Fundamen Teologis Islam
Tentang Pluralitas Agama :
Bibit Sikap Toleransi
Oleh: Mu’arif Ishmatullah
Pendahuluan
Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembia dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (Al-Baqarah: 213).
Dalam diskursus toleransi, kehendak untuk hidup berdampingan secara damai, yang dibangun diatas cinta kasih, merupakan fitrah setiap manusia. Sebagai makhluk tuhan yang paling sempurna, manusia sejak awal sudah dititahkan untuk menebar kasih-sayang. Ia hadir untuk merespon makhluk-makhluk yang telah diciptakan sebelumnya, yang kerap kali melahiran perpecahan dan perseteruan (QS. al-Baqarah [2]: 30)
Tentunya manusia sebagai khalifah –suatu gelar yang sangat terhormat dalam al-Quran-, dengan gelar tersebut sebenarnya manusia meneguhkan eksistensi manusia sebagai makhluk paripurna yang seharusnya mampu menerjemahkan iman dalam kebaikan sosial. Artinya, manusia dengan gelar khalifahnya mengimplementasikan iman yang ada di dasar kalbu dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih kompleks. Dalam hal ini, toleransi merupakan suatu fundamen yang sangat vital bagi keberagaman yang plural. Sebab tanpa toleransi, maka yang akan menonjol adalah karakter hewaniyah (kebinatangan).
Pengimplementasian iman dari hati pada kehidupan sosial dengan cara amal saleh (kebaikan sosial). Maka kerap kali iman disandingan dengan amal saleh, sehingga kedua dimensi merupakan nilai yang dapat mempertemukan visi pembebasan agama-agama. Dalam QS.al-Kahfi: 110, Allah secara gamblang menjelaskan tenang kesamaan visi setiap agama, yang menitikberatkan pada dimensi iman dan amal saleh. Kedua hal tersebut akan menjadi modal setiap agamawan pada hari Pembebasan nanti.[1]
Dalam hal ini, iman dan amal saleh dapat dijadikan sebagai landasan dasar yang kuat untuk memangun toleransi dan harmoni di antara umat agama-agama.iman dan amal saleh sejatinya dapat membangun kesadaran, bahwa setiap agama mempunyai visi dan misi sama, yaitu menyelamatkan umat dari keterpurukan, kebinasaan dan kehancuran.
Para nabi diutus oleh Allah untuk membawa misi penyelamatan dan pembebasan. Nabi Musa as. menjadi seorang utusan Tuhan yang menyelamatkan umatnya dari penderitaan dan penindasan, yang dilakukan oleh rezim lalim. Nabi Isa as. adalah Nabi yang dikenal dengan ajaran kasih-sayang. Sedangkan Nabi Muhammad adalah Nabi yang membawa rahmat bagi semesta alam.
Fundamen Teologis
Al-Quran mempunyai pandangan yang sangat mendasar mengenai kemajemukan (pluralitas) agama yang melahirkan sikap toleran antar pemeluk agama. Pada ayat berikut: ”Bagi setiap kalian, kami berikan aturan (syir’ah) dan jalan (minhaaj)”. (QS. al-Maidah: 48).
Kata “syir’ah” yang acapkali diterjemahkan “hukum” juga menarik perhatian para mufasir. Apa arti “bagi setiap kalian Kami berikan hukm”? Tafsir-tafsir awal lebih mengesankan sikap “pluralis” dalam menjelaskan kata syir’ah. Menarik dicatat, muqatil menyuguhkan penjelasan paling rinci tentang perbedaan syir’ah tiga agama yang kerap disebut “agama-agama Ibrahim” itu. Poinnya adalah, perbedaan syir’ah dalam agama-agama bukanlah soal kekhususan ruang dan waktu, melainkan lebih pada aspek indepedensi setiap umat. Artinya, sebagaimana halnya umat Muhammad tidak diperintahkan mengikuti hukum agama lain, mereka juga tidak diperintahkan mengikuti syari’at Muhammad. Aspek indepedensi dan otonomi ini dielaborasi lebih jauh oleh Razi dan Zamakhsyari. Frase al-Quran “bagi setiap kalian, kami berikan aturan dan jalan”, bagi razi, merupakan suatu indikasi “setiap Nabi adalah otonum dengan syari’atnya sendiri”. Zamakhsyari menawarkan visi lebih pluralistik, bahwa perebedaan itu memang didesain untuk menguji apakah orang-orang yang mengamalkannya meyakini keragaman syari’at itu demi kemaslahatan umat manusia sendiri.[2]
Bagi Cak Nur, pluralisme agama berakar kuat dalam penerimaan al-Quran atas keragaman agama: “Bagi setiap kalian, Kami berikan aturan dan jalan”. Al-Quran mengakuai bahwa pluralitas merupakan suatu fakta kehidupan dan bagian dari tatanan dunia. Pluralitas semacam ini sangat jelas, di antaranya, dalam keragaman agama. Seluruh agama yang dibawa oleh semua Nabi sama-sama mengemban apa yang disebutnya “universal way”, yaitu jalan menuju Tuhan. Bahkan, “agama sendiri adalah “jalan”, seperti diekspresikan dalam Islam sebagai “syari’ah, sirah, sabil, tariqa, minhaj, mansak, atau tao dalam agama China, dan dharma dalam agama Hindu dan Budha. Ini juga prinsip di balik pernyataan dalam Bibel bahwa Jesus adalah jalan.[3]
Adapun Engineer lewat karyanya Rational Approach to Islam mengatakan: Frase “bagi setiap kalian, Kami berikan aturan dan jalan” merupakan bagian yang signifikan pada QS.5:48. Bukanlah hal yang suli bagi Tuhan untuk menjadikan seluruh manusia menjadi satu umat, akan tetapi Dia menganugerahkan kita dengan pluralisme yang dapat menambah kekayaan dan keragaman dalam hidup ini.
Dalam merumuskan teori pluralisme agama, Engineer menyentuh pertanyaan-pertanyaan krusial. Misalnya, apakah kebenaran itu tunggal atau tudak? Apakah kebenaran itu absolute atau relative? Bolehkah satu agama mengklaim memiliki seluruh kebenaran? Menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini, ia tidak sungkan membuat statement lebih eksplisit dibanding Cak Nur tentang kesatuan agama. Bagi Engineer, QS.5:48 telah memginspirasikan sejumlah ulama seperti Shah Waliyullah (w. 1762) dan Abdul Kalam Azad (w. 1958) dari India untuk sampai pada konsep “wahdat-e-din” (yakni, kesatuan agama). Engineer tidak masuk ke dalam perbincangan yang rumit bagaimana dan kenapa secara histories agama-agama berbeda satu sama lain kendati bersumber dari din yang sama. Tampaknya belun ada sarjana (jikapun ada) yang memberikan penjelasan teoritis cukup sophisticated sebagaimana ditawarkan Frithjof Schoun dengan teori “the transcendent unity of religion”-nya. Titik tekan Engineer lebih pada argument praktis untuk mrnghindari masyarakat dari klaim-klaim absolute yang bisa mengganggu ketentraman dan kedamaian. Dia mengatakan bahwa “bukan tugas manusia untuk memperebutkan siapa yang benar atau salah, karena hal itu akan menyebabkan gangguan dan rusaknya kedamaian.”[4] Semuanya ada di tangan Tuhan, karena Dialah yang menciptakan agama-agama ini berbeda, dan Dia pula yang kelak akan membeberkan rahasia keragaman itu.
Penutup
Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diturunkan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk dan patuh kepada-Nya”. (QS. al-Baqarah: 136).
Agama yang paling dicintai Allah adalah kehanifan (al-hanafiyyah) yang toleran (as-samhah). (al-Hadith).
[1] Zuhairi Misrawi, dkk. Khutbah-khutbah Toleransi, MMS (Mederate Muslim Society), 2009.
[2] Mun’im Sirry, Tafsir 5:48 dan Diskursus Kontemporer Pluralisme Agama. Bahan presentasi pada “The 37” AMSS Annual Conference” diselenggarakan di Harvard Divinity School, 24-25 Oktober 2008.
[3] Nurcholish Madjid, “Interpreting the Qur’anic Principle of Religious Pluralism”, dalam Abdullah Saeed (ed.), Approaches to the Quran in Contemporary Indonesia (Oxford University Press,2005).
[4] Mun’im Sirry.
0 komentar:
Posting Komentar