Mencermati perkembangan kebijakan pendidikan nasional sekurang-kurangnya mempunyai tiga makna. Pertama, untuk mengetahui kondisi pendidikan serta sosial-setting yang mempengaruhinya; kedua, untuk mengetahui pergeseran kebijakan pendidikan dari masa pra kemerdekaan hingga kini, sehingga diketahui apa yang telah berubah dan respons masyarakat atas kebijakan yang diambil; ketiga, untuk dapat meprediksikan arah pendidikan nasional masa depan yang berbasis akar budaya dan berwawasan kebangsaan.
lnterval waktu untuk memahami pergeseran kebijakan pendidikan nasional disistemisasikan dalam beberapa periodisasi sebagai berikut (Kuntoro, 1997:l-2; dkk., 1995:vii-viii). Periode pertama, masa perjuangan, yakni masa pergerakan nasional, bermula pada masa imperialisme hingga kemerdekaan. Dalam hal ini difokuskan sejak masa pendudukan Jepang sampai kemerdekaan: 1942-1945 . Periode kedua, masa awal kemerdekaan atau masa Orde Lama, tahun 1945 sampai terbentuknya secara yuridis-formal Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar pendidikan dan Pengajaran di Sekolah hingga berakhimya Orde Lama, tahun 1965. Periode ketiga, masa pembangunan atau masa Orde Baru, diawali dengan berakhirnya periode kedua sampai tahun 1994, yang ditandai diberlakukannya Kurikulum Tahun l994, hingga era reformasi sejak 1998 sampai dikembangkannya Kurikulum Berbasis Kompetensi pada tahun 2004 dan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.[1]
Masa perjuangan. Merupakan masa transisi kebijakan dari Kolonial Belanda ke jepang. Perubahan mendasar akibat transisi kebijakan tersebut sedikitnya tampak lima hal. Pertama, perubahan misi, dari upaya Kristenisasi oleh Belanda ke Nipponisasi oleh Jepang. Kedua, perubahan tipe kepemimpinan, dari sosok pemerintahan sipil belanda ke militeristik Jepang. Ketiga, perubahan strategi politik dari devide et impera Belanda ke taktik integrasi ala Jepang. Keempat, perubahan sistem pendidikan yang semula bersifat diskriminatif dengan diferensiasi sekolah menuju ke arah penyeragaman pendidikan. Kelima, perubahan yang berkaitan dengan materi dan tujuan pendidikan dan pengajaran.[2]
Masa awal kemerdekaan. Masa ini dihiasi oleh perubahan situasi sosial politik sangat dahsyat. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 menandai berakhirnya masa pendudukan Jepang atas Indonesia dan pada saat yang sama mengawali bangkitnya pendidikan nasional. Oleh karena itu pendidikan nasional pada masa awal kemerdekaan, lepas dari pengaruh kondisi sosial politik yang ada. Karenanya transisi kebijakan nasional pada masa ini dapat dibagi dalam tiga fase seiring dengan suasana politik yang mempengaruhinya. Fase pertama, sejak proklamasi kemerdekaan sampai Undang-undang RI Nomor 4 tahun 1950. Iklim pendidikan nasional saat itu, antara lain berupa: (a) masa jabatan menteri Pengajaran relatif singkat akibat sering penggantian menteri; (b) minimnya jumlah guru, terutama guru sekolah dasar, akibat keikutsertaan guru dalam perang kemerdekaan, demikian pula halnya dengan para pelajar yang merangkap fungsi sebagai tentara, menimbulkan terpecahnya konsentrasi pendidikan ke arah perjuangan nasional; (c) fasilitas sekolah banyak yang hancur akibat perang atau karena dipakai sebagai barak militer, mengakibatkan terhentinya proses pembelajaran di kelas; d) belum terbentuknya undang-undang tentang pendidikan nasional. [3] Fase kedua, dari akhir fase pertama sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Fase ini dalam konteks politik saat itu dikenal sebagai masa Demokrasi Liberal atau Demokrasi Paralementer (195I-1959). Pada fase ini beberapa faktor sosial politik yang mempengaruhi situasi pendidikan nasional telah berubah dari fase sebelumnya.Faktor yang dimaksud antara lain: (a) terjadi perubahan bentuk negara dari RIS ke Negara Kesatuan; (b) berlakunya sistem Demokasi Liberal atau Demokrasi Parlementer; (c) adanya Dekrit Presiden yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945; dan (d) melalui perjuangan bangsa Indonesia di bidang pendidikan maka dibentuklah Undang-undang RI Nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang lebih dikenal dengan nama Undang-undang Pendidikan dan Pengajaran (UUPP).[4]
Fase ketiga, dari akhir fase kedua sampai berakhirnya masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Makna dari Demokrasi Terpimpin itu nyatanya bergeser dari Era refomasi dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, sebagaimana makna sila keempat Pancasila, menjadi dipimpin oleh Presiden/Panglima Besar Revolusi. Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Sukarno menyampaikan pidato yang diberi judul terwujudnya Manifesto Politik. Manifeto Politik inilah yang dijadikan doktrin dalam era Demokrasi Terpimpin dan sekaligus sebagai penjelasan resmi Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Era kehidupan ini dikenal sebagai era Manifesto politik (disingkat Manifol).[5]
Masa pembangunan hingga reformasi. Sejak 1966 Indonesia diperintah oleh regim Orde Baru. Peralihan dari masa Orde Lama ke Orde Baru membawa konsekuensi perubahan strategi politik dan kebijakan pendidikan nasional (Liddle, 1995:1). Fokus perhatian Orde Baru ditujukan pada empat tahap strategi politik. Semuanya berpenganrh langsung bagi kebijakan pendidikannasional. Pertama, penghancuran PKI beserta ideology Marxisme dari kehidupan politik bangsa, serta membersihkan semua lembaga dan kekuatan sosial politik dari kader-kader PKI dan proses de-Nasakomisasi seluruh aspek kehidupan bangsa. Kedua, konsolidasi pemerintahan dan pemurnian pancasila dan UUD1945. Ketiga, menghapuskan dualisme dalam kepemimpinan nasional. untuk itu diadakm Sidang Istimewa MPRS tahun 1967 dengan hasil diangkatnya Jederal Soeharto sebagai presiden. Keempat, mengembalikan kestabilan politik dan merencanakan pembangunan.Strategi ini dilakukan dengan jalan mengisi kemerdekaan melalui pembangunan ekonomi serta mengembalikan wibawa pemerintah dari pusat sampai ke desa (Soernitro, 1994:l85). Itu sebabnya maka orde Baru ini diidentikan dengan masa pembangunan.
0 komentar:
Posting Komentar