KONSELOR DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh : AMAR FARUQ, S.Pd
(Guru BK MIS Kemenag Gresik Jawa Timur)
A. PERAN KONSELOR DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
Bimbingan dan konseling di Indonesia secara formal masuk dalam sistem pendidikan nasional mulai tahun 1975, yaitu pada saat diberlakukannya kurikulum 1975 di sekolah-sekolah seluruh Indonesia. Hal ini berarti bahwa sejak saat itu di mulai diakuinya profesi bimbingan dan konseling di sekolah. Suatu profesi yang diharapkan akan dapat membantu dan mendukung mengembangkan seluruh kemampuan peserta didik sesuai dengan potensinya melalui layanan bimbingan dan konseling yang bersifat psiko-pedagogis. Dengan demikian, layanan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan untuk pencapaian tujuan pendidikan. Harapan besar ditumpukan pada para penyelenggara layanan bimbingan dan konseling di sekolah (konselor).
Di dalam perjalanan mengemban tugas tersebut, bimbingan dan konseling sebagai suatu profesi yang secara legal formal relatif masih muda, banyak mengalami gangguan dan hambatan. Beragam gangguan dan hambatan tersebut, mulai dari jumlah tenaga yang masih terbatas sehingga semua orang “merasa” diperbolehkan melaksanakan tugas tersebut sampai dengan pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling yang belum optimal. Akibat berbagai gangguan dan hambatan tersebut menjadi fakta yang terjadi di sekolah selama ini yang menunjukkan bahwa konselor sekolah (guru pembimbing) masih banyak atau sering dipersepsikan secara negatif, seperti guru pembimbing sebagai polisi sekolah, guru pembimbing menakutkan, guru pembimbing hanya menangani anak bermasalah. Kondisi tersebut tentu sangat sulit untuk dapat menuaikan tugas secara umum layanan bimbingan dan konseling dengan baik dan komprehensif, terlebih untuk melaksanakan pendidikan karakter.
Penyelenggaraan pendidikan karakter banyak memerlukan pendekatan personal, baik dalam arti guru pembimbing harus kompeten dan layak untuk dicontoh, disamping itu juga pada umumnya para siswa akan ‘respek’ kepada mereka yang memiliki kedekatan secara pribadi sehingga memudahkan terjadinya penyampaian pesan-pesan atau informasi tentang pendidikan karakter. Ada banyak faktor penyebab terjadinya kesalahan persepsi tentang konselor sekolah tersebut di atas, salah satunya kinerja konselor sekolah yang belum maksimal atau belum bisa menunjukkan tugas dan peran yang seharusnya dikerjakan sebagai seorang konselor (Sofyan, 2008).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya solusi untuk mengatasi keadaan tersebut. Suatu kondisi yang cukup rumit, mengingat tugas tersebut sudah mendarah daging (habitual performance) bagi para konselor sekolah sebagai pelaksana kesehariannya, namun di pihak lain ternyata kinerja yang tampak belum sesuai dengan harapan. Bukti secara empiris menunjukkan masih banyak siswa yang belum bisa berperilaku secara normatif, antara lain mulai dari berperilaku tidak sopan, berbohong (termasuk membolos), membuat onar, berkelahi, sampai dengan berperilaku melanggar norma kesusilaan. Hal ini terjadi antara lain dari sisi peran yang semestinya dilakukan oleh seorang konselor sekolah dalam pengembangan aspek pribadi dan sosial siswa yang belum maksimal. Walaupun konselor sekolah bukan sebagai satu-satunya pihak yang harus atau paling bertanggung jawab terhadap kondisi tersebut, namun konselor sekolah tidak bisa lepas dari tanggung jawab tersebut (Washington, et.all, 2008 ). Dari perspektif ini, diharapkan tulisan ini dapat memberikan wacana untuk mengurai kerumitan masalah peran yang harus ditampilakn oleh konselor sekolah.
B. PENGERTIAN PENDIDIKAN KARAKTER
Williams & Schnaps (1999) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai “Any deliberate approach by which school personnel, often in conjunction with parents and community members, help children and youth become caring, principled and responsible”. Maknanya kurang lebih pendidikan karakter merupakan berbagai usaha yang dilakukan oleh para personil sekolah, bahkan yang dilakukan bersama-sama dengan orang tua dan anggota masyarakat, untuk membantu anak-anak dan remaja agar menjadi atau memiliki sifat peduli, berpendirian, dan bertanggung jawab.
Lebih lanjut Williams (2000) menjelaskan bahwa makna dari istilah pendidikan karakter tersebut awalnya digunakan oleh National Commission on Character Education (di Amerika) sebagai suatu istilah payung yang meliputi berbagai pendekatan, filosofi, dan program. Pemecahan masalah, pembuatan keputusan, penyelesaian konflik merupakan aspek yang penting dari pengembangan karakter moral. Oleh karena itu, di dalam pendidikan karakter semestinya memberikan kesempatan ke pada siswa untuk mengalami sifat-sifat tersebut secara langsung. Secara khusus, tujuan pendidikan moral adalah membatu siswa agar secara moral lebih bertanggung jawab, menjadi warga negara yang lebih berdisiplin (McBrien & Brandt, 1997).
Di samping itu, dalam nuansa bimbingan dan konseling menurut American School Counselor Association (1998) menyatakan tujuan dari pendidikan karakter adalah “assist students in becoming positive and self-directed in their lives and education and in striving toward future goals“, yaitu membantu siswa agar menjadi lebih positif dan mampu mengarahkan diri dalam pendidikan dan kehidupan, dan dalam berusaha keras dalam pencapaian tujuan masa depannya. Tujuan tersebut dilakukan dengan mengajarkan kepada siswa tentang nilai-nilai dasar kemanusiaan seperti kejujuran, kebaikan, kedermawanan, keberanian, kebebasan, persamaan, dan rasa hormat atau kemuliaan (McBrien & Brandt, 1997).
C. POSISI KONSELOR SEKOLAH DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
DI INDONESIA
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 menggariskan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Dari hal tersebut nampak bahwa pendidikan bukan sekedar berfungsi sebagai media untuk mengembangkan kemampuan semata, melainkan juga berfungsi untuk membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermatabat. Dari hal ini maka sebenarnya pendidikan watak (karakter) tidak bisa ditinggalkan dalam berfungsinya pendidikan. Oleh karena itu, sebagai fungsi yang melekat pada keberadaan pendidikan nasional untuk membentuk watak dan peradaban bangsa, pendidikan karakter merupakan manifestasi dari peran tersebut.
Untuk itu, pendidikan karakter menjadi tugas dari semua pihak yang terlibat dalam usaha pendidikan (pendidik). Sementara itu, konselor sekolah di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 telah diakui sebagai salah satu tenaga pendidik, seperti yang tersurat di dalam Pasal 1, “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan”.
Dari pengertian tersebut maka konselor sekolah (guru pembimbing merupakan sebutan konselor sekolah sesuai sebutan resmi untuk guru yang mempunyai tugas khusus dalam bimbingan dan konseling, menurut Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Nasional Nomor 25 Tahun 1993) tidak bisa lepas dari fungsi dan tujuan pendidikan tersebut. Dengan kata lain, konselor sekolah mempunyai peran dan tugas yang terkait dengan pendidikan karakter. Sebagai salah satu pihak yang berkepentingan dengan pendidikan karakter ini, konselor sekolah harus berkomitmen untuk melaksanakan pendidikan karakter tersebut (Stone dan Dyal, 1997:22).
D. MODEL PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KARAKTER
Keberhasilan dalam menyelenggarakan dan menanamkan nilai-nilai kehidupan melalui pendidikan karakter dapat pula dipengaruhi oleh cara atau pendekatan yang dipergunakan dalam menyampaikan. Menurut Suparno, dkk. (2002:42-44), ada empat model pendekatan penyampaian pendidikan karakter.
1. Model sebagai Mata Pelajaran Tersendiri
Dalam model pendekatan ini, pendidikan karakter dianggap sebagai mata pelajaran tersendiri. Oleh karena itu, pendidikan karakter memiliki kedudukan yang sama dan diperlakukan sama seperti pelajaran atau bidang studi lain. Dalam hal ini, guru bidang studi pendidikan karakter harus mempersiapkan dan mengembangkan kurikulum, mengembangkan silabus, membuat Rancangan Proses Pembelajaran (RPP), metodologi pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Konsekuensinya pendidikan karakter harus dirancangkan dalam jadwal pelajaran secara terstruktur. Kelebihan dari pendekatan ini antara lain materi yang disampaikan menjadi lebih terencana matang/terfokus, materi yang telah disampaikan lebih terukur. Sedangkan kelemahan pendekatan ini adalah sangat tergantung pada tuntutan kurikulum, kemudian penanaman nilai-nilai tersebut seolah-olah hanya menjadi tanggung jawab satu orang guru semata, demikian pula dampak yang muncul pendidikan karakter hanya menyentuh aspek kognitif, tidak menyentuh internalisasi nilai tersebut.
2. Model Terintegrasi dalam Semua Bidang Studi
Pendekatan yang kedua dalam menyampaikan pendidikan karakter adalah disampaikan secara terintegrasi dalam setiap bidang pelajaran, dan oleh karena itu menjadi tanggunmg jawab semua guru (Washington, et.all, 2008). Dalam konteks ini setiap guru dapat memilih materi pendidikan karakter yang sesuai dengan tema atau pokok bahasan bidang studi. Melalui model terintegrasi ini maka setiap guru adalah pengajar pendidikan karakter tanpa kecuali.
Keunggulan model terintegrasi pada setiap bidang studi antara lain setiap guru ikut bertanggung jawab akan penanaman nilai-nilai hidup kepada semua siswa, di samping itu pemahaman akan nilai-nilai pendidikan karakter cenderung tidak bersifat informatif-kognitif, melainkan bersifat aplikatif sesuai dengan konteks pada setiap bidang studi. Dampaknya siswa akan lebih terbiasa dengan nilai-nilai yang sudah diterapkan dalam berbagai seting.
Sisi kelemahannya adalah pemahaman dan persepsi tentang nilai yang akan ditanamkan harus jelas dan sama bagi semua guru. Namun, menjamin kesamaan bagi setiap guru adalah hal yang tidak mudah, hal ini mengingat latar belakang setiap guru yang berbeda-beda. Di samping itu, jika terjadi perbedaan penafsiran nilai-nilai di antara guru sendiri akan menjadikan siswa justru bingung.
3. Model di Luar Pengajaran
Penanaman nilai-nilai pendidikan karakter dapat juga ditanamkan di luar kegiatan pembelajaran formal. Pendekatan ini lebih mengutamakan pengolahan dan penanaman nilai melalui suatu kegiatan untuk dibahas dan kemudian dibahas nilai-nilai hidupnya. Model kegiatan demikian dapat dilaksanakan oleh guru sekolah yang diberi tugas tersebut atau dipercayakan kepada lembaga lain untuk melaksanakannya. Kelebihan pendekatan ini adalah siswa akan mendapatkan pengalaman secara langsung dan konkrit. Kelemahannya adalah tidak ada dalam struktur yang tetap dalam kerangka pendidikan dan pengajaran di sekolah, sehingga akan membutuhkan waktu yang lebih lama dan biaya yang lebih banyak.
4. Model Gabungan
Model gabungan adalah menggabungkan antara model terintegrasi dan model di luar pelajaran secara bersama. Model ini dapat dilaksanakan dalam kerja sama dengan tim baik oleh guru maupun dalam kerja sama dengan pihak luar sekolah. Kelebihan model ini adalah semua guru terlibat, di samping itu guru dapat belajar dari pihak luar untuk mengembangkan diri dan siswa. Siswa menerima informasi tentang nilai-nilai sekaligus juga diperkuat dengan pengalaman melalui kegiatankegiatan yang terencana dengan baik. Mengingat pendidikan karakter merupakan salah satu fungsi dari pendidikan nasional, maka sepatutnya pendidikan karakter ada pada setiap materi pelajaran.
Oleh karena itu, pendekatan secara terintegrasi merupakan pendekatan minimal yang harus dilaksanakan semua tenaga pendidik sesuai dengan konteks tugas masing-masing di sekolah, termasuk dalam hal ini adalah konselor sekolah. Namun, bukan berati bahwa pendekatan yang paling sesuai adalah dengan model integratif. Pendekatan gabungan tentu akan lebih baik lagi karena siswa bukan hanya mendapatkan informasi semata melainkan juga siswa menggali nilai-nilai pendidikan karakter melalui kegiatan secara kontekstual sehingga penghayatan siswa lebih mendalam dan tentu saja lebih menggembirakan siswa. Dari perspektif ini maka konselor sekolah dituntut untuk dapat menyampaikan informasi serta mengajak dan memberikan penghayatan secara langsung tentang berbagai informasi nilai-nilai karakter.
E. KONSELOR SEKOLAH DALAM KEGIATAN PENDIDIKAN
KARAKTER
Di dalam rambu-rambu penyelenggaraan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal termuat dalam lampiran 3 Standar Kompetensi Konselor (Departemen Pendidikan Nasional, 2007:261) dijelaskan bahwa pelayanan ahli bimbingan dan konseling yang diampu oleh konselor sekolah berada dalam konteks tugas “kawasan pelayanan yang bertujuan memandirikan siswa (individu) dalam memandu perjalanan hidup mereka melalui pengambilan keputusan tentang pendidikan termasuk yang terkait dengan keperluan untuk memilih, meraih serta mempertahankan karir untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi warga masyarakat yang peduli kemaslahatan umum melalui pendidikan”.
Ekspektasi kinerja konselor yang mengampu pelayanan bimbingan dan konseling selalu digerakkan oleh motif altruistik dalam arti selalu menggunakan penyikapan yang empatik, menghormati keragaman, serta mengedepankan kemaslahatan pengguna pelayanannya, dilakukan dengan selalu mencermati kemungkinan dampak jangka panjang dari tindak pelayanannya itu terhadap pengguna pelayanan, sehingga pengampu pelayanan profesional itu juga dinamakan “the reflective practitioner”. Terkait dengan kegiatan pendidikan karakter di sekolah konselor sekolah wajib memfasilitasi pengembangan dan penumbuhan karakter serta tanpa mengabaikan penguasaan hard skills lebih lanjut yang diperlukan dalam perjalanan hidup serta dalam mempersiapkan karier (Departemen Pendidikan Nasional, 2007:186).
Oleh karena itu, konselor sekolah hendaknya merancangkan dalam program kegiatannya untuk secara aktif berpartisipasi dalam pengembangan dan penumbuhan karakter pada siswa. Kegiatan tersebut dapat dilakukan secara mandiri yang terancang dalam program bimbingan dan konseling, dan juga bersama-sama dengan pendidik lain (guru bidang studi misalnya) yang terancang dalam program sekolah yang dilakukan secara sinergis dari beberapa pihak.
Berkaitan dengan bentuk kegiatan tersebut, maka layanan yang diberikan oleh konselor sekolah dapat bersifat preventif, kuratif, dan preseveratif atau developmental dalam rangka menunaikan fungsi pendidikan dalam mengembangkan karakter siswa. Layanan yang bersifat preventif berarti kegiatan yang dilakukan oleh konselor sekolah bermaksud untuk mencegah agar perilaku siswa tidak berlawanan dengan karakter yang diharapkan. Layanan yang bersifat kuratif bermakna bahwa layanan konselor ditujukan untuk mengobati/memperbaiki perilaku siswa yang sudah terlanjur melanggar karakter yang diharapkan. Kegiatan preseveratif/developmental berarti layanan yang diberikan oleh konselor sekolah bermaksud untuk memelihara dan sekaligus mengembangkan perilaku siswa yang sudah sesuai agar tetap terjaga dengan baik, tidak melanggar norma, dan juga mengembangkan agar semakin lebih baik lagi perkembangan karakternya.
F. MATERI PENDIDIKAN KARAKTER DI DALAM LAYANAN
BIMBINGAN
Secara umum, materi pendidikan karakter dijelaskan oleh Berkowitz, Battistich, dan Bier (2008:442) yang melaporkan bahwa materi pendidikan karakter sangat luas. Dari hasil penelitiannya dijelaskan bahwa paling tidak ada 25 variabel yang dapat dipakai sebagai materi pendidikan karakter. Namun, dari 25 variabel tersebut yang paling umum dilaporkan dan secara signifikan hanya ada 10, yaitu:
1. Perilaku seksual
2. Pengetahuan tentang karakter (Character knowledge)
3. Pemahaman tentang moral sosial
4. Ketrampilan pemecahan masalah
5. Kompetensi emosional
6. Hubungan dengan orang lain (Relationships)
7. Perasaan keterikan dengan sekolah (Attachment to school)
8. Prestasi akademis
9. Kompetensi berkomunikasi
10. Sikap kepada guru (Attitudes toward teachers)
Sementara itu, Otten (2000) menyatakan bahwa pendidikan karakter yang diintegrasikan ke dalam seluruh masyarakat sekolah sebagai suatu strategi untuk membantu mengingatkan kembali siswa untuk berhubungan dengan konflik, menjaga siswa untuk tetap selalu siaga dalam lingkungan pendidikan, dan menginvestasikan kembali masyarakat untuk berpartisipasi aktif sebagai warga negara. Dijelaskan lebih lanjut di dalam ERIC Resource Center (www.eric.ed.gov) bahwa dengan semakin meningkatnya urgensi pendidikan karakter, maka konselor sekolah perlu memahami tentang cara menggabungkan pendidikan karakter dalam program bimbingan dan konseling. Jenis materi yang disarankan antara lain sebagai berikut:
1. Tanggung Jawab (Responsibility)
Maksudnya mampu mempertanggungjawabkan. Memiliki perasaan untuk memenuhi tugas dengan dapat dipercaya,mandiri dan berkomitmen.
2. Ketekunan (Perseverance)
Kemampuan mencapai sesuatu dengan menentukan nilai-nilai obyektif disertai kesabaran dan keberanian di saat menghadapi kegagalan.
3. Kepedulian (Caring)
Kemampuan menunjukkan pemahaman terhadap orang lain dengan memperlakukannya secara baik, dengan belas kasih, bersikap dermawan, dan dengan semangat memaafkan.
4. Disiplin (Sef-Discipline)
Kemampuan menunjukkan hal yang terbaik dalam segala situasi melalui pengontrolan emosi, kata-kata, dorongan, keinginan, dan tindakan.
