Pages

Selasa, Juni 28

LUQATAH, SYUF’AH DAN IHYAUL MAWAT

1.       
a.      Pengertian Luqatah
Luqatah yaitu setiap harta yang terjaga yang dimungkinkan hilang dan tidak dikenali siapa pemiliknya.
Dan lebih sering dipakai untuk selain hewan, adapun untuk hewan maka dikatakan dhaalah.
b.      Hukum Luqatah
1.      Wajib (mengambil barang itu), apabila menurut keyakinan yang menemukan barang itu, jika tidak diambil akan sia-sia.
2.      Sunnah, apabila yang menemukan barang itu sanggup memeliharanya, dan sanggup mengumumkan kepada masyarakat selama satu tahun.
3.      Makruh apabila yang menemukan barang itu tidak percaya pada dirinya untuk melaksanakan amanah barang temuan itu dan khawatir ia akan khianat terhadap barang itu.

c.       Kewajiban orang yang Menemukan Barang
1.      Wajib menyimpannya dan memelihara barang temuan itu dengan baik.
2.      Wajib memberitahukan dan mengumumkan kepada khalayak ramai tentang penemuan barang tersebut dalam satu tahun. Rasulullah SAW bersabda : “Siapa yang menyimpan barang yang hilang maka ia termasuk sesat kecuali apabila ia memberitakan kepada umum dengan permberitahuan yang luas”. (HR. Muslim).
3.      Wajib menyerahkan barang temuan tersebut kepada pemiliknya apabila diminta dan dapat menunjukkan bukti-bukti yang tepat. Jika benda yang ditemukan itu termasuk benda yang harganya murah, maka pengumuman itu cukup tiga harri dengan perkiraan yang punya benda itu sudah tidak memerlukannya lagi. Setelah itu yang menemukan benda itu boleh memanfaatkannya, dan jika yang punya benda itu datang mengambilnya setelah benda itu dimanfaatkan, maka yang memanfaatkannya harus bersedia untuk menggantinya. Jika yang ditemukan itu memerlukan biaya perwatan, seperti binatang ternak, maka biaya perawatan itu dibebankan kepada pemiliknya. Jika sudah beberapa bulan belum juga datang, maka hewan itu boleh dijual atau dipotong untuk dimakan dan jika pemiliknya datang, maka hasil penjualan hewann itu diserahkan kepada pemiliknya atau hewan yang dipotong itu diganti harganya. Rasulullah SAW bersabda : “Maka jika datang orang yang mempunyai barang tersebut, maka dialah yang lebih berhak atas barang itu.” (Hr. Ahmad).[3]
d.      Hukum Menemukan Makanan dan Sesuatu yang Remeh
Barang siapa yang menemukan barang yang remeh di jalan, maka ia boleh memekannya, dan barang siapa yang menemukan sesuatu yang remeh(tidak berharga) tidak menarik, maka ia boleh mengambil dan boleh memilikinya.
e.       Luqatah di Tanah Haram
Adapun Luqatah (barang hilang) di tanah Haram, maka tidak boleh di ambil kecuali untuk di umumkan selamanya, dan tidak boleh memilikinya selama satu tahun seperti yang lainnya.
Dari Ibnu Abbas RA, bahwa Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan Makkah, tidak halal bagi seorangpun sebelumku dan tidak halal bagi seorangpun setelahku, dan hanyalah dihalalkan bagiku sesaat dari waktu siang. Tidak boleh dicabut ilalangnya, tidak ditebang pohonnya, tidak diusir buruannyadan tidak diambil luqatahnya kecuali bagi orang yang mengumumkannya.”
f.       Pembiayaan barang temuan
Pembiayaan barang temuan yang ditanggung oleh penemu dapat diminta gantinya kepada pemilik barang tersebut. Tetapi itu tidak berlaku apabila penemu menunggangi atau mengambil susunya, karena hal itu sudah dianggap sebagai imbalan atas biaya yang dikeluarkannya.[4]
2.      Syuf’ah
a.      Pengertian syuf’ah
Menurut bahasa, syuf’ah berasal dari kata syaf’ yang berarti dhamm ‘percampuran’. Syuf’ah sendiri merupakan praktek yang popular di kalangan orang orang arab. Pada zaman  Jahiliah, seseorang yang ingin menjual rumah atau kebun didatangi oleh tetangga, teman atau sahabatnya untuk meminta syuf’ah dari apa yang dijualnya. Kemudian ia menjualkan kepadanya dengan memprioritaskan yang lebih dekat hubungannya daripada yang lebih jauh. Pemohonnya disebut syafi’. Dalam kerangka inilah, syuf’ah berarti pemilikan barang yang diperkongsikan (al masyfu’) oleh pihak yang bergabung pada suatu persekutuan milik secara paksa dari pihak yang membeli dengan cara mengganti nilai harga jual yang sudah dilakukan . Dengan istilah lain dapat pula dikatakan bahwa syuf’ah adalah pemilikan harta perserikatan yang telah dijual oleh salah satu pihak ke pihak lain yang tidak termasuk dalam persekutuan itu serta tidak pula seizin anggota persekutuan dengan cara mengganti uang penjual ke pihak pembeli.
Ilustrasi: A dan B meiliki sebuah rumah secara bersama. Tanpa sepengetahuan dan seizin A, B menjual haknya kepada C. Dalam keadaan demikian, A mempunyai hak syuf’ah dengan secara paksa mengambil rumah itu dari C melalui cara ganti rugi sebesar penjualan yang dilakukan B kepada C. Jadi pengambilan harta secara paksa atas harta perkongsian yang telah dijual kepada pihak luar tanpa kerelaan atau persetujuan pihak pihak yang berserikat dengan cara menebus harga jual, itulah yang dimaksud syuf’ah.
Dengan demikian syuf’ah tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak tergabung dalam perserikatan (syarikah), atau syuf’ah juga tidak bisa dilakukan oleh syafi’ terhadap penjualan milik bersama oleh perseorangan bila penjualan itu dilakukan setelah memperoleh persetujuan atau kerelaan anggota perserikatan (syarikah) terlebih dahulu atau karena ketidak sanggupan para pemilik untuk membeli atau mengganti hak milik anggota yang menjual miliknya itu.
Di sisi lain, anggota persekutuan yang ingin melepaskan haknya dari anggota pemilikan bersama itu berkewajiban terlebih dahulu menawarkan kepada para pemegang hak perkongsian. Jika tidak ditawarkan terlebih dahulu maka, orang orang yang terlibat dalam syarikah selain yang menjual haknya, dapat melakukan syuf’ah.
قَضاى رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُفْعَةِ فِى كُلِّ شِرْكَةٍ لَمْ تُقْسَمْ رُبْعَةٌ أَوْحَاءِطٌ لاَيَحِلُّ لَهُ أَنْ يَبِيْعَ حَتّى يُٶذِنَ شَرِيْكُهُ فَإِنْ شَآءَ أَخَذَ وَإِنْ شَآءَ تَرَكَ فَاإِذَا بَاعَ وَلَمْ يُٶْذِنْهُ فَهُوَ اَحَقُّ بِه
Rasulullah sawِ telah menetapkan adanya hak syuf’ah atas tiap perserikatan terhadap rumah atau kebun. Tidak dihalalkan seorang diantara anggota persekutuan itu menjual barang yang mereka miliki sebelum izin perserikatannya. Jika seorang anggota perserikatan itu ingin (membeli hak hak yang akan dijual oleh partnernya) maka ia boleh mengambil dan bila ia tidak berminat, ia pun boleh meninggalkannya. Jika penjualan itu berlangsung tanpa seizin para koleganya dalam pemilikan itu, maka para anggota perserikatan itulah yang paling berhak atas bagian yang dijual tersebut.[5]
b.      Landasan Hukum Syuf’ah
Dasar hukum syuf’ah adalah sunnah, dan umat Islam telah sepakat akan akan pensyariatannya. Bukhari meriwayatkandari Jabir ibn Abdullah bahwa Rasulullah saw.menetapkan syuf’ah untuk barang yang pembagian kepemilikannya belum jelas. Apabila telah ada batasan secara jelas dan dapat dibedakan, mereka tidak lagi berlaku syuf’ah.[6]
c.       Syarat-Syarat Syuf’ah
1.      Barang yang disyuf’ahkan adalah harta tidak bergerak seperti tanah dan rumah. Sedangkan berkaitan dengan harta yang tetap,  misalnya tanaman, bangunan, pintu, atap rumah. Semua contoh tersebut yang termasuk dalam penjaualan pada saat dialihkan kepemilikannya.
      Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Jabir
    Rasulullah menetapkan Syuf’ah untuk segala jenis barang yang tidak dapat      dibagi-bagi seperti rumah dan kebun. “
2.      Pihak pembeli secara Syuf’ah adalah mitra dalam barang kongsian tersebut. Disyaratkan pula bahwa perkongsian mereka lebih dahulu terjalin sebelum penjualan, dan tidak ada batasan yang jelas anatara hak milik keduanyya hingga barang itu menjadi  milik mereka secara bersamaan.
3.      Barang Syuf’ah bias hilang status kepemilikannya melalui transaksi penjualan (kalangan mazdhab Hanafi berpendapat bahwa Syuf’ah hanya berlaku atas barang dijual saja, dengan berlandaskan pada makna lahiriah hadits dalam bab ini). Atau transaksi lain yang semakna dengan penjualan, seperti pernyataan sebagai jalan damai atau faktor Jinayat atau menghasruskan penjaualan dengan cara penggantian tertentu, karena semau itu pada hakekatnya merupakan transaksi penjualan. Dengan demikian tidak ada Syuf’ah untuk barang berpindah kepemilikan melalui transsaksi selain jual beli, seperti barang dihibahkan  tanpa ganti, diwasiatkan atau diwariskan.
4.      Bagi pihak Syafi diharuskan untuk segera. Maksudnya, apabila pihak Syafi adanya penjualan, maka wajib baginya meminta bagian dengan segera sepanjang memungkinkan. Jika ia telah menegetahuinya lalu mengulur waktu tanpa adanya halangan, maka haknya menjadi gugur.
5.      Syafi menyerahkan kepada pihak pembeli sejumlah harga sesuai yang telah diakadkan. Lalu Safi mengambil Syuf’ah harga yang sama, apabila jual beli itu Mitslaian, atau dengan suatu nilai yang dihargakan.
 Sebagaimna hadits Marfuq dari Zabir, “ Syafli lebih berhak dengan harga yang ditawarkan.” (HR. Al-Zaudzani)
6.      Syafi mengambil semua transaksi jual beli atas barang. Apabila Syafi mengambil sebagian saja, maka gugur haknya keseluruhan.
d.      Rukun Syuf’ah
Untuk bisa terwujud suatu syuf’ah ada empat unsur yang harus ada, antara lain:
·         adanya pihak yang mempunyai hak beli paksa (syaaf’i),
·         ada obyek syuf’ah (al masyfuu’ ‘alaih),
·         ada orang yang harus menjual (al masyfuu’ fiih),
·         dan cara melakukan syuf’ah.
Dengan demikian syuf’ah tidak akan sah bila salah satu dari keempat unsur di atas tidak ada.
Pada rukun yang pertama, yakni pihak yang berhak membeli secara paksa, disyaratkan mestilah dari anggota yang berserikat atas pemilikan barang yang sudah dijual tersebut. Orang orang yang tidak termasuk sebagai anggota persekutuan atas benda yang sudah dijual tidak berhak sama sekali melakukan syuf’ah. Kalau sekiranya benda yang dimiliki secara bersekutu itu sudah ditentukan bagian masing masing, syuf’ah juga tidak bisa dilakukan, sebab pemilikan bukan lagi sebagai milik bersama. Ketentuan ini didasarkan atas hadis Rasulullah saw yang berbunyi:
اَنّ رَسُولُ اللهِ صَلّى الله عَلَيه وَسَلم قَضاى بِالشُّفْعَةِ فِيمَالَمْ يُقْسَمْ بَيْنَ الشُرَكَاءِ فَإِذا وَقَعَتِ الْحُدُودُ بَيْنَهُمْ فَلاَ شُغْعَةَ
“ Rasulullah sudah menetukan bahwa hak syuf’ah hanya berlaku atas pemilikan sesuatu yang belum dibagi. Apabila sudah dibagi serta hak masing masing pemilik sudah ditentukan, syuf’ah tidak ada lagi “
 Riwayat di atas sudah cukup menggambarkan bahwa hak syuf’ah hanya ada bagi anggota anggota yang masuk dalam perserikatan (syarikah) kepemilikan itu. Orang yang tidak tergabung dalam perserikatan itu tidak berhak atas syuf’ah. Pendapat ini merupakan pendirian jumhur ulama.
Rukun syuf’ah yang kedua ialah adanya obyek syuf’ah, yaitu barang yang berhak dibeli secara paksa (al masfuu’ ‘alaih). Para ulama sepakat akan adanya hak syuf’ah terhadap al masyfuu’ ‘alaih yang berbentuk benda yang tidak bergerak, seperti tanah, rumah, dan sejenisnya. Alasan yang mereka kemukakan adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan:
قَضاى رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُفْعَةِ على كُلِّ شِرْكَةٍ لَمْ تُقْسَمْ رُبْعَةٌ أَوْحَاءِطٌ
“Rasulullah sawِ telah menetapkan adanya hak syuf’ah atas segala macam perserikatan yang tidak dapat dibagi terhadap rumah atau kebun.”
Penyebutan rumah dan kebun dalam riwayat tersebut dijadikan alasan bahwa kepemilikan bersama itu berlaku atas benda benda sejenis yang tidak dapat dibagi.
Akan tetapi pandangan ini tidak bisa diterima oleh semua kalangan. Ada pendapat yang menyatakan bahwa syuf’ah itu bukan hanya bisa terjadi atas barang yang tidak bergerak, tetapi juga berlaku terhadap barang barang bergerak. Penyebutan dua jenis benda di atas bukan merupakan bukti pembatasan atas benda tidak bergerak, tetapi dikaitkan dengan benda yang dimiliki secara bersama. Bila bahaya bisa terjadi pada benda tidak bergerak, hal ini juga bisa terjadi pada barang bergerak. Jika demikian, hak syuf’ah bisa berlaku terhadap benda tidak bergerak maka syuf’ah juga berlaku atas benda bergerak. Dengan alasan ini, maka jenis benda apa saja bisa berlaku hak syuf’ah sepanjang adanya pemindahan itu diizinkan atau mengganggu ketentraman anggota perserikatan. Adapun argumen yang mereka pakai yang didasarkan atas riwayat adalah hadis Rasulullah saw yang berbunyi:
جَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُفْعَةِ فِى كُلِّ شَيْءٍحَالٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menetukan bahwa hak syuf’ah itu bisa berlaku atas segala jenis harta.”
Rukun  syuf’ah yang ketiga adalah orang yang harus menjual kembali harta syuf’ah kepada anggota syarikah (al masfuu’ fih). Para ulama sepakat bahwa orang yang harus menjual kembali barang syuf’ah kepada anggota syarikah ialah orang yang menerima pemindahan milik anggota syarikah melalui jual beli atau dari tetangga, bagi yang mengakui adanya hak syu’ah bagi tetangga. Adapun pemindahan hak milik yang bukan dengan cara jual beli, diperselisihkan oleh para fuqaha.
Rukun syuf’ah yang terakhir ialah cara melakukan syuf’ah. Yang perlu ditekankan disini ialah bahwa syuf’ah haruslah dilakukan secepat mungkin, dalam artian bahwa syaafi’ hendak melakukan syuf’ah maka ia mestilah melaksanakan setelah ia mengetahui adanya pemindahan hak milik oleh anggota persekutuannya. Bila ia memperlambat pelaksanaan syuf’ah tanpa suatu halangan yang bisa diterima, maka hak syuf’ah akan menjadi gugur.
Adapun kadar ukuran syuf’ah, disepakati oleh para ulama bahwa jumlahnya mestilah sama denga harga jual yang dilakukan oleh anggota perserikatan dengan pembeli, serta tidak boleh kurang. Bagi fuqaha yang membolehkan syuf’ah karena pemindahan hak milik bukan melalui jual beli, maka pelaksanaan syuf’ah dilakukan dengan cara memperkirakan nilai harga bagian yang dipindah milikkan itu. Kalau sesuatu itu terbatas kadarnya karena syara’, seperti diyat pelukaan yang menghilangkan tulang, maka ganti rugi yang harus ditebus sebagai imbalan syuf’ah didasarkan atas imbalan pelukaan tersebut.
Persolan yang dikemukakan diatas pada dasarnya adalah pelaksanaan syuf’ah yang syaafi’nya hanya satu orang, sehingga syuf’ah tidak mesti dibagi, sebab setelah syuf’ah dilakukan maka pemilikan terhadap benda yang di syuf’ah itu akan menjadi milik utuh dari seorang syaafi’. Dengan keadaan yang demikian, benda itu akan menjadi milik pribadi secara keseluruhan oleh syaafi’ itu serta persekutuan pemilikan terhadap benda yang sebelumnya terjadi akan berakhir. Lalu bagaimana jika syaafi’ itu lebih dari satu orang? Lantas berapa hak mereka atas barang yang di syuf’ah itu? Persoalan ini tidak ada ketentuannya dari nash secara pasti.
Menurut pendapat Imam Malik, Syafi’I, serta jumhur fuqaha madinah, pembagian benda syuf’ah tersebut didasarkan pada besar kecilnya hak masing masing syaafi’ terhadap pemilikan bersama itu. Siapa yang memiliki hak terbesar ialah yang yang paling banyak menerima masyfu’, dan orang yang paling kecil haknya akan mendapatkan hak masyfu’ paling sedikit, serta jika hak mereka sama maka akan mendapatkan bagian yang sama banyaknya. Jadi, besarnya bagian para syafi’ dihitung atas persentase pemilikannya atas suatu perserikatan, bukan didasarkan atas pembagian rata rata para anggota.
Fuqaha kufah tidak setuju dengan cara pembagian yang demikian. Bagi kelompok yang disebut terakhir ini, persentase pemilikan tidak bisa menjadi ukuran, karena suatu benda itu dasar pemilikannya adalah bersama atau bersekutu. Syuf’ah hanya bisa terjadi karena hak milik itulah, dan makanya hanya hak miliklah yang harus dijadikan dasar pertimbangan. Dalam hal ini, kelompok ulama ini berpendapat bahwa syuf’ah itu adalah milik bersama diantara mereka yang berserikat dalam pemilikan, dan oleh sebab itu pembagiannya haruslah sama rata antar syaafi’.
Suatu hal yang perlu disebutkan disini adalah bahwa adanya syuf’ah ini diatur oleh agama adalah untuk memelihara ketenangan dan keutuhan para pemilik harta bersama itu dari berbagai gangguan, baik gangguan terhadap hak milik atau ketenangan para anggota. Dalam hal ini unsur ketentraman dan kedamaian sebagai salah satu asas dalam lapangan muamalah, haruslah benar benar diperhatikan. Berangkat dari sasaran ingin menciptakan ketenangan dalam kelompok perkongsian itu, maka inti pokok dari bagaimana cara pembagian masyfu’ serta berapa kadar bagian masing masing haruslah dikembalikan kepada kesepakatan masing masing anggota perserikatan atau kepada kebiasaan yang berlaku di masyarakat.[7]
e.       Hikmah Syuf’ah
Islam mensyari’atkan syuf’ah untuk mencegah kemudharatan dan menghindari permusuhan. Hak kepemilikan syafi’ dari pembelian orang lain (pihak lain) akan dapat mencegah kemungkinan adanya kemudharatan dari orang lain yang baru saja ikut serta.
Imam Syafi’I memilih pendapat bahwa yang di maksud dengan mudharat adalah kerugian biaya pembagian, risiko adanya pihak baru yang ikut serta dan lainnya. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa maksud kemudharatan adalah risiko persekutuan.[8]
3.      Ihyaul Mawat
a.      Pengertian Ihyaul Mawat
Diantara perhatian islam untuk memakmurkan bumi ini adalah berupa anjuran untuk memakmurkan tanah yang mati, tanah yang tak bertuan dan tidak produktif, baik untuk pertanian ataupun untuk kegiatan lainnya. Dan dalam masalah ini ada beberapa hadits yang berhasil saya dapatkan untuk disebutkan pada kesempatan ini.
Dalam ajaran islam pemanfaatan lahan atau tanah yang mati, tidak bertuan dan tidak produktif ini disebut ihyaul mawat. Definisi ihyaul mawat adalah seorang muslim pergi ke tanah yang tidak dimiliki siapa pun kemudian memakmurkannya dengan menanam pohon di dalamnya, atau membangun rumah di atasnya, atau menggali sumur untuk dirinya dan menjadi milik pribadinya.
Syaikh Abdul Azhim Al Badawi berkata: “Ihyaul Mawat adalah seseorang memberikan tanda/tiang pada tanah yang sebelumnya tidak diketahui seorang pun yang memiliki tanah tersebut, kemudian dia menghidupkannya dengan mengairinya atau menanami tanaman, menanami pepohonan atau membangun bangunan, sehingga menjadi miliknya. Ihyaul Mawat diperbolehkan dan islam mendakwahkan untuk menghidupkan lahan yang mati berdasarkan sabda Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam:
مَنْ أَعْمَرَ أَرْضًا لَيْسَتْ لأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ
“Barangsiapa yang memakmurkan tanah yang tidak di miliki oleh seorang seorangpun maka dia lebuh berhak (atas tanah itu).” (HR. Imam Bukhari)
Ajaran islam menganjurkan untuk memanfaatkan lahan yang mati, yang tidak bertuan untuk dimakmurkan baik dengan dibangun rumah ataupun ditanami tanaman. Ini menunjukkan islam menganjurkan untuk membuat produktif suatu lahan, jangan sampai terbengkalai dan tidak terurus.[9]
Tanah mati adalah tanah yang tidak nampak dimiliki oleh seseorang, serta tidak nampak ada bekas-bekas apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan, ataupun yang lain. Menghidupkan tanah mati (ihya’ul mawat) itu artinya mengelola tanah tersebut, atau menjadikan tanah tersebut layak untuk ditanami dengan seketika. Tiap tanah mati, apabila telah dihidupkan oleh orang, maka tanah tersebut telah menjadi milik orang yang bersangkutan. Syara’ telah menjadikan tanah tersebut sebagai milik orang yang menghidupkannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan menjadi hak orang lain, maka dialah yang lebih berhak.”
b.      Syarat-Syarat Membuka Lahan
Lahan boleh dianggap tak bertuan dengan syarat bahwa tanah tersebut jauh dari bangunan perumahan (lingkungan mayarakat), sehingga di tanah itu tidak ada fasilitasbangunan dan tidak ada dugaan ada orang yang menghuninya. Untuk mendasari pembukaan lahan (tanah) kosong tersebut kembali pada adat kebiasaan yang berlaku, terutama untuk mengetahui pengertian jauh dari bangunan perumahan.[10]
c.       Izin Penguasa(pemerintah)
Kalangan ahli fiqih sepakat bahwa membuka tanah gersang menjadi sebab kepemilikan. Namun para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai apakah diperlukan izin dalam kepemilikan tanah tersebut.  Mayoritas para ulama’ berpendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa diwajibkan izindari pemerintah. Orang yang membuka lahan baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu minta izin pemerintah dan penguasa (pemerintah) berkewajiban member haknya apabila terjadi persengketaan mengenai hal tersebut. Dalam hadits riwayat Abu Dawud dari Said bin Zaid, bahwa Nabi saw bersabda:
Barangsiapa yang membuka lahan kosong maka tanah itu menjadi miliknya”.
Imam abu Hanifah berpendapat, pembukaan tanah sebab kepemilikan (tanah) akan tetapi disyaratkan juga mendapat izin dari penguasa dalam bentuk ketetapan sesuai aturan (akta agraria). Sedangkan Imam Malik membedakan antara tanah yang berdekatan dengan arah perkampungan dan tanah jauh darinya. Apabila tanah tersebut berdekatan, maka diharuskan mendapat izin penguasa. Namun, apabila jauh dari perkampungan maka tidak disyaratkanizin penguasa tanah tersebut otomatis menjadi milik orang pembukannya.[11]
d.      Perbedaan ihyaul mawat dengan pemberian Cuma-Cuma(iqtha’)
Menghidupkan tanah (ihya’ul mawat) itu berbeda faktanya dengan pemberian cuma-cuma (iqtha’). Perbedaannya adalah, bahwa ihya’ul mawat itu berhubungan dengan tanah mati, yang tidak nampak dimiliki oleh seseorang, juga tidak nampak adanya bekas-bekas apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan ataupun yang lain. Ihya’ul mawat itu artinya mengelola tanah tersebut dengan sesuatu yang menunjukkan bahwa tanah tersebut dikelola. Sedangkan iqtha’ itu adalah memberikan tanah yang sudah dikelola dan layak ditanami, dengan seketika, atau tanah yang nampak sebelumnya telah dimiliki oleh seseorang.[12]

0 komentar: