kata lain, serah terima dengan akada lampau. Dikatakan: “aslama” meminjamkan: “aslafa“ pinjaman tanpa bunga :”salafun” , dia adalah salah satu jenis jual beli dengan akad yang sama seperti layaknya jual beli, akan tetapi dengan akad serah terima kemudian. Syaratnya pun sama seperti jual beli lainnya. Jual beli seperti ini diolehkan dengan dalil dari kitab, sunnah dan ijma’.[18]
B.2. Hukum salam dalam islam
Adapun dalil dari kitab adalah Firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,apabila kamu bermu’amalah tidak dengan cara yang tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (Qs. Al Baqarah [2]: 282).
Adapun dalil dari Ijma’ yang membolehkan salam adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Al Mundzir, “ menurut Ijma’ para ulama, jual beli secara salam itu boleh, karena harga dalam jual beli menjadi salah satu pengganti dari akad tersebut”. Diperbolehkan menetapkan besarnya harga barang pada saat akad, karena orang lain membutuhkan itu, sedangkan pemilik tanaman dan buah-buahan serta penjualnya membutuhkan nafkah atas dirinya dan akad jual beli harus sempurna. Diperbolehkan bagi mereka untuk menjual secara salam untuk kebutuhan umum, demi menciptakan harga yang terjangkau dari kebutuhan tersebut.[19]
Allah SWT berfirman dalam surat Al-baqorah ayat 282 :
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 ………… ÇËÑËÈ
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. …” (QS. Al-baqarah Ayat 282 )
Ibnu Abbas ra. Berkata, “saya bersaksi bahwa jual beli secara ijon yang jangka waktunya ditentukan sampai waktu tertentu, benar-benar telah dihalalkan allah dalam kitab-Nya. Dan padanya Dia membolehkannya.” Kemudian ia membaca ayat di atas. (Shahih : irwa’ul Ghalil no: 1369, mustadrak hakim II : 286 dan Baihaqi VI : 18)[20]
Darinya (Ibnu Abbas) ra, ia berkata, “nabi saw datang di madinah, sedang mereka biasa membeli kurma secara ijon, dua tahun dan tiga tahun, kemudian rosulullah bersabda, “barang siapa membeli sesuatu secara ijon, maka tentukanlah dengan takaran tertentu, timbangan tertentu, buat satu masa tertentu.”(Muttafaqun ‘alaih : fathul Bari IV: 429 no: 2240, Muslim III : 1226 no : 1604, Tirmidzi II: 387 no : 1325, ‘Aunul Ma’bud IX : 348 no : 3446, Ibnu Majah II : 765 no : 2280 dan Nasa’I VII : 290).[21]
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, “tidak apa-apa jual beli ‘as-salam’ pada barang yang ditakat sampai waktu tertentu. Akan tetapi, janganlah kalian melakukannya (dengan tempo waktu penyerahan barang) sampai waktu panen (umpamanya). Sebab, waktunya bisa maju bisa pula mundur.” Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat lain.[22]
B.3. Syarat-syarat As-salam
1. Penyebutan jenis dan sifat dengan kalimat yang menunjukkan keduanya dengan jelas sehingga kedua pelaku akan dapat merujuk kepadanya dengan jelas yaitu sehingga kedua pelaku akan dapat merujuk kepadanya (yaitu kepada penyebutan jenis dan sifat tersebut) jika terjadi perselisihan. yang dimaksud dengan jenis disini ialah hakikat barang yang dijual, seperti gandum (hintah) atau jawawut (sya’ir), kambing atau pakaian, dan sebagainya. Adapun sifat ialah segala sesuatu yang membuat suatu barang berbeda harga dengan barang lain (walau sejenis) dengan perbedaan yang mencolok menurut ‘urf. Dalil keharusan syarat ini ialah penghindaran kerugian yang membatalakan (jual beli). Juga ucapan imam as, “tidak apa-apa jika engaku sifatkan panjang lebarnya.”[23]
2. Hendaknya harga diterima di tempat pelaksanaan akad. Jika keduanya telah berpisah sebelum penyerhan harga, maka jual beli “as-salam” batal. Tak ada dalil untuk syarat ini kecuali ijma’, sebagaimana yang dikatakan.[24]
3. Barang yang dijual dengan jual beli “as-salam” ini harus diketahui jumlahnya, baik takarannya pada barang yang ditakar, timbangannya pada barang yang ditinggal, dan hitungannya pada barang yang dihitung, atau apasaja yang dapat menggantikannya guna menghapus ketidaktahuan dan kerugian. Sebagaimana penentuan barang yang dijual, maka penentuan hargapun wajib.[25]
4. Tempo penyerahan harga juga harus diketahui unyuk menghindari kerugian, juga berdasarkan ijma; dan ucapan imam as, “jika sampai jangka wakyu yang diketahui”.[26]
5. Barang yang ditangguhkan penyerahannya itu hendaklah sesuatu yang pada umumnya ada dan wujud pada saat datangnya waktu penyerahan. Jika sesuatu termasuk sesuatu yang langka, seperti buah-buahan musim dingin yang dijanjikan akan diserahkan pada musim panas, dan buah-buahan musim panas pada musim dingin, maka jual beli “as-salam” itu tidak sah[27]
Dalam referensi lain disebutkan Jual beli salam tidak sah kecuali dengan syarat:
1. Barang itu boleh dibatasi dengan menyebut sifat
Kalimat salam dan salaf itu sama artinya. Akad ini dinamakan salam karena orang yang memesan barang itu sanggip menyerahkan modal uang di majlis akad. Dinamakan salaf karena pemesan telah terlebih dahulu telah menyerahkan uang harganya.
2. Barang tersebut harus jelas sifatnya sehingga bisa dibedakan secara lahiriyah.
Contohnya: jual beli secara salam pada benih, buah-buahan, tepung, pakaian, sutera, kapas, linen, wool, gandum, kertas, besi, timah, kuningan, baja, perkakas, minyak wangi, perhiasan, cat, minyak hewani, susu, air raksa, tawas, korek api, celak mata dan semua barang yang ditimbang dan ditakar atau ditanam. Hadits tentang buah-buahan dan hadis dari Ibnu Abi Aufa dalam masalah gandum, kismis dan minyak sertaIjma’ para ulama menyatakan bolehnya jual beli secara salam pada makanan. Menurut Ijma’ juga, boleh menjual pakaian secara salam, hal ini dinyatakan Ibnu Al Mundzir.[28]
Tidak sah jual beli secara salam pada barang yang tidak jelas sifatnya, seperti perhiasan dari mutiara, Yaqut, Fairuz, Zabarjadah, Aqiq dan Balwar. Semua harganya jelas berbeda, tergantung dari besar- kecil, keelokan bentuk, kadar warna serta kadar kemurniannya, sedangkan semua itu tidak dapat diukur seperti dengan putihnya bulu burung dan lain sebagainya. Inilah pendapat Asy-Syafi’I dan Ashhab Ar-Ra’yi.
Tidak sah jual beli secara salam pada barang yang tercampur dengan sengaja tanpa bisa dibedakan, seperti Al-Ghaliah dan An-Naddi , pasta yang digunakan sebagai obat ol;eh orang yang tidak faham, hewan yang hamil, tempat minum dari emas yang berbeda kepala dan diameternya. Karena semua barang tersebut tidak dapat ditetapkan sifatnya. Ada pendapat lain dari barang di atas yang membolehkan jual beli secara salam , jika perbedaan kadar tinggi, diameter atas dan bawahnya tidak begitu signifikan.
Tidak sah jual beli secara salam pada dirham palsu yang tercampur dengan kayu, Al-Qarn , tebu dan At-Tuz , jika semua itu tidak dapat ditetapkan kadarnya dan dibedakan. Ada yang mengatakan dalam hal itu boleh, akan tetapi apa yang disebutkan di atas lebih afdhol. Al Qadhi berkata, barang yang tercampur itu dibedakan menjadi empat jenis:
Pertama, tercampur dengan sengaja dan dapat dibedakan. Seperti, pakaian, dan kain dari kapas, linen dan wool. Maka dibolehkan jual beli secara salam di dalamnya karena semua mungkin ditetapkan kadarnya.
Kedua, barang yang dicampur untuk kemaslahatannya, dan tidak dengan maksud tersendiri. Seperti, bau haru dalam keju, garam dalam adonan dan roti, serta air dalam cuka, kurma dan kismis. Maka dibolehkan jual beli secara salam, karena semua itu demi kemaslahatannya.
Ketiga, barang yang dicampur dengan sengaja dan tidak dapat dibedakan dari campurannya itu. Seperti Al-Ghaliah, An-Nidd, dan pasta. Karena tidak dapat disebutkan sifatnya secara jelas, maka jual belinya secara salam tidak sah.
Keempat, barang yang tercampur secara tidak sengaja dan tidak mempunyai maslahat di dalamnya. Seperti susu yang tercampur dengan air. Maka tidak sah jual belinya secara salam. [29]
3. Diantara syarat sah nya akad salam ialah muslam fih (barang yang dipesan) harus berupa dain (hutang), yakni berada pada tanggungan, kartena ketetapan salam hanya berlaku atas apa yang ada pada tanggungan.[30]
4. Sesudah muslim (orang yang memesan) menyebut jenis dan macam-macamnya muslam fih (barang yang dipesan) harus menyebut nama sifat-sifat yang dengan sifat-sifat itu kan berbeda-beda harganya, dam muslim (pemesan) harus menyebut kadarnya dengan kejelasan yang dapat menghilangkan kekeliruan atau ketidak tahuan dari muslam fih ( yang dipesan).[31]
5. Salam itu jika mu’ajjal, pemesan hendaknya menyebut waktu penyerahannya barang yang dipesan, dan barang itu harus ada pada waktu penyerahan menurut kebiasaan dan pemesan harus menyebut tempat menerima barang yang dipesan itu.
Ketahuilah, bahwa permintaan ganti barang yang dipesan dengan akad salam itu tidak boleh, seperti halnya tidak boleh menjualnya, karena permintaan ganti itu nama jual sebelum diterima. Jual barang sebelum diterima barangnya itu dilarang.[32]
B.4. Tempat Penyerahan
Tidak disyaratkan penyebutan tempat penyerahan di dalam akad. Akan tetapi, jika keduanya menyebutkannya, maka hal itu harus dilakukan. Jika keduanya tidak menyebutkannya, maka penyerahan barang dilakukan di tempat akad. [33]
B. Dhaman
C.1. Pengertian Dhaman
Dhaman ialah mengumpulkan suatu tanggungan kepada tanggungan yang lain. Yang lebih dikatakan, dhaman ialah menyanggupi hak orang lain, sehingga hal itu dapat mencakup mendatangkan orang yang berkewajiban melunaskan hak orang lain, jika ia menyanggupinya. Orang yang menjamin itu dinamakn dhaamin, dhamiin, kafiil, za’iin dan hamiil. Yang menjadi dalil berlakunya dhaman (jaminan) ialah kitab Al-Quran , Ass-sunnah dan ijma’ ummat. Firman Allah swt dalam Qs. Yusuf ayat 72, yang artinya: “ dan barang siapa yang dapat mendatangkan takaran emas Raja Yusuf, akan memperoleh bahan makanan seberat muatan unta, dan akulah yang menjaminnya”. Rosulullah saw bersabda: “barang pinjaman harus dikembalikan, dan orang yang menjamin harus membayar”.[34]
Sah hukumnya menjamin hutang yang telah tetap, jika diketahui kadar (banyak sedikitnya). Orang yang mempunyai hak dapat menagih pembayaran kepada dhammin (penjamin) dan dapat pula menagih madhmun ‘anhu (orang yang di jamin), apabila jaminan itu sesuai dengan apa yang di terangkan.
Jika seseorang berhutang kepada orang lain, dan anda berjanji pada pemberi hutang bahwa anda akan melunasi utang orang yang berhutang itu, padahal anda tidak memiliki kewajiban apapun terhadapnya, maka janji anda tersebut dinamakan dhaman (jaminan). Anda sendiri disebut dhamin (penjamin), sedangkan pemberi hutang disebut madhmun lahu (yang dijamin untuknya). Adapun orang yang berhutang disebut madhmun ‘anhu (yang diberi jaminan).
Sedangkan jika anda memiliki kewajiban atau tanggungan terhadap orang yang berhutang dengan sejumlah yang anda janjikan untuk melunasi hutangnya, maka janji anda itu disebut dhaman dan hawalah juga.
Apabila anda tidak berjanji untuk melunasi hutang, tetapi anda berjanji untuk mendatangkan orang yang berhutang ke hadapan pemberi hutang dan menyerahkannya kepadanya pada saat penagihan, maka janji anda ini disebut dhaman bin nafs atau kafalah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kata dhaman di kalangan fuqoha’ memiliki dua arti. Pertama, arti khusus, yaitu janji untuk melunasi hutang orang lain tanpa ada kewajiban apapun atasnya terhadap orang itu. Kedua, arti umum, yaitu yang mencakup arti khusus dan hawalah yang berarti janji pelunasan hutang orang yang mengutanginya dan mencakup pula kafalah, yaitu janji untuk menghadirkan orang yang berhutang. [35]
C.2. Hukum Dhaman Dalam islam
Dhaman telah disepakati (ijmak) sebagai sesuatu yang masyru’ (disyari’atkan). Alqur’an dan sunnah juga menunjukkan yang demikian itu. Allah SWT berfirman :
(#qä9$s% ßÉ)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9Ïèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOÏãy ÇÐËÈ
Artinya : ”penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya". (QS. Yusuf : 72)
Imam Ja’far ash-Shadiq as. Pernah ditanya tentang seseorang yang meninggal dan dia berhutang lalu seseorang memberikan jaminan untuk para pemimpin hutang ? Imam as. Menjawab, “jika para pemilik utang menerimanya, maka si mayat telah terbebas dari tanggungan.”
Rosulullah saw bersabda, “ barangsiapa member jaminan pada saudaranya untuk suatu hajat (yakni memenuhi kebutuhannya), maka Allah ‘Azza wa Jalla akan memenuhi hajatnya pula.”[36]
Sabda Nabi Muhammad SAW:[37]
اْلعارِيةُ هؤَادَّةُ وَزَعِيمُ عَارِمُ
“Penghutang hendaknya mengembalikan pinjamannya dan penjamin hendaklah membayar” (HR.Abu Daud dan Turmudzi).
C.3. Syarat dan rukun Dhaman
a) Dhamin (penjamin)
Pada penjamin disyaratkan :[38]
1. Hendaknya dia adalah orang yang berwenang untuk melakukan transaksi ekonomi. Seorang gila tidak sah memberikan jaminan, demikian pula anak kecil, orang yang dipaksa, dan yang sedang dalam keadaan mabuk. Adapun orang yang idiot, dia boleh memberikan jaminan dengan izin walinya. Orang yang pailit juga boleh melakukannya tanapa syarat apapun karena yang demikian itu sah, sebagaimana hutangnya, walaupun para pemilik piutang tidak mengizinkan.
2. Mereka berkata, “dhaman dengan makna yang khusus, yaitu yang kita bahas dalam pasal ini, disyaratkan bahwa si dhamin tidak boleh dalam keadaan berutang kepada orang yang berhutang” (madhmun ‘anhu). Sebab, jika demikian, maka yang terjadi ialah hawalah, bukan dhaman dengan makna khusus.
3. Masyhur fuqaha’ bependapat bahwa dhamin (penjamin) disyaratkan memiliki kemampuan untuk memenuhi jaminan yang ia berikan. Akan tetapi, yang demikian ini adalah syarat untuk kemengikatan (Syarth al-luzum) bukan keabsahan (syarth as-shihah). Apabila madhmun lahu (yang dijamin untuknya) menerima jaminan si penjamin, lalu diketahui bahwa ternyata penjamin tidak memiliki kemampuan, maka dia (madhmun lahu) berhak menfaskh dhaman (jaminan) dan kembali (berurusan denga orang yang berhutang). Sebab, jika akad tetap berlaku dalam keadaan demikian, hal itu dapat merugikan madhmun lahu.
b) Madhmun Lahu (Pemberi hutang)
Disyaratkan kepada madhmun lahu (pemberi hutang) hal-hal yang disyaratkan pada penjamin, seperti wewenang dalam melakukan transaksi-transaksi ekonomi. Demikian pula disyaratkan kerelaan dan kesediaannya menerima jaminan karena dia merupakan salah satu pihak yang melakukan akad jaminan, yang ucapan (qobul) nya merupakan bagian dari akad. Juga berdasarkan ucapan Imam Ja’far as-Shadiq as, “jika para pemilik piutang rela, maka si mayat (yang berhutang terlepas dari tuntutan)”.[39]
c) Madhmun ‘Anhu (orang yang berhutang)
Tidak disyaratkan pada orang yang berhutang haruslah seorang yang berakal, tidak pula bulugh (sampai umur), tidak kecerdasan, dan tidak pula kerelaan dalam suka rela, bahkan tidak pula disyaratkan kehidupannya. Jaminan (dhaman) akan sah diberikan pada orang gila, anak kecil, idiot, pailit, dan orang yang tak dikenal. Sebab, dhaman sama persis dengan pelunasan hutang, tidak disyaratkan padanya kerelaan orang yang berhutang. Juga karena akad dhaman akan menjadi sempurna dengan ijab dari penjamin dan kerelaan dari pemberi hutang. Dengan akad ini, maka dia (penjamin) akan tercakup oleh dalil-dalil kewajiban penunaian akad.[40]
d) Hak yang dijamin (Madhmun)
Mereka berkata : disyaratkan pada hak yang dijamin hndaklah berupa sesuatu yang telah tetap pada tanggungan. Oleh karena itu, tidak sah jika anda berkata pada seseorang, “berilah(pinjaman) pada si fulan atas tanggunganku, dan aku yang akan menjamin hutang yang akan engkau berikan kepadanya itu.” Yang demikian itu tidak sah karena belum ada suatu apapun yang masuk kepada tanggungan yang jaminan akan berlaku padanya. Seluruh ulama’ sepakat dan sependapat dalam hal ini.[41]
Pada referensi lain disebutkan rukun dhaman sebagai berikut :[42]
1. Penjamin(dhamin),
2. Orang yg dijamin hutangnya(madhmun’ anhu),
3. Penagih yg mendapat jaminan(madhmun lahu),
4. Utang atau sesuatu harta yg dijamin,
5. Lafadz/ikrar.
Sedangkan syarat dhaman antara lain :[43]
Ø Syarat penjamin
• Dewasa(baligh),
• Berakal,
• Atas kemauan sendiri(tdk dipaksa)
• Orang yg diperbolehkan membelanjakan harta,
• Mengetahui jumlah,atau kadar hutang yg dijamin
Ø Syarat orang yang dijamin
yaitu orang yang berdasarkan hukum diperbolehkan untuk membelanjakan harta,
Syarat orang yg menagih hutang,dia diketahui keberadaannya oleh orang yang menjamin.
Ø Syarat harta yang dijamin :
• Diketahui jumlahnya,
• Diketahui Ukurannya,
• Diketahui kadarnya,
• Diketahui Keadaannya,
• Diketahui Waktu jatuh tempo pembayarannya.
Ø Syarat lafadz/ikrar
yaitu dapat dimengerti yang menunjukan adanya jaminan serta pemindahan tanggung jawab dalam memenuhi kewajiban pelunasan hutang dan jaminan ini tdk dibatasi oleh sesuatu,baik waktu atau keadaan tertentu.
Syarat sahnya dhaman (jaminan) ialan dhamin ( penjamin) harus mengetahui madhmun-lahu (orang yang diberikan jaminan) menurut qoul asokh sebab manusia itu berlain-lainan dalam hal penagihan hutang, ada yang halus tindakannya dan ada pula yang keras, sedangkan tujuan manusia pula berbeda-beda dalam masalah penjaminan, karena itulah menjamin tanpa mengenal apa bendanya yang dijamin adalah mengandung gharar (penipuan).
Tidak disyaratkan harus mengenal madhmun ‘anhu (orang yang dijamin) menurut qoul yang asokh, dan tidak disyaratkan mengetahui tentang kehidupannya, tanpa ada khilaf, sebagaimana tidak disyaratkan juga keridhoannya tanpa ada khilaf.
Adapun hutang itu disyaratkan harus telah tetap (lazim) pada waktu penjaminannya karena itu menjamin hutang yang belum tetap, hukumnya tidak sah, walaupun sebab tetapnya hutang itu terus berlangsung. Seperti menjamin nafkah seorang istri pada hari esok. Hutang disyaratkan harus telah tetap (lazim), atau akan menjadi tetap, tetapi tidak disyaratkan harus istiqrar atau tidak dapat gugur. Contoh hutang yang akan menjadi tetap, seperti harga barang pada masa khiyar.
Adapun uang ju’alah (upah) sebelum selesai kerja, sebagian ulama ada yang mengatakan sah dijamin, sebab uang ju’alah itu akan tetap. Menurut qoul yang shahih, tidakn sah menjaminnya, sebab tidak wajib (lazim) seketika itu dan tidak akan menjadi tetap, sebab orang yang mengupah itu tidak berkuasa untuk memaksa orang yang bekerja supaya bekerja terus, sehingga menyempurnakan pekerjaannya. Jadi masalah ini serupa dengan akad kitabah. Demikianlah penta’lilan Al-Qhadi Abu Toyyib, dan ta’lil agak lemah.
Hutang yang dijamin juga disyaratkan harus maklum (diketahui kadarnya) tidak sah menjamin hutang yang majhul (tidak diketahui jumlahnya). Misalnya seseorang berkata: aku menjamin pembayaran harga barang yang kamu jual kepada si fulan! Sedangkan ia tidak mengetahui harga barang itu, padahal untuk mengetahui harga barang yang dijual itu merupakan perkara yang mudah. Tetapi ada sebagian ulama mengatakan sah, seandainya seseorang itu berkata: aku menajamin apa saja yang menjadi hak kamu pada si fulan! Maka jaminan yang sedemikian itu tidak sah tanpa ada khilaf.[44]
Ketahuilah, baha perselisihan pendapat mengenai keabsahan menjamin hutang yang tidak diketahui jumlahnya juga berlaku atas keabsahan membebaskan hutang yang tidak diketahui kadarnya. Khilaf itu terjadi karena adanya perbedaan pendapat mengenai kedudukan pembebasan hutang (bara’ah) apakah hal itu merupakan pemberian milik ataukah pengguguran hak milik. Jika kita mengatakan baha bara’ah (pembebasan hutang )itu adalah pemberian hak milik, yaitu qoul yang shahih, maka membebaskan hutang yang tidak diketahui jumlah itu adalah tidak sah. Sedang jika kita mengatakan baha pembebasan hutang yang majhul (tidak diketahui kadarnya ) itu merupakan pengguguran hak milik maka pembebasan hutang yang majhul itu adalah sah. Apabila dhaman (jaminan) telah sah dengan memenuhi syarat-syaratnya maka orang yang mempunyai hak dapat menuntut orang yang berhutang dan dapat juga menagih orang yang menjamin.[45]
Apabila dhamin (penjamin) telah membayar hutangnya , dia boleh menarik kembali jaminannya,dan pembayaranya itu mendapat izin dari orang yang dijamin. Apabila seseorang menjamin hutang orang lain dan hutang itu telah ia bayar, apakah penjamin dapat menarik kembali hartanya dari orang yang di jamini? Dalam hal ini harus di lihat dulu. Jika penjamin dalam menjamin hutang itu dengan ijin orang yang dijamin maka penjamin dapat menarik kembali hartanya itu dari orang yang dijaminnya, sebab penjamin mengeluarkan uangnya itu kemanfaatan orang yang dijaminnya dengan ijinnya. Jadi masalahnya serupa dengan orang yang mengatakan: berilah makan binatangku ini! Kemudian orang yang ditujukan bicara itu memberikan binatang itu, maka ia dapat meminta kembali harga makanan untuk binatang tadi.
Dalam kitab Al-hali dijelaskan bahwa penjamin tidak dapat menarik kembali hartanya, kecuali jika ada syarat menarik kembali.
Jadi jika tidak ada ijin dalam dhaman (jaminan) atau dalam membayar hutang, dhamin (penjamin) tidak dapat menarik kembali apa yang dia bayar, sebab tindakannya tiu semata-mata merupakan suatu kebajikan.
Jika orang yang dijamin itu memberi ijin dalam jaminan saja, si penjamin dapat menarik kembali haknya menurut qoul yang rajah, sebab penjamin adalah mewajibkan membayar, jadi ijin orang yang di jamin dalam jaminan itu berarti memberi ijin terhadap apa yang ditimbulkannya, yaitu pembayaran hutang.
Jika sipenjamin hutang tanpa ada izin orang yang di jamin, dan membayar hutang orang itu dengan mendapat izinnya, menurut qoul yang rajih, si penjamin tidak boleh menarik kembali haknya, sebab kewajiban membayar hutang itu, yang menjadi sebabnya adalah jaminan, sedangkan orang yang dijamin tidak member izin terhadap jaminannya itu.[46]
Tidak sah menjamin hutang yang tidak diketahui jumlahnya (majhul), dan tidak sah menjamin hutang yang tidak wajib kecuali darkul mabi’I (menjamin hutang pembayaran barang yang masih dijual).
Dhaman majhul atau menjamin hutang yang tidak diketahui jumlahnya tidak sah hukumnya, sebab mengandung unsur gharar (penipuan), sedangkan gharar atau penipuan adalah dilarang.
Adapun menjamin hutang yang belum tetap tidak sah juga, sebab jaminan itu adalah untuk menetapkan hak, oleh karena itu tidak boleh jaminan itu mendahului sebelum tetapnya hak, sebagaimana halnya dengan persaksian.
Sebagai gambarannya misalnya, seseorang berkata pada kawannya: jualah barang ini kepada si fulan, dan saya menjamin harganya! Ataupun katanya: hutangilah barang ini kepada si fulan, dan saya menjamin gantinya!.[47]
C.4. Hikmah Dhaman
1. Munculnya rasa aman dari peminjam,
2. Munculnya rasa lega dan tenang dari pemberi hutang,
3. Terbentuknya sikap tolong-menolong dan persaudaraan,
4. Menjamin akan mendapat pahala dari Allah SWT.
0 komentar:
Posting Komentar