
#010
---
berbantal sepasang besi panjang, rebah aku di atas tanah. namun bukan [ter]kubur. kereta api masih melepaskan bau kamar ribuan orang. membawa kabar, memecah kelakar. jalan yang dilalui masih tinggalkan getar. kereta menjerit, meronta dalam derit, menggema menjadi suara riuh pasar di kepalaku. kereta api membentuk kota, mengedarkan manusia yang bertemu, kota membuka pintu, aku menunggu. kata sedang menunggu, aku menunggu. kota hanya ruang dari kardus, menunggu pita persembahan dan berkali-kali hangus, masih terus dibakar. aku berkalang halaman putih, menjaga tubuh agar siuman, setengah remang, membelah barisan siluman. menyapih pedih melihat langit menindih bumi, tanpa rintik hujan, tanpa kilat terlihat bersahutan. musim penghujan hanya di tubuhku, di mataku. halaman putih menemani, kian pucat. telepon penuh [s]angka meluap. senyap jawab masih. semua rencanaku tersisih. bulan hampir berakhir, gelombang laut masih tak tenang. bintang-bintang pergi menuju sangkan paran melagukan kejadian tentang bunga yang berciuman dengan angin musim, dengan kaki tak bermukim. namun hanya lamun dan kerumun orang-orang bertandang tanpa henti, melumat pandang. lagu di dadaku sudah tak peduli. siapa yang menyanyikannya. suara ini milikmu, suara ini diam, rindu jauh membenam. rupanya, matahari memang tak kuasa membiaskan wujudmu. puisiku tak lagi kiasan dan ungkapan, jika tentangmu. bahkan seluruh tubuh menari tanpa kendali. tenggelam pada malam hitam. saling sahut memeluk dongeng menenangkan. menderu, segelombang dengan laut biru. entah sedih atas [l]aku macam apa. sebab rinduku tanpa sebab dari pikiran. sedang rasa ingin menuntut balas dengan pertemuan. di mana kau?
---
berbantal sepasang besi panjang, rebah aku di atas tanah. namun bukan [ter]kubur. kereta api masih melepaskan bau kamar ribuan orang. membawa kabar, memecah kelakar. jalan yang dilalui masih tinggalkan getar. kereta menjerit, meronta dalam derit, menggema menjadi suara riuh pasar di kepalaku. kereta api membentuk kota, mengedarkan manusia yang bertemu, kota membuka pintu, aku menunggu. kata sedang menunggu, aku menunggu. kota hanya ruang dari kardus, menunggu pita persembahan dan berkali-kali hangus, masih terus dibakar. aku berkalang halaman putih, menjaga tubuh agar siuman, setengah remang, membelah barisan siluman. menyapih pedih melihat langit menindih bumi, tanpa rintik hujan, tanpa kilat terlihat bersahutan. musim penghujan hanya di tubuhku, di mataku. halaman putih menemani, kian pucat. telepon penuh [s]angka meluap. senyap jawab masih. semua rencanaku tersisih. bulan hampir berakhir, gelombang laut masih tak tenang. bintang-bintang pergi menuju sangkan paran melagukan kejadian tentang bunga yang berciuman dengan angin musim, dengan kaki tak bermukim. namun hanya lamun dan kerumun orang-orang bertandang tanpa henti, melumat pandang. lagu di dadaku sudah tak peduli. siapa yang menyanyikannya. suara ini milikmu, suara ini diam, rindu jauh membenam. rupanya, matahari memang tak kuasa membiaskan wujudmu. puisiku tak lagi kiasan dan ungkapan, jika tentangmu. bahkan seluruh tubuh menari tanpa kendali. tenggelam pada malam hitam. saling sahut memeluk dongeng menenangkan. menderu, segelombang dengan laut biru. entah sedih atas [l]aku macam apa. sebab rinduku tanpa sebab dari pikiran. sedang rasa ingin menuntut balas dengan pertemuan. di mana kau?
7:06 AM 7/28/2011
image: pure-insomnia
teks: day milovich,,
tag: puisi, sastra facebook, menulis puisi, kumpulan puisi
---
*) Puisi #010 Day Milovich, dari Kumpulan Puisi ke-9 Sleepwalker 80, (c) 2011.
0 komentar:
Posting Komentar