Pages

Rabu, Juni 29

Arah Kebijakan Pembangunan Pendidikan Nasional Tahun 2010—2014 sebagai solusi masa depan

Peningkatan Mutu dan Daya Saing Pendidikan dengan Pendekatan Komprehensif
Depdiknas telah mengembangkan pendekatan yang komprehensif untuk meningkatkan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan. Pendekatan komprehensif ini didesain berdasarkan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengamanatkan dikembangkannya Standar Nasional Pendidikan (SNP), penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional dan berbasis keunggulan lokal, akreditasi pendidikan, dan Standar Pelayanan Minimal
(SPM).
1) Standar Nasional Pendidikan
Standar Nasional Pendidikan (SNP) berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan telah diterbitkan (a) Peraturan Mendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; (b) Peraturan Mendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; (c) Peraturan Mendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru; (d) Peraturan Mendiknas Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; (e) Peraturan Mendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan; (f) Peraturan Mendiknas Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana; (g) Peraturan Mendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses, sedangkan standar pembiayaan pendidikan masih dalam prores penyelesaian oleh Badan Standar Nasional Pendidikan.
Kebijakan tentang SNP akan dilaksanakan melalui kegiatan (1) menerapkan standar isi dalam kurikulum satuan pendidikan; (2) menerapkan standar kompetensi lulusan; (3) menerapkan standar kualifikasi guru, dan melaksanakan sertifikasi guru; (4) menerapkan standar pengelolaan pendidikan; (5) menerapkan standar penilaian hasil belajar; (6) menerapkan standar sarana dan prasarana pendidikan; (7) menerapkan standar proses pendidikan; dan (8) mengembangkan standar pembiayaan pendidikan.

2) Pendidikan Bertaraf Internasional dan Berbasis Keunggulan Lokal
Pasal 50 ayat (3) UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional, sedangkan ayat (5) mengamanatkan bahwa pemerintah kabupaten dan kota mengelola pedidikan dasar dan menengah serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
Karakteristik pendidikan bertaraf internasional adalah bahwa proses dan lulusan Rabu, 27 April 2011 pendidikan minimal setara dengan sekolah dan perguruan tinggi di negaranegara maju. Rintisan sekolah/madrasah bertaraf internasional yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia telah dilakukan mulai tahun 2005 di samping sekolah/madrasah yang memang sudah bertaraf internasional. Pada tahun 2007, jumlah sekolah yang sedang dirintis maupun yang sudah bertaraf internasional pada tingkat SD berjumlah 39 sekolah, SMP berjumlah 100 sekolah, dan tingkat SMA berjumlah 199 sekolah, sedangkan untuk SMK berjumlah 179 sekolah. Perintisan sekolah/madrasah berbasis keunggulan lokal masih dalam tahap sosialisasi.
Selama dua tahun terakhir, capaian mutu perguruan tinggi telah menunjukkan
peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari prestasi beberapa perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta yang telah berhasil masuk dalam kategori universitas berkelas dunia ataupun kategori universitas bertingkat Asia. Kebijakan pembangunan pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional dan berbasis keunggulan lokal akan dilaksanakan melalui kegiatan:
1) meningkatkan jumlah pembangunan satuan pendidikan bertaraf internasional dan berbasis keunggulan lokal minimal satu sekolah di wilayah provinsi, kabupaten, dan kota;
2) membantu penyelenggaraan satuan pendidikan bertaraf internasional dan berbasis keunggulan lokal yang diselenggarakan oleh masyarakat;
3) memfasilitasi kerja sama pendidikan antara satuan pendidikan bertaraf internasional dan mitra pendidikan (sister school) di luar negeri.

3) Akreditasi Pendidikan
Salah satu reformasi di bidang pendidikan yang dituangkan ke dalam UU Sisdiknas adalah akreditasi pendidikan sebagai bentuk penjaminan mutu dan akuntabilitas program dan/atau satuan pendidikan. Akreditasi pendidikan dilakukan oleh lembaga independen melalui proses penilaian terhadap mutu layanan dan proses pendidikan pada program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan standar yang telah ditetapkan. Apabila standar telah dipenuhi maka status akreditasi akan diberikan terhadap program dan/atau satuan pendidikan tersebut. Umumnya di kebanyakan negara, akreditasi dilakukan oleh pemerintah dan lembaga akreditasi independen. UU Sisdiknas mengamanatkan bahwa pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan. Akreditasi dapat dilakukan oleh lembaga mandiri yang mendapat kewenangan dari pemerintah. Sebagai akuntabilitas publik, akreditasi dilakukan secara objektif, adil, transparan, dan komprehensif dengan menggunakan instrumen dan kriteria yang mengacu pada SNP.
Akreditasi oleh Pemerintah dilakukan oleh (i) Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BANS/BANM) terhadap program dan/atau satuan pendidikan dasar dan menengah jalur pendidikan formal; (ii) Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi terhadap program dan/atau satuan pendidikan tinggi; dan (iii) Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal (BAN PNF) terhadap program dan/atau satuan pendidikan jalur nonformal. Peringkat akreditasi terdiri atas A, B, C, dan D masing-masing untuk peringkat yang paling tinggi hingga ke peringkat paling rendah. Dalam melaksanakan akreditasi BANS/BANM dibantu oleh badan akreditasi provinsi yang dibentuk oleh gubernur. Lembaga mandiri yang melakukan akreditasi pendidikan harus berbadan hukum Indonesia yang bersifat nirlaba dan memiliki tenaga ahli yang berpengalaman di bidang evaluasi pendidikan.
Proses akreditasi difokuskan pada kelayakan kurikulum dan isi pembelajaran, proses belajar mengajar, pencapaian standar kelulusan, manajemen dan organisasi kelembagaan, sarana dan prasarana, guru dan tenaga kependidikan, pembiayaan, dan sistem penilaian pendidikan sebagaimana ditetapkan dalam SNP. Proses akreditasi pada sekolah dan madrasah difokuskan pada kurikulum dan proses belajar mengajar, manajemen sekolah, organisasi/kelembagaan sekolah, sarana dan prasarana, ketenagaan, pembiayaan, peserta didik, peran serta masyarakat dan lingkungan/kultur sekolah. Proses akreditasi pendidikan tinggi mencakup kelayakan pelaksana tri darma perguruan tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat, sedangkan proses akreditasi pada pendidikan nonformal mencakup kelayakan program dan/atau satuan pendidikan dalam memberikan pendidikan keterampilan fungsional.
Kebijakan akreditasi akan dilaksanakan melalui kegiatan peningkatan efektivitas kegiatan akreditasi yang mencakup kemampuan personel, sarana, dan anggaran, serta peningkatan transparansi proses akreditasi.

4) Standar Pelayanan Minimal (SPM)
SPM bidang pendidikan yang ditetapkan dengan Kepmendiknas No.129a/U/2004 sedang dalam proses penyempurnaan untuk diselaraskan dengan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan PP No. 65 Tahun 2005 karena SPM pendidikan ini sangat diperlukan untuk menjamin terwujudnya mutu pendidikan yang diselenggarakan pemerintah daerah. Prinsip-prinsip SPM menurut Pasal 3, PP No. 65 Tahun 2005, yaitu (1) SPM disusun sebagai alat.
Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib; (2) SPM ditetapkan oleh pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh pemerintahan daerah provinsi, pemerintahan daerah kabupaten, dan kota; (3) penerapan SPM oleh pemerintahan daerah merupakan bagian dari penyelenggaraan pelayanan dasar nasional; (4) SPM bersifat sederhana, konkret, mudah diukur, terbuka, terjangkau, dan dapat dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas waktu pencapaian; dan (5) SPM disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas, dan kemampuan keuangan nasional dan daerah.
Untuk menjamin terlaksananya SPM tersebut, selanjutnya pemerintahan daerah menyusun rencana pencapaian SPM yang memuat target tahunan pencapaian SPM dengan mengacu pada batas waktu pencapaian SPM sesuai dengan peraturan menteri. Rencana pencapaian SPM tersebut dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD).
Kebijakan tentang standar pelayanan minimal pendidikan akan dilaksanakan melalui kegiatan (1) penetapan standar pelayanan minimal (SPM) yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah dan satuan pendidikan; (2) menjamin pelaksanaan standar pelayanan minimal (SPM) pada tingkat satuan pendidikan; dan (3) pengawasan atas terselenggaranya standar pelayanan minimal (SPM) secara konsisten.

b. Perbaikan Rasio Peserta Didik SMK:SMA dan Pendidikan Vokasi
Peningkatan relevansi pendidikan merupakan kebijakan yang ditujukan agar keluaran pendidikan dapat lebih berorientasi pada pemenuhan dunia kerja serta kebutuhan dunia usaha dan industri. Oleh sebab itu, relevansi proses pendidikan formal dan nonformal perlu diarahkan agar peserta didik, baik di tingkat pendidikan menengah, terutama kejuruan maupun di tingkat pendidikan tinggi agar lebih siap memasuki dunia kerja.
Peningkatan relevansi pendidikan yang dilaksanakan pada periode 2010—2014 meneruskan perbaikan rasio peserta didik SMK: SMA dan pendidikan vokasi melalui (a) penyesuaian rasio jumlah murid SMK dibanding SMA; (b) peningkatan APK PT vokasi (D-2/D-3/D-4/politeknik); (c) peningkatan persentase jumlah mahasiswa profesi terhadap jumlah lulusan S-1/D-4; (d) peningkatan persentase peserta kursuspara profesi yang berorientasi kecakapan hidup terhadap lulusan SMP/MTs dan yang sederajat serta SMA/SMK/MA dan yang sederajat yang tidak melanjutkan; dan (e) peningkatan jumlah sertifikat kompetensi yang diterbitkan pada jenjang pendidikan menengah, jenjang pendidikan tinggi, dan jalur pendidikan nonformal serta pendidikan luar biasa dengan mengembangkan kegiatan sertifikasi keterampilan khusus.

c. Otonomisasi Satuan Pendidikan
Sejalan dengan kerangka hukum reformasi pendidikan, khususnya UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, Pemerintah memberikan otonomi kepada pemerintahan provinsi, kabupaten, atau kota untuk mengurusi pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah secara demokratis.
Kebijakan otonomi satuan pendidikan merupakan strategi demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang menekankan pada desentralisasi otonomi satuan pendidikan sebagai Badan Hukum Pendidikan (BHP). Berbeda dengan kebijakan pengelolaan pendidikan secara sentralistik, otoritas satuan pendidikan bersumber dari satu otoritas tertinggi, yaitu berupa delegasi kewenangan. Sumber otoritas pengelolaan berbasis otonomi adalah kewenangan atributif yang dimiliki oleh satuan pendidikan sebagai BHP.
Otoritas pengelolaan berbasis delegasi kewenangan dapat ditarik kembali oleh Pemberi kewenangan (yaitu pemerintah untuk sekolah negeri), sedangkan kewenangan atributif sebagai BHP dimiliki oleh satuan pendidikan merupakan kewenangan asli yang ditetapkan oleh undang-undang, seperti kewenangan otonomi BHP. Oleh karena itu, otonomi satuan pendidikan selain sebagai bentuk demokratisasi pengelolaan pendidikan, juga merupakan jaminan bagi satuan pendidikan untuk mengelola organisasi pendidikannya secara mandiri. Otonomi yang diberikan harus diimbangi dengan akuntabilitas yang kuat sehingga lingkungan kelembagaan satuan pendidikan lebih kondusif bagi tumbuhnya pribadi yang mandiri, bertanggung jawab, demokratis, kreatif, inovatif, dan entrepreneurial.
Dalam konteks sistem pendidikan nasional sebagaimana ditetapkan dalam UU Sisdiknas, kebijakan otonomi satuan pendidikan dinyatakan dalam bentuk pelaksanaan manajemen berbasis sekolah/madrasah dan otonomi perguruan tinggi. Pemerintah bertanggung jawab mengelola sistem pendidikan nasional dan pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas penyelengaraan pendidikan lintas daerah kabupaten dan kota, sedangkan pemerintah kabupaten dan kota mengelola pendidikan dasar dan menengah. Renstra 2010--2014 merupakan upaya untuk memperkuat implementasi otonomi pendidikan pada satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

1)      Otonomi pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah
Salah satu wujud dari otonomi pendidikan, baik satuan pendidikan negeri maupun swasta pada pendidikan dasar dan menengah 9 tahun diterapkannya konsep dan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau madrasah (school-based management). Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 51 ayat 1 dinyatakan bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.
Penerapan manajemen berbasis sekolah atau madrasah merupakan kebijakan terobosan yang bertujuan untuk memberikan otonomi yang lebih besar pada sekolah dan madrasah untuk mengelola kegiatan pendidikan dengan menggali potensi dan kekuatan yang ada, kemudian mengembangkan dan memanfaatkannya untuk meningkatkan mutu pendidikan, melalui kegiatan pengelolaan BOS, dan penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Hasil pendidikan yang bermutu ditentukan oleh kemampuan pengelola pendidikan, yaitu pendidik, tenaga kependidikan, serta komite sekolah/madrasah. Pendidik berperan sebagai ujung tombak pelaksana kegiatan pembelajaran yang efektif dan efisien. Kepala sekolah berperan sebagai edukator (pendidik), manajer (pengelola), administrator (ketatausahaan), supervisor (pengawas), leader (pemimpin-pengayom), inovator (pembaharu), dan motivator (pendorong).
Sebagai manajer, kepala sekolah merencanakan, mengorganisasikan, mengimplementasikan, dan mengendalikan pelaksanaan pelbagai program sekolah, sedangkan komite sekolah atau madrasah berperan sebagai patner dari kepala sekolah atau madrasah sebagai wujud dari kepedulian dan partisipasi masyarakat untuk membantu kepala sekolah/madrasah, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun program-program pendidikan.
2)      Otonomi pada Jenjang Pendidikan Tinggi
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pasal 50 ayat (6) dinyatakan bahwa perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Selanjutnya Pasal 51 ayat (2) menyatakan pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. Penyelenggaraan pendidikan tinggi dilaksanakan dalam program-program studi dan tiap program studi mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebijakan perguruan tinggi masing-masing.
Prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan pendidikan tinggi merupakan faktor yang sangat penting, hal ini sesuai dengan UU No. 9 Tahun 2009, Pasal 47 ayat (2) yang menyatakan bahwa Akuntabilitas publik badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi terdiri atas akuntabilitas akademik dan akuntabilitas non-akademik. Kemudian ayat (3) menyatakan Akuntabilitas publik badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi wajib diwujudkan dengan jumlah maksimum peserta didik dalam setiap badan hukum pendidikan disesuaikan dengan kapasitas sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, pelayanan, serta sumber daya pendidikan lainnya.

d. Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pendidikan Nonformal dan Informal untuk Menggapaikan Layanan Pendidikan Kepada Peserta Didik yang Tak Terjangkau Pendidikan Formal (Reaching The Unreached)
Bagi negara sebesar Indonesia dengan penduduk 230 juta yang tersebar di 18.000 kepulauan dengan distribusi pendapatan yang belum merata dan struktur sosial masyarakat yang masih didominasi kelas bawah yang miskin, tentu tidak mungkin bagi Pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada semua warganegaranya melalui pendidikan formal. Oleh karena itu, pendidikan nonformal bagi Indonesia menjadi sangat penting, terutama bagi mereka yang miskin yang tinggal di daerah perbatasan, pulau terpencil, di daerah pegunungan yang relatif terisolasi, atau daerah lain yang masih terisolasi karena belum terbangunnya infrastruktur perhubungan dan sarana publik secara memadai dan/atau masyarakat yang memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus.
Program pendidikan nonformal dan informal telah berhasil dikembangkan desainnya dengan cukup baik melalui program (a) PAUD nonformal, pendidikan keaksaraan; (b)pendidikan kesetaraan Paket A, Paket B, dan Paket C; (c) pendidikan kecakapan hidup; (d) taman bacaan masyarakat (TBM), dan (e) pengarusutamaan gender.Program PAUD nonformal dan informal diarahkan untuk memberikan layanan pengembangan anak usia 0--6 tahun secara intensif dengan mengoptimalkan peran orang tua dan pemberdayaan peran serta masyarakat melalui program taman penitipan anak, kelompok bermain, dan satuan PAUD sejenis.
Untuk pemberantasan buta aksara, komitmen Dakar tahun 2000 menyatakan bahwa setiap anggota UNESCO berkomitmen menurunkan angka buta aksaranya masingmasing menjadi separuh (50%) pada tahun 2015. Pendidikan kesetaraan dilayani melalui program pembelajaran langsung di pusat-pusat kegiatan belajar masyarakat di setiap kecamatan, sanggar kegiatan belajar di tiap kabupaten dan kota, pondokpondok pesantren, sekolah-sekolah minggu, dan diklat-diklat serta unit pelaksana teknis beberapa departemen, pembelajaran untuk TKI dan keluarganya, program layanan jemput bola, pembentukan lumbung belajar, dan pendidikan kesetaraan online atau sering disebut sekolah maya.
Pendidikan kecakapan hidup didesain untuk warga negara usia sekolah yang putus sekolah atau tidak melanjutkan sekolah dan bagi warga usia dewasa tidak lagi sekolah yang memerlukan pemberdayaan sosial dan ekonomi. Peningkatan budaya baca dilakukan melalui penyediaan bahan bacaan dan sumber informasi lain yang dapat dicapai banyak lapisan masyarakat secara mudah dan murah. Program ini diprioritaskan untuk penduduk miskin, buta aksara, pengangguran, warga tidak terampil, putus sekolah dan tidak melanjutkan sekolah, serta penduduk kurang beruntung lainnya. Langkah terobosan dalam program
peningkatan budaya baca antara lain melalui pengadaan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dan layanan khusus (TBM mobile) serta pengadaan mobil yang disalurkan untuk sanggar kegiatan belajar (SKB) dalam memberikan layanan di daerah perdesaan yang jauh dari TBM dan perpustakaan.
Kebijakan Menteri Pendidikan Nasional untuk melaksanakan Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender adalah dengan menetapkan Permendiknas Nomor 84/2008 tentang Pelaksanaan PUG bidang pendidikan. Program pengarusutamaan gender (PUG) bidang pendidikan telah menghasilkan pencapaian yang signifikan. Pada tingkat pendidikan dasar semua anak laki-laki dan perempuan telah memasuki SD/MI/Paket A dan SMP/MTs/Paket B tanpa ketimpangan gender.
Pada tingkat pendidikan menengah terdapat ketimpangan gender sebesar 5,4%. PUG bidang pendidikan pun telah menunjukkan keberhasilan dalam penurunan disparitas gender penduduk buta aksara. Disparitas gender buta aksara menurun dari 7,32% pada tahun 2004 menjadi 3,24% pada akhir tahun 2008. Pencapaian ini melampaui target tahun 2009 sebesar 3,65% atau mencapai target nasional satu tahun lebih cepat. PUG bidang pendidikan disinergikan dengan pengembangan satuan pendidikan berwawasan gender, pengembangan keluarga berwawasan gender, peningkatan kapasitas pemangku pendidikan untuk merencanakan, mengelola, dan melakukan pengawasan anggaran berwawasan gender serta
pengembangan bahan ajar, data dan sistem informasi, serta pelatihan yang responsif
gender.

e. Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Citra Publik Pendidikan dengan Pendekatan Komprehensif
Penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik dilaksanakan secara komprehensif dan sistematis. Sebagai hasil dari upaya peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan standar mutu pelayanan publik, Depdiknas telah berhasil memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari BPK pada tahun 2008 dan ditargetkan mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian pada tahun 2010. Untuk itu perlu ada penataan kelembagaan sebagai upaya reformasi birokrasi membentuk Departemen Pendidikan Nasional yang ramping dan efektif serta disesuaikan dengan arah visi, misi, tujuan, dan sasaran yang akan dicapai dalam Renstra Depdiknas 2010--2014, melalui langkah-langkah sebagai berikut.
1) Penataan Kelembagaan
1) Penataan struktur organisasi Depdiknas agar bisa menjadi landasan struktural yang kukuh bagi terbangunnya sistem pengendalian intern yang andal. Reformasi birokrasi ini dimaksudkan untuk menjamin agar tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam Renstra Depdiknas 2010--2014 dapat dicapai secara efisien dan efektif. Reformasi birokrasi ini akan diikuti dengan perbaikan remunerasi yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dengan meningkatkan kualitas penggajian pada pegawainya.
2) Revitalisasi Inspektorat Jenderal melalui penerapan SIM pengawasan, optimalisasi peran Inspektorat Investigasi, pendampingan proses pengadaan sesuai dengan Keppres 80/2003, optimalisasi pemeriksaan dini, pemeriksaan investigasi terhadap kasus khusus, pemeriksaan kinerja, peningkatan kapasitas auditor, dan kerja sama dengan BPKP berupa sinkronisasi Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) untuk menghindari tumpang tindih pengawasan;
3) Pembentukan Satuan Pengendalian Intern (SPI) di setiap unit utama, perguruan tinggi, pusat-pusat, UPT, dan kopertis untuk meningkatkan akuntabilitas dan menuju pemerintahan yang baik. Sampai saat sekarang Itjen telah menyusun draf Permendiknas tentang SPI;
2) Penghilangan Konflik Kepentingan
1) Pencabutan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, mengandung potensi konflik kepentingan, tidak efektif, distortif, atau tidak lagi relevan.
2) Pelarangan guru dan sekolah menjual buku di sekolah yang bekerja sama dengan penerbit. Pembelian hak cipta buku teks sekolah dan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) maksimal 1/3 harga pasar.
3) Penerapan e-procurement.
4) Pelaksanaan ujian nasional oleh BSNP.
5) Pengutamaan penyaluran bantuan ke perguruan tinggi dengan sistem hibah kompetisi.
3) Peningkatan Akuntabilitas
1) Pengembangan sistem pengawasan pelaksanaan peraturan perundangun dangan yang telah diterbitkan untuk mendorong penguatan tata kelola dan akuntabilitas.
2) Pengembangan sistem penguatan hasil penataan sistem dan prosedur kerja dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja, menurunkan potensi konflik kepentingan, meningkatkan internal check, dan memperbaiki pelindungan terhadap aset yang dimiliki.
3) Peningkatan efektivitas dan efisiensi sistem dan prosedur kerja denganmengembangkan Sistem Aplikasi Interface (API System) untuk mengintegrasikan aplikasi TIK, SIM Keuangan, SIM pengendalian internal, SIM kepegawaian, SIM barang milik negara, dan SIM rehabilitasi sekolah.
4) Penginventarisasian terhadap barang milik negara sesuai Sistem Akuntansi Instansi (SAI).
5) Peningkatan efektivitas dan efisiensi sistem dan prosedur pembukuan dan pelaporan keuangan sesuai dengan SAI.
6) Peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat dalam menjalankan tugasnya masing-masing dengan kegiatan peningkatan kompetensi SDM Aparatur.
7) Peningkatan ketaatan aparat kepada peraturan perundang-undangan dalam menjalankan tugas masing-masing dengan kegiatan sosialisasi dan penerapan reward and punishment.
8) Perluasan dan pengintensifan pengawasan, termasuk pemeriksaan, melalui penambahan jenis pemeriksaan seperti pemeriksaan dini, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan investigasi, serta penambahan frekuensi pemeriksaan.
9) Penindaklanjutan hasil pemeriksaan, baik pemeriksaan oleh Inspektorat Jenderal, BPKP, maupun BPK.
10) Penyerahan kepada lembaga penegak hukum penanganan kasus pelanggaran yang tidak mungkin lagi diselesaikan oleh Depdiknas.
11) Verifikasi atau investigasi pengaduan-pengaduan yang dilaporkan oleh masyarakat dan kemudian menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
12) Pelaksanaan secara tegas dan konsisten Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan KKN, kegiatan teknis yang bisa dilakukan adalah menyelenggarakan sosialisasi dan seminar bagi para pengelola pendidikan.
13) Penerapan manajemen berbasis sekolah yang didampingi komite sekolah.
14) Sosialisasi penerapan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang dimaksudkan untuk memberikan pemahaman tentang keterbukaan informasi publik.
15) Sosialisasi berbagai kebijakan, program, kegiatan dan capaian kinerjanya kepada masyarakat luas melalui seminar dan workshop, baik di pusat maupun di daerah.
16) Pelibatan unsur masyarakat dalam proses pengambilan keputusan pembinaan dan pengembangan sekolah melalui wadah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah pada tingkat kabupaten dan sekolah.
4) Peningkatan Standar Mutu Pelayanan Publik
1) Peningkatan mutu manajemen unit kerja melalui program sertifikasi ISO 9001:2008, baik di tingkat Pusat, provinsi, kabupaten kota, dan institusi pendidikan.
2) Rekrutmen tenaga akuntan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan.
3) Outsourcing tenaga akuntan dari BPKP, kantor akuntan publik, dan PT.
4) Pemberian honor tambahan kepada tenaga pembukuan dan pelaporan.
5) Pengukuran mutu pelayanan unit kerja secara internal.
6) Pemantapan sistem kearsipan secara konsisten dan masif.

0 komentar: