Pages

Senin, Mei 9

GURU: Antara Profesi dan Kualitas

Pada puncak acara peringatan Hari Guru Nasional XII, tanggal 2 Desember 2004, Presiden Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudoyono, telah mencanangkan guru sebagai profesi.
Acara pencanangan guru sebagai profesi ini telah disaksikan oleh ribuan mata guru yang telah hadir dalam puncak acara di Istana Olah Raga Bung Karno, Senayan, Jakarta. Hadir dalam acara tersebut adalah jajaran Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Rakyat dan bangsa Indonesia di seluruh pelosok tanah air pun menyaksikan acara yang belum pernah diadakan ini melalui layar kaca. Diantara mereka mungkin timbul sederet pertanyaan yang ada di benaknya masing-masing. Apakah guru sebagai profesi memang demikian perlu dicanangkan? Kalau perlu mengapa? Mengapa profesi lain seperti dokter, akuntan, pengacara dan lain-lain tidak dicanangkan? Ada apa dengan guru sebagai profesi dan apa hubungannya dengan kualitas out put lulusan yang “dihasilkan” oleh guru? Mari kita jawab bersama-sama.
Berbicara tentang guru, tentu berbicara mengenai martabat seorang guru itu. Dan menurut bapak Wardjiman Djojonegoro, berbicara tentang martabat guru tentu bersinggungan dengan kesejahteraannya.
Guru ialah Pegawai negeri sipil (PNS) yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pendidikan di sekolah, termasuk hak yang melekat dalam jabatan (surat Edaran (SE) Mendikbud dan Kepala BAKN Nomor 57686/MPK/1989).
Menurut Dr. Sayyed Hossein Nasr yang dikutip oleh Azyumardi Azra, Guru sebagai figur sentral dalam pendidikan, haruslah dapat diteladani akhlaknya disamping kemampuan keilmuan dan akademisnya. Selain itu, guru haruslah mempunyai tanggung jawab dan keagamaan untuk mendidik anak didiknya menjadi orang yang berilmu dan berakhlak.
Dari sini dapat diketahui beberapa peran dan fungsi seorang guru, yaitu antara mempunyai tanggungjawab terhadap diri sendiri (self), professional (professional status) dan status social (social status). Disamping itu, guru juga mempunyai tanggung jawab sebagai orang yang menjadi tauladan, idola dan panutan bagi anak didik serta mencetak menjadi manusia yang berilmu dan berakhlak mulia.

Guru antara profesi dan kualitas lulusan
Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada pasar 39 (1) dan (2) dinyatakan bahwa: “Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelola, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan tehnis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. Pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”.
Profesionalisme seorang guru adalah tanggung jawab dirinya sendiri, pemerintah dan masyarakat. Demikian juga, ketika seorang guru berkeinginan untuk meningkatkan kemampuan paedagogik dan akademisnya, sesungguhnya tak seorangpun yang berhak untuk melarangnya. Peningkatan kualitas dirinya sebagai seorang pendidik tentunya akan memberikan dampak yang signifikan kepada peserta didiknya.
Alangkah ironisnya jika pemerintah berupaya untuk meningkatkan kualitas guru dan guru sendiri tidak mau untuk ditingkatkan. Dan tentu hal ini ditunjang dengan berbagai pasilitas seperti pemberian beasiswa kepada guru yang melanjutkan ke program kualifikasi dari D2 ke S1, bahkan untuk melanjutkan ke jenjang S2.
Berbicara tentang profesi guru, tentunya tidak terpisahkan dengan fungsi dan peran guru itu sendiri. Guru memiliki satu kesatuan perang dan fungsi yang tidak terpisahkan juga, antara kemampuan mendidik, membimbing, mengajar, dan melatih. Guru harus memiliki kemampuan tersebut secara paripurna. Meskipun demikian, guru sebagai manusia biasa ia sama sekali bukan manusia super tanpa cacat. Guru memiliki kelebihan dan juga kekurangan.
Dari sana jelas sekali peran dan fungsi guru tidaklah sampai disitu saja, akan tetapi nantinya menjadikan anak didik sebagai “orang yang berkualitas”. Selama enam tahun misalnya guru tingkat Sekolah dasar/sederajat akan memberikan warna bagi anak tersebut, apakah menjadi anak yang berkualitas atau tidak, atau selama tiga tahun bagi guru tingkat SMP/sederajat, atau tiga tahun kemudian bagi guru yang mendampingi anaknya di bangku SMA/sederajat. Tentu ini akan terlihat ketika out put tersebut memasuki dan menjadi “orang” di masa mendatang.
Problematika sekarang adalah apakah seorang guru mampu menjadi orang yang ideal bagi anak didiknya, masyarakat? Atau sebaliknya. Dengan adanya pelaksanaan UN yang sebentar lagi digelar, disini dedikasi seorang guru yang benar-benar professional dipertaruhkan. Harapan memang adalah yang terbaik, lulus 100% disekolah tertentu atau bahkan suatu daerah tertentu. Tapi, janganlah masa depan anak didik kita digadaikan oleh sesuatu yang hanya keuntungan sementara waktu saja dan kualitas anak didik kita menjadi bahan “tertawaan” dimata dunia. Nauzubillah.
Mari kita bertekad untuk senantiasa menjadi jati diri sebagai seorang guru yang professional dan benar-benar “oemar bakri” seperti dalam ‘Laskar pelangi’. Mendidik laskar-laskar yang tanpa pamrih dan ikhlas karena Allah SWT. Amin.

Banjarmasin, 29 Maret 2011

0 komentar: