Pages

Sabtu, Oktober 15

TASAWUF DAN KEBUDAYAAN oleh Yogi lukmana wardani

free counters

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Di dunia Islam perkembangan Tasawuf tampaknya bermula pada aktivitas Individual dari para ahli sufi. Mereka hampir tidak mempunyai kemampuan untuk mentransmisikan ilmunya kepada orang lain. Hal ini disebabkan karena tasawuf sebenarnya kurang tepat disebut sebagai ilmu dalam arti terdiri dari fakta- fakta empiris, logis, rasional, dan sistematis. Tasawuf lebih tepat disebut sebagai kumpulan pengalaman mengadakan komunikasi dengan Nur Ilahi yang penuh dengan rasa dan terwujud dalam berbagai bentuk kehidupan yang menjauhi kemewahan, menghabiskan waktu untuk beribadah, rindu untuk berjumpa dengan Tuhan, dan siap setiap saat untuk dipanggil mengahdap Allah
Sejak awal sejarahnya tasawuf merupakan fenomena kota. Sufi-sufi awal hingga yang mutakhir menyampaikan ajarannya mula-mula kepada penduduk kota. Begitu pula di Indonesia. Sejak awal kedatangan dan pesatnya perkembangan Islam di Indonesia, ahli-ahli tasawuf memulai aktivitasnya di kota-kota pelabuhan, tempat munculnya komunitas-komunitas Islam yang awal di kepulauan Melayu Nusantara. Baru kemudian merembes ke pinggiran kota sampai wilayah pedesaan dan kawasan pedalaman.
Organisasi tariqat dan lembaga-lembaga pendidikan yang mereka bangun menjamin kelangsungan dakwah mereka berjalan dengan baik. Tidak jarang dalam berdakwah mereka menggunakan media kesenian dan sastra, termasuk yang berasal dari budaya lokal. Mereka juga sering dikenal sebagai darwish atau faqir yang suka mengembara sambil menjalankan kegiatan perniagaan. Dengan itu mereka mandiri. Tidak sedikit pula dari mereka dikenal sebagai tabib, ilmuwan, guru spiritual, wali, sastrawan, dan guru agama yang menguasai berbagai cabang ilmu Islam.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Tasawuf ?
2. Apakah yang dimaksud dengan Kebudayaan ?
3. Apakah hubungan antara tasawuf dan kebudayaan ?


1.3 Tujuan
1. Menjelaskan pengertian tasawuf
2. Menjelaskan pengertian kebudayaan
3. Menjelaskan hubungan tasawuf dan kebudayaan




























BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Tasawuf
Usaha mendapatkan definisi yang tepat mengenai tasawuf bukanlah persoalan yang mudah. Tasawuf yang keberadaannya menjadi persoalan kontroversial, pendefisiannya pun menjadi persoalan yang kontroversi pula di kalangan ulama. Abu al-Abbas Ahmad Muhammad, dalam Qawa’id al-Tasawwuf menyebut ada sekitar dua ribu definisi.1 Al-Suhrawardi mengatakan ada sekitar seribu macam pendapat ulama.2 Sementara al-Thusi mengajukan sekitar seratus jawaban yang menjelaskan hakikat tasawuf.3 Al-Qusyairi adalah ulama yang mengambil jalan tengah dengan menyaringnya menjadi lima puluh definisi dari para ulama salaf.
Di antara definisi-definisi tersebut adalah sebagai berikut: “Berpegang teguh pada hakikat Tuhan dan berpaling dari realitas yang dimiliki mahluk”.4 “Komunitas manusia yang mendahulukan Allah di atas semua yang ada, sehingga Allah pun mendahulukan mereka atas yang lainnya”.5 “Sifat tuhan yang dipakai (dikenakan) oleh manusia”.6 “hendaklah senantiasa bersama Allah tanpa ada keterkaitan (perantara) apapun.”71
Pada dasarnya tasawuf menyangkut masalah ruhani atau batin manusia yang tidak dapat dilihat. Karena itu, amat sulit menetapkan definisi yang tepat tentang tasawuf. Ia termasuk masalah kejiwaan yang mengandung banyak rahasia. Pemahaman terhadap istilah ini bukan terletak pada hakikat-nya, melainkan gejala-gejala yang tampak dalam ucapan, cara, dan sikap hidup para pelakunya. Sekalipun demikian, para ahli tasawuf tetap ada yang membuat definisi meski saling berbeda sesuai dengan pengalaman empirik masing-masing dalam mengamalkan tasawuf. Dalam khazanah keilmuan sosial, tasawuf sering disamakan dengan mysticims. Namun para pakar sepakat bahwa tasawuf/sufisme adalah khusus bagi islam. Lmu tasawuf membahas tingkah laku manusia yang bersifat amalan terpuji mapun tercela, agar hatinya menjadi benar dan lurus dalam menuju Allah. Dengan demikian, bila hati seseorang telah lurus kepada Allah, maka ia akan berada pada posisi yang amat dekat di hadirat-Nya, atau bahkan dikatakan bersama-Nya.8
Dari beberapa definisi diatas dapat di tarik kedalam suatu pengertian yang lebih gampang dan mudah di mengerti, bahwa tasawuf ialah keluar dari sifat atau sikap yang tercela dan berpegang kepada budi pekerti yang luhur serta bersikap atau berprilaku terpuji dengan berlandaskan pada ajaran-ajaran islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Nabi.9


2.2 pengertian kebudayaan
Kata “kebudayaan” tersusun dari dua kata yang tadinya terpisah yaitu “budi” dan “daya”. Kata “budi” berarti cahaya atau sinar yang terletak di dalam batin manusia. “daya” bertalian dengan “upaya”, yaitu usaha, keaktifan manusia melaksanakan dengan anggotanya apa yang digerakkan oleh budinya.10
Dalam bahasa inggris kebudayaan itu disebut “culture”. Etimologi kata ini menurut Syaikh Abdul Latif berarti menumbuhkan akal manusia atau perkembangannya dengan latihan. Dalam makna ini kultur itu adalah nama aktifitas akal, pernyataannya (manifestasi) dalam segala perkara kehidupan. Soal kebudayaan adalah soal manusia. Hanya manusialah yang berkebudayaan, hewan tidak berkebudayaan. Perbedaan hakiki antara manusia dan hewan bukan terlatak pada jasadnya, akan tetapi pada ruhaninya. Manusia yang mempunyai ruh mempunyai kebudayaan, dan hewan yang tidak mempunyai ruh tidak mempunyai kebudayaan. Ruh itu menyatakan diri pada akal, yang merupakan perkaitan antara fikiran dan perasaan ruhaniah. Bertolak dari pada ruh ini dapat dirumuskan suatu definisi kebudayaan yaitu: “cara berfikir dan cara merasa yang menyatakann diri dalam seluruh segi kehidupan sekumpulan manusia yang membentuk masyarakat”. Istilah lain mendefinisikan kebudayaan adalah “usaha dan hasil-usaha manusia yang ada di sekelilingnya”.11
Kebudayaan menunjukan suatu pengertian yang luas dan kompleks di dalamnya tercakup baik segala sesuatu yang terjadi dan dialami manusia secara personal dan secara kolektif, maupun bentuk-bentuk yang dimanifestasikan sebagai ungkapan pribadi, seperti yang dapat disaksikan dalam sejarah, kehidupannya, baik dari hasil-hasil pencapaian yang pernah ditemukan oleh umat manusia dan diwariskan secara turun menurun maupun proses perubahan serta perkembangan yang sedang dilalui dari masa ke masa. Menurut Emmanuel Kant filsuf Jerman menulis bahwa ciri kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia untuk mengajar dirinya sendiri.12
Menurut Koentjoroningrat; bahwa kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.2 Di samping itu Koentjoroningrat juga mengemukakan adanya tiga wujud dari kebudayaan, yaitu:
  1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dan sebagainya;13
  2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat;
  3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Kebudayaan membentuk konsepsi cultural universal (sosial, ekonomi, politik, ilmu, tehnik, kesenian, dll), dan masyarakat melalui lembaga-lembaga (institusi-institusi), sosialnya mengamalkan gagasan-gagasan itu. Kalau di umpamakan kebudayaan itu “otak” adalah masyarakat merupakan “tangan”. Otak berfikir, tangan melaksanakan apa yang difikirkan. Kebudayaan sebagai “ilmu” yang melahirkan teori-teori, diwujudkan oleh sosial sebagai “teknik”. Demikianlah kebudayaan dan masyarakat tak mungkin dipisahkan.14

2.3 Hubungan Antara Tasawuf dan Kebudayaan
Tasawuf merupakan bagian dari agama Islam yang mana merupakan jalan menuju pendekatan kapada Allah.swt. Sedangkan kebudayaan adalah sarana untuk berinteraksi dengan sesama manusia. Muslim mendekatkan diri dan berhubungan dengan Khalik-nya. Dengan pengalaman kebudayaan, muslim mendekatkan diri dengan sesama muslim dan mahluk lainnya, hidup bersama dan bekerja sama berdasarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang digariskan oleh agama, membentuk masyarakat Islam.15
Tanpa kebudayaan masyarakat tidak mungkin terbentuk. Tanpa kebudayaan Islam, masyarakat Islam tidak mungkin terbentuk. Dalam pola kehidupan Muslim dalam tiap perkara, dalam tiap suasana dan keadaan, ia melakukan hubungan dengan Allah, apakah dalam bentuk sholat, puasa, zakat, haji, dzikir, do’a dan lain-lain. Setelah melakukan hubungan dengan Khalik-nya, Muslim melaksanakan hubungan dengan mahluk-Nya (sesama Muslim, manusia dan alam).316
Agama dan kebudayaan bukan perkara yang berdiri sendiri-sendiri, bukan pula dua yang dipersatukan, tapi dua yang satu, dwi tunggal, keduanya adalah aspek-aspek dari pada din Islam. Yang satu memang dapat dibedakan dari yang lain, tapi tidak dapat dipisahkan. Dalam kehidupan Islam tiap orang dimulai dengan hubungan dengan Allah (agama), berujung dengan hubungan dengan manusia(kebudayaan). Kita sholat karena Allah, bertujuan supaya manusia tercegah dari fahsya dan munkar(Q.s.29:45). Zakat dibayar karena Allah, tapi untuk manusia yang kekurangan. Korban disembelih karena Allah, tapi untuk dimakan orang-orang yang memerlukannya.17
Mula-mula manusia berhubungan dengan Khaliknya(agama), sesudah itu Khalik menyuruh manusia untuk berhubungan dengan hamba-hamba-Nya yang lain (sosio budaya). Dengan menghambakan diri (ibadat) kepada Allah, menjalankan perintah-Nya, menghentikan larangan-Nya, tumbuhlah akhlak yang mulia. Efek daripada akhlak ini ialah kehidupan masyarakat. Alquran dan hadits sebagai doktrin agama , menentukan dasar, prinsip-prinsip, nilai azas dan kearahan kebudayaan(sosial, politik, ekonomi, tekhnik, seni, dan alam pemikiran).18
Demikian padunya agama dengan kebudayaan sehingga semakin sukar menggariskan batas antara agama dan kebudayaan pada sesuatu perkara. Dapat diumpamakan antara agama dan kebudayaan seperti sebuah bangunan. Akhidah itu fundamennya; tiang-tiang dan dinding merupakan agama;pintu dan jendela adalah kebudayaan dan atap adalah masyarakat. Seluruh bangunan didukung oleh fundamen. Adapun tiang dan dinding memberi ujung kepada bangunan. Tanpa kedua unsur itu bangunan tidak tegak dan tentu tidak mungkin di diami. Pintu dan jendela memelihara hubungan dengan dunia luar, sedangkan atap memberi perlindungan terhadap panas, hujan dan udara yang tidak menyenangkan.194

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tasawuf ialah keluar dari sifat atau sikap yang tercela dan berpegang kepada budi pekerti yang luhur serta bersikap atau berprilaku terpuji dengan berlandaskan pada ajaran-ajaran islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Agama dan kebudayaan bukan perkara yang berdiri sendiri-sendiri, bukan pula dua yang dipersatukan, tapi dua yang satu, dwi tunggal, keduanya adalah aspek-aspek dari pada din Islam. Yang satu memang dapat dibedakan dari yang lain, tapi tidak dapat dipisahkan

3.2 Analisis
Menurut kami tasawuf dan kebudayaan bukanlah perkara yang berdiri sendiri. Keduannya saling berhubungan satu sama lain. Tanpa kebudayaan peribadatan tidak akan dapat terlaksana, begitu pula sebaliknya tanpa tasawuf tidak akan tercipta suatu kebudayaan yang bernafaskan agama Islam.





DAFTAR PUSTAKA

  • Tariquddin, Muhammad.2008.Sekularitas Tasawuf. Malang :UIN Malang press
  • Koentjoroningrat.2001.Antropologi Budaya. Jakarta : Media Pustaka

  • Ahmad Khalil.2008. Islam Jawa. Malang :UIN malang Press. Hal :88


1

Abu al-Abbas Ahmad Muhammad, Qowa’id al-Taswwuf, tahqiq Muhammad Zuhri al-Najjar (Kairo:
Maktabah al-Kulliyat al-Dhahiriyah, 1976) hal: 3.
2Al-Suhrawardi, awarif al-Ma’arif Hal: 57.
3Liht Abu Nasr al-Sarraj al-Thusi, al-Luma, tahqiq oleh Abdul Halim Mahmud dan Thaha Abdul Baqi
surur (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, tt) Hal: 7.
4Al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah. Jilid II, 551-557. Dikutip juga dalam Iqadh al-Himam, Hal: 4.
5Definisi dari Dzun Nun ibn Ibrahim al-Mishri (w. 245 H.)
6Menurut Abu Yazid al-Busthami dari Thaifur ibn Isa ibn Adam ibn Syarusan (w. 261). Definisi ini hampir
sama dengan definisi yang disampakan ibn Arabi marolitas ketuhanan. Lihat al-Qusyairiyyah, Hal: 552.
7Al-Sahlaji,” al-Nur min Kalimah Abi Thaifur” dalam Syathahat al-Shufiyyah. Oleh Abdurrahman al-
Badawi (Beirut: Dar al-Qalam, 1978), Hal: 110.


8Ahmad Khalil.2008. Islam Jawa. Malang :UIN malang Press. Hal :88
9Ibid :89
10Muhammad Tariquddin.2008.Sekularitas Tasawuf. Malang :UIN Malang press. Hal 95

2 11.Ibid:951
12 Ibid:9611
13 Koentjoroningrat.2001.Antropologi Budaya. Jakarta : Media Pustaka Hal 124
3 14Ibid:125
15 Muhammad Tariquddin.2008.Sekularitas Tasawuf. Malang :UIN Malang press hal:96
16 Ibid:97


4 16 Muhammad Tariquddin.2008.Sekularitas Tasawuf. Malang :UIN Malang press hal: 97
17 Ibid: 98
18 Ibid: 98


0 komentar: