kasus UN ( Ujian Nasional )
Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta agar pelaksanaan ujian nasional (UN) bersahabat dengan anak. Jangan sampai dalam pelaksanaan UN secara terbuka memperlihatkan keberadaan aparat polisi.
UN merupakan salah satu instrumen dalam proses pendidikan yang bertujuan hanya semata-mata untuk mewujudkan tujuan pendidikan, sehingga penyelenggaraannya harus benar-benar ramah anak," kata Komisioner KPAI Asrorun Niam Soleh di Jakarta,
Senin (18/4/2011).Aparat kepolisian diperlukan untuk pengamanan, tetapi keberadaannya jangan terlihat murid yang sedang melaksanakan ujian.
"Pengawasan tidak perlu demonstratif melibatkan aparat kepolisian apalagi dengan berseragam, sehingga justru membuat anak tidak tenang," tuturnya.
KPAI juga meminta agar isu-isu dan diskusi soal UN juga harus diarahkan untuk kepentingan terbaik bagi anak. "Bukan justru dipolitisasi untuk kepntingan politik jangka.
Mulai pekan ini, sebanyak 10,4 juta siswa menengah di seluruh Indonesia menghadapi momentum penting ujian nasional (UN), 18-21 April 2011. Tentunya menghadapi ujian nasional tersebut, para siswa sempat mengalami tekanan psikis yang sangat kuat antara tuntutan lulus dengan nilai yang baik atau siap-siap menerima gunjingan sosial dari lingkungan kemasyarakatan apabila tidak lulus UN.
Melihat dilema tersebut, UN dengan segala indikator kelulusannya sendiri justru menjadi teror bagi para siswa yang menghadapinya. Adapun teror sendiri tidak hanya dialami oleh para siswa, tetapi para guru sekolah pun juga mengalami kecemasan yang luar biasa karena angka kelulusan siswa mereka dalam UN, kini menjadi indikator sosial yang begitu kuat bagi para orangtua maupun dinas pendidikan terkait untuk menilai kualitas pembelajaran di sekolah bersangkutan.
Jikalau mampu meluluskan siswanya hingga 100% akan menimbulkan stigma positif bagi dinas maupun masyarakat. Sebaliknya jika terdapat satu atau beberapa siswa yang gagal lulus UN maka nama baik sekolah yang menjadi taruhannya. Kuatnya stigmatisasi UN tersebut sendiri secara tidak langsung telah mengubah tujuan pendidikan luhur Indonesia yang sebelumnya untuk membangun pendidikan yang berkarakter menjadi membangun pendidikan yang pragmatis.
Pragmatisme yang dimaksud adalah cara menghalalkan segala cara yang dilakukan oleh siswa maupun guru untuk lulus UN, entah itu dengan membocorkan soal ujian UN maupun melalui aksi kecurangan lainnya. Walaupun pemerintah mengklaim bahwa angka kecurangan kelulusan UN 2011 sendiri dapat diminimalisir dari 57 kasus pada UN 2010 menjadi 0 pada tahun ini. Yang jelas, aksi kecurangan tersebut tetap akan muncul, entah pemberitaan itu terekspos maupun tidak terekspos oleh media.
Oleh karena itulah, sejatinya, penyelenggaraan UN sendiri sejatinya kurang memenuhi rasa keadilan maupun kemanusiaan yang dialami oleh guru maupun siswa. Adapun rasa keadilan yang dimaksud adalah bagaimana mungkin hasil belajar siswa selama 3 tahun ini hanya ditentukan dalam hitungan waktu 120 menit dengan 5 kode soal yang berbeda.[1]
Maka, solusi dalam perbaikan sistem UN tersebut dapat dimulai dengan standarisasi pendidikan secara menyeluruh dengan menyediakan infrastruktur pendidikan yang setara dan sederajat antara siswa Jawa dan luar Jawa. Karena, selama ini penyelenggaran UN tidak diiringi dengan perbaikan menyediakan infrastruktur pendidikan yang sama. Akibatnya, angka kelulusan UN siswa luar Jawa selalu lebih rendah daripada luar Jawa. Ke depan perlu dipikirkan lagi untuk memilih instrumen evaluasi akhir pendidikan yang lebih baik daripada UN yang selama ini sarat dengan aura diskriminasi.
0 komentar:
Posting Komentar