5. Kewarganegaraan (Citizenship)
Kemampuan untuk mematuhi hukum dan terlibat dalam pelayanan kepada sekolah, masyarakat dan negara.
6. Kejujuran (Honesty)
Kemampuan menyampaikan kebenaran, mengakui kesalahan, dapat dipercaya, dan bertindak secara terhormat.
7. Keberanian (Courage)
Bertindak secara benar pada saat menghadapi kesulitan dan mengikuti hati nurani dari pada pendapat orang banyak.
8. Keadilan (Fairness)
Melaksanakan keadilan sosial, kewajaran dan persamaan. Bekerja sama dengan orang lain. Memahami keunikan dan nilai-nilai dari setiap individu di dalam masyarakat.
9. Rasa Hormat (Respect)
Menunjukkan rasa hormat yang tinggi atas kewibawaan orang lain, dri sendiri, dan negara. Ancaman kepada orang lain diterima sebagai ancaman juga kepada diri sendiri. Memahami bahwa semua orang memiliki nilia-nilai kemanusiaan yang sama.
10. Integritas (Integrity)
Suatu ketegasan di dalam mentaati suatu nilai-nilai moral, sehingga menjadi jujur, dapat dipercaya, dan penuh kehormatan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka materi-materi tersebut memang banyak terkait dengan bidang layanan bimbingan dan konseling, khususnya bimbingan pribadi dan bimbingan sosial. Oleh karena itu, ketersediaan materi pendidikan karakter bagi konselor sekolah di Indonesia sangatlah banyak dan luas. Nilai-nilai esensi moralitas baik sebagai makhluk individu dan atau sebagai makhluk sosial bagi seorang pelajar merupakan materi pendidikan moral.
G. PERAN KONSELOR SEKOLAH DALAM PENDIDIKAN KARAKTER DI
INDONESIA
ERIC Resource Center (www.eric.ed.gov) menjelaskan bahwa jika pendidikan karakter diselenggarakan di sekolah, maka konselor sekolah akan menjadi pioner dan sekaligus koordinator program tersebut. Hal itu karena konselor sekolah yang memang secara khusus memiliki tugas untuk membantu siswa mengembangkan kepedulian sosial dan masalah-masalah kesehatan mental, dengan demikian konselor sekolah harus sangat akrab dengan program pendidikan karakter. Pentingnya peran konselor sekolah dalam pendidikan karakter ini American School Counselor Association (ASCA) menunjukkan dukungannya dengan menyatakan:
“Professional school counselors need to take an active role in initiating, facilitating and promoting character education programs in the school curriculum. The professional school counselor, as a part of the school community and as a highly resourceful person, takes an active role by working cooperatively with the teachers and administration in providing character education in the schools as an integral part of the school curriculum and activities” (ASCA, 1998).
Dengan demikian, pernyataan di atas menyiratkan perlunya konselor sekolah untuk senantiasa diperingatkan agar mereka memahami dan menyadari salah satu tugas pokoknya. Hal itu tidak bisa dihindarkan karena hasil penelitian menunjukkan bahwa sebenarnya program bimbingan dan konseling di sekolah pada dasarnya juga sudah mengakomodasi materi tugas tersebut (Ryan, & Bohlin, 2000).
Namun demikian, ada beberapa pendapat menyatakan sebaliknya konselor sekolah hendaknya menjauhi pendidikan karakter karena terasa bertentangan dengan kebebasan akademis, atau bahkan menyalahi atau menyangkut keyakinan pribadi atau melanggar hak dan perilaku pribadi (Ryan, & Bohlin, 2000).
Sungguhpun begitu, sebelumnya perlu diperhatikan dan dipertimbangakan oleh konselor sekolah bahwa semua bentuk pendidikan pasti berisi materi tentang yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan, kemanusiaan, dan kehidupan yang pada hakekatnya itu semua adalah pendidikan karakter. Beberapa pertimbangan bahwa konselor sekolah harus berperan dalam pendidikan karakter.
1. Konselor Sekolah sebagai Pendidik
Ini adalah tugas dan fungsi dasar dari setiap pendidik. Seperti dijelaskan di atas, konselor merupakan salah satu jenis tenaga pendidik, sementara itu salah satu fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan watak dan karakter bangsa. Sementara itu, konselor adalah merupakan salah satu pendidik yang telah diakui sebagai tenaga kependidikan. Oleh karena itu, konselor sekolah sebagai representasi pendidik jelas memiliki rasional yang kuat untuk menyampaikan pendidikan karakter kepada siswa. Artinya, di pundak konselor sekolah pendidikan karakter telah menjadi salah satu tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling. Bentuk pelaksanaan hal tersebut dapat secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, konselor sekolah harus merancangkan pelaksanaan pendidikan karakter dalam program kegiatannya.
Melalui program yang sudah dirancangkan dapat disusun berbagai macam kegiatan untuk menyampaikan pesan-pesan pengembangan karakter siswa. Oleh karena itu, konselor sekolah perlu memahami bagaimana caranya memilih, menyampaikan, dan memfasilitasi program pendidikan karakter. Secara tidak langsung konselor sekolah dapat menyampaikan nilai-nilai pendidikan karakter setiap ada kesempatan untuk menyampaikannya, artinya konselor sekolah harus menyelenggarkan di manapun dan kapanpun melaksanakan tugasnya secara sadar atau ingat bahwa dirinya memiliki kewajiban untuk melaksanakan pendidikan karakter dengan cara menyelipkan (terintegrasi) dalam menunaikan tugasnya.
2. Konselor Sekolah sebagai Manajer Kegiatan Pendidikan
Karakter
Konselor sekolah sebagai manajer bermakna bahwa dirinya harus mampu mengelola seluruh kegiatan yang telah diprogramkan melalui keterlibatan berbagai pihak untuk pelaksanaan pendidikan karakter. Konselor sekolah harus mampu melibatkan semua pemangku kepentingan (siswa, guru bidang studi, orang tua, kepala sekolah) di dalam mensukseskan pelaksanaan programnya. Mulai dari program pelayanan dasar yang berupa rancangan kurikulum bimbingan yang berisi materi tentang pendidikan karakter, seperti kerja sama, keberagaman, kejujuran, menangani kecemasan, membantu orang lain, persahabatan, ketekunan, kesungguhan, menejemen konflik, pencegahan penggunaan narkotika, dan sebagainya. Pelaksanaan program pelayanan dasar ini memungkinkan untuk sangat memerlukan keterlibatan atau kerja sama dengan pihak lain. Hal ini sebagai wujud bahwa pendidikan karakter merupakan tangung jawab bersama sebagai pendidik.
Di samping itu, masih ada program lain, yaitu program perencanaan individual berupa layanan untuk membantu membuat pilihan atau keputusan, dan seterusnya, dan program pelayanan responsif yang antara lain berupa kegiatan konseling individu, konseling kelompok.
3. Konselor Sekolah sebagai Konselor
Sebagai konselor dalam pengertian konvensional konselor sekolah melaksanakan kegiatan konseling. Hal ini mengingat fungsi bimbingan dan konseling yang bersifat kuratif. Kenyataan di sekolah, setiap siswa tidaklah steril terhadap berbagai permasalahan kehidupan terutama sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Kemampuan untuk menerima kondisi diri sendiri sampai dengan masalah hubungan dengan orang lain sering menimbulkan dilema bagi para siswa. Kemampuan untuk memahami diri, menerima diri, dan mengarahkan diri memerlukan proses bantuan agar siswa terbiasa untuk mampu memilih dari berbagai alternatif dengan berbagai konsekuensi sehingga siswa semakin mandiri.
Demikian pula kemampuan memahami orang lain, memaklumi orang lain, menerima orang lain, dan memperlakukan orang lain dengan baik dan benar memerlukan proses bantuan yang panjang agar setiap siswa mampu bersikap ramah, solider, toleran, empatik, dan sebagainya sehingga mereka jauh dari kesan bersikap arogan, kasar, sangar, kejam, dan sebagainya. Kondisi realita para peserta didik yang demikian mengharuskan konselor sekolah untuk menjadi sebenar-benarnya konselor untuk membantu mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin timbul pada diri siswa. Berbagai masalah yang timbul tersebut pada hakikatnya merupakan berbagai masalah dalam perkembangan karakter siswa. Dari perspektif ini pada dasarnya kegiatan konseling yang dilakukan oleh konselor sekolah untuk mengatasi berbagai masalah individu dan sosial siswa merupakan pelaksanaan pendidikan karakter.
Oleh karena itu, sekali lagi tidak ada alasan konselor sekolah tidak melaksanakan kegiatan pendidikan karakter kecuali fungsi utamanya sebagai konselor sekolah tidak dilakukannya.
4. Konselor Sekolah sebagai Konsultan
Hampir sama dengan tugas sebagai konselor, sebagai konsultan konselor sekolah menerima konsultasi dari berbagai pihak lain untuk membantu perkembangan siswa. Pendidikan karakter tidaklah mungkin diselesaikan sendiri oleh salah satu pihak. Pendidikan karakter memerlukan keterlibatan semua pihak di sekolah maupun keluarga. Berdasarkan perspektif ini maka semua pihak memiliki peran yang bersifat saling komplementer. Oleh karena itu, konselor sekolah sebagai pihak yang memberikan layanan bersifat psiko-pedagogis harus mampu memberikan layanan yang bersifat konsultatif atas kepentingan berbagai pihak, mulai dari siswa, guru, orang tua, kepala sekolah, bahkan mungkin sampai dengan masyarakat. Berdasarkan rasional tentang tugas konselor sekolah terkait dengan pendidikan karakter di Indonesia tersebut, maka ada beberapa peran konselor sekolah dalam pelaksanaan pendidikan karakter di Indonesia.
5. Konselor Sekolah Berperan sebagai Panutan/Contoh
Seperti dijelaskan di atas, konselor sekolah menjadi salah satu figur sentral dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah. Oleh karena itu, sebagai pendidik konselor sekolah merupakan figur yang menjadi sorotan para siswa khususnya dalam contoh pelaksanaan pendidikan karakter kehidupan seharihari di sekolah. Sebagai teladan bagi siswa maka semua aspek kepribadian, penampilan, dan tingkah laku akan menjadi contoh siswa. Aspek kepribadian merupakan manifestasi kondisi psiko-biologis sosial konselor sekolah dalam menghadapi atau menyesuaikan terhadap lingkungan yang baru. Para siswa (orang lain) akan melihat keseluruhan indikator sistem psiko-fisik konselor sekolah dalam berhubungan dengan orang lain. Berbagai macam ciri kepribadian yang meliputi seluruh sifat-sifat, karakter, sikap, dan sebagainya akan dinilai sebagai kepribadian konselor sekolah.
Dari perspektif ini,konselor sekolah harus menyadari seluruh aspek kepribadiannya menjadi panutan para siswa. Demikian pula penampilan dan tingkah laku konselor sekolah menjadi panutan para siswa. Cara berpakaian, berdandan, model pakaian dan seterusnya menjadi sorotan para siswa. Oleh karena itu, menjadi sangat sulit terlaksana pendidikan karakter jika konselor sekolah tidak bisa menyesuaikan gaya penampilannya agar sesuai dengan apa yang disampaikan. Apalagi aspek tingkah laku dari konselor sekolah yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan siswa akan sangat mempengaruhi keberhasilan pendidikan karakter.
Berdasarkan berbagai hal di atas maka kemampuan konselor sekolah untuk menjadi panutan atau contoh dalam pelaksanaan nilai-nilai pendidikan karakter sangat perlu. Artinya, keberhasilan pendidikan karakter akan sangat banyak ditentukan oleh kualitas konselor sekolah dalam menjadikan dirinya sebagai teladan.
6. Konselor Sekolah sebagai Perancang Kegiatan
Pelaksanaan suatu program akan baik jika telah dirancang atau dipersiapkan dengan baik program tersebut. Konselor sekolah dapat membantu keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter dengan memprogramkan pendidikan karakter melalui program pelayanan dasar yang berupa berbagai informasi yang secara langsung ataupun terintegrasi dalam pelaksanaan kegiatan layanan bimbingan dan konseling. Hal ini terutama menyangkut materi-materi layanan bimbingan pribadi dan bimbingan sosial. Materi layanan bimbingan pribadi antara lain kejujuran, ketekunan, tanggung jawab, keberanian, kedisiplinan, integritas, kompetensi emosional dan seterusnya, sedangkan bimbingan sosial antara lain meliputi keadilan, toleransi, rasa hormat, kompetensi penyelesaian masalah, keterampilan berkomunikasi, dan sebagainya.
Dari berbagai materi tersebut nampak sekali bahwa konselor sekolah memiliki pran yang sangat sentral dalam pelaksanaan pendidikan karakter di Indonesia jika diprogramkan dalam kegiatan bimbingan dan konseling. Hal ini dapat dilaksanakan secara mandiri ataupun bersama-sama dengan guru lain di sekolah.
7. Konselor Sekolah sebagai Healer/Problem Solver
Di samping melalui perancangan program kegiatan, konselor sekolah dapat berperan dalam pendidikan karakter melalui fungsinya sebagai healer/problem solver. Kenyataan di sekolah para siswa menghadapi berbagai masalah mulai dari masalah belajar, masalah karir, masalah pribadi, sampai masalah sosial. Seperti dijelaskan di atas bahwa pelayanan bimbingan dan konseling terkait dengan pendidikan karakter terutama melalui bimbingan pribadi dan bimbingan sosial. Dari sudut pandang ini maka peran konselor sekolah nampak ketika membantu memecahkan berbagai permasalahan yang terkait dengan masalah pribadi atau masalah sosial. Hal itu semua sebagai bentuk kegiatan pelayanan responsif dari konselor sekolah. Di samping itu, ketika siswa menghadapi berbagai persoalan yang bersifat pilihan maka peran konselor untuk membantu siswa memilih dapat dilakukan melalui kegiatan perencanaan individual.
8. Konselor Sekolah sebagai Konsultan/Mediator
Bahwa pendidikan karakter merupakan tugas dan tanggung jawab semua pendidik di sekolah. Oleh karena itu, konselor akan dapat berperan sebagai patner ataupun sebagai konsultan dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah. Bahkan, konsulasi tidak terbatas hanya dengan para pelaksana pendidikan karakter di sekolah (guru, kepala sekolah) tetapi juga dengan para pelaksanan pendidikan karakter di luar sekolah (orang tua, anggota masyarakat).
Hal ini sangat mungkin dilakukan mengingat pendidikan karakter sebenarnya menyangkut banyak pihak yang terlibat dalam pelaksanaanya. Di samping itu, di mungkinkan juga konselor sekolah bertindak sebagai mediator dalam rangka penyelesaian permasalahan yang dihadapi para siswa.
H. PENUTUP
Konselor sekolah memiliki tugas yang sangat dekat dan erat dengan misi pendidikan karakter. Kedekatan dan keeratan kewajiban konselor sekolah terhadap pendidikan karakter terlihat secara jelas dari bidang gerak bimbingan dan konseling yang berimplikasi bahwa konselor sekolah secara substantif dan fungsional memiliki tugas yang tidak terelakkan. Oleh karena itu, konselor sekolah di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung berkewajiban menyelenggarakan program pelayanan bimbingan dan konseling yang bernuansa nilai-nilai pendidikan karakter
Di samping itu, konselor harus menyiapkan diri untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi sebangai bentuk sinergi pelaksanaan pendidikan karakter. Tidak ketinggalan, sebagai konselor hendaknya mengembangkan nilai-nilai pendidikan karekater melalui kegiatan konseling yang dilakukannya.
DAFTAR PUSTAKA
- American School Counseling Association.1998. American School Counseling Association’s Position Statement on Character Education. http://www.schoolcounselor.org/content.cfm?L1=1000&L2=7. Diunduh 10 December 2009.
- Berkowitz, M.W., Battistich, V.A., Bier, M.C. 2008. “What Works in Character Education: What IsKnown and What Needs to Be Known”. Handbook of Moral and Character Education. Pages 414-431. New York: Tailor andFrancis.
- Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Penataan Pendidikan Profesional Konselor Dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung: PPB FIP UPI.
- ERIC Resource Center ED475389 2003-06-00 Character Education: What Counselor Educators Need To Know. ERIC/CASS Digest. www.eric.ed.gov. Diunduh 2 Maret 2010.
- McBrien, J. L., & Brandt, R. S. 1997. The Language of Learning: A Guide to Education Terms. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development.
- Otten, E. H. 2000. “Character Education. Bloomington, IN: ERIC Clearinghouse for Social Studies/ Social Science Education”. ERIC Document Reproduction Service, No. ED 444 932). http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed444932.html. Retrieved February 15, 2009.
- Richardson, R.C., Tolson H., Huang, T.Y., Lee, YH.. 2009. “Character Education: Lessons for Teaching Social and Emotional Competence”. Children & Schools. Apr 2009; 31, 2; pg. 71.
- Ryan, K. & Bohlin, K. 2000. Teacher Education’s Empty Suit. Education Week on the WEB. http://www.edweek.org/ew/ewstory.cfm?slug=26ryan.h19. Diunduh 19 Pebruari 2010.
- Sofyan S. Willis. 2008. “Guru BK tak Perlu Beri Solusi”. Pikiran Rakyat 17 Pebruari 2008. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/-042006/07/0702.htm.
- Stone, C. and Dyal, M.A. 1997. “School Counselors Sowing the Seeds of Character Education”. Professional School Counseling, Dec 1997; 1, 2; pg. 22-24.
- Suparno, Paul, Moerti Yoedho K., Detty Titisari, St. Kartono. 2002. Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah. Yogyakarta: Kanisius.
- Washington, E. Y., Clark, M.A. and Dixon, A.L. 2008. “Everyone in School Should Be Involved” Preservice Counselors’ Perceptions of Democracy and the Connections Between Character Education and Democratic Citizenship Education”. Journal of Research in Character Education, 6(2), pp. 63–80.
- Williams, M. 2000. “Models of Character Education: Perspectives and Developmental Issues”. Journal of Humanistic Counseling, Education and Development, 39, pp. 32-40.
- Williams, M., & Schnaps, E. (Eds.) 1999. Character Education: The foundation for teacher Education. Washington, DC: Character Education Partnership.
0 komentar:
Posting Komentar