A. Multikulturalisme
1. Pengertian Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara.
Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain.
Kosep tentang mutikulturalisme, sebagaimana konsep ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan yang tidak bebas nilai (value free), tidak luput dari pengayaan maupun penyesuaian ketika dikaji untuk diterapkan. Demikian pula ketika konsep ini masuk ke Indonesia, yang dikenal dengan sosok keberagamannya. Muncul konsep multikulturalisme yang dikaitkan dengan agama, yakni ”multikulturalisme religius” yang menekankan tidak terpisahnya agama dari negara, tidak mentolerir adanya paham, budaya, dan orang-orang yang atheis (Harahap, 2008). Dalam konteks ini, multukulturalisme dipandangnya sebagai pengayaan terhadap konsep kerukunan umat beragama yang dikembangkan secara nasional.
Istilah multikulturalisme sebenarnya belum lama menjadi objek pembicaraan dalam berbagai kalangan, namun dengan cepat berkembang sebagai objek perdebatan yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan. Dikatakan menarik karena memperdebatkan keragaman etnis dan budaya, serta penerimaan kaum imigran di suatu negara, pada awalnya hanya dikenal dengan istilah puralisme yang mengacu pada keragaman etnis dan budaya dalam suatu daerah atau negara. Baru pada sekitar pertengahan abad ke-20, mulai berkembang istilah multikulturalisme. Istilah ini, setidaknya memiliki tiga unsur, yaitu: budaya, keragaman budaya dan cara khusus untuk mengantisipasi keanekaragaman budaya tersebut. Secara umum, masyarakat modern terdiri dari berbagai kelompok manusia yang memiliki status budaya dan politik yang sama. Selanjutnya, demi kesetaraan masa kini, pengakuan adanya pluralisme kultural menjadi suatu tuntutan dari konsep keadilan sosial (Okke KS Zaimar, 2007: 6).
Kesadaran akan adanya keberagaman budaya disebut sebagai kehidupan multikultural. Akan tetapi tentu, tidak cukup hanya sampai disitu. Bahwa suatu kemestian agar setiap kesadaran akan adanya keberagaman, mesti ditingkatkan lagi menjadi apresiasi dan dielaborasi secara positif. pemahaman ini yang disebut sebagai multikulturalisme.
Mengutip S. Saptaatmaja dari buku Multiculturalisme Educations: A Teacher Guide To Linking Context, Process And Content karya Hilda Hernandes, bahwa multikulturalisme adalah bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi.
Lebih jauh, Pasurdi Suparlan memberikan penekanan, bahwa multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individu maupun kebudayaan. Yang menarik disini adalah penggunaan kata ideologi sebagai penggambaran bahwa betapa mendesaknya kehidupan yang menghormati perbedaan, dan memandang setiap keberagaman sebagai suatu kewajaran serta sederajat.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.
Selanjutnya Suparlan mengutip Fay (1996), Jary dan Jary (1991), Watson (2000) dan Reed (ed. 1997) menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayan.
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai peran yang besar dalam pembangunan bangsa. Indonesia sebagai suatu negara yang berdiri di atas keanekaragaman kebudayaan meniscayakan pentingnya multikulturalisme dalam pembangunan bangsa. Dengan multikulturalisme ini maka prinsip “bhineka tunggal ika” seperti yang tercantum dalam dasar negara akan menjadi terwujud. Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan menjadi inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dapat tercapai.
Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme. Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara lainnya.
Adalah Samuel P. Huntuington (1993) yang “meramalkan” bahwa sebenarnya konflik antar peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi dunia kedalam komunisme dan kapitalisme. Bersamaan dengan runtuhnya struktur politik negara-negara Eropa Timur. Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi pada era 1980-an yaitu terjadinya perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia., pasca pemerintahan Josep Broz Tito: Keragaman, yang disatu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadership yang mengikatnya lengser.
Ramalan Huntuington tersebut diperkuat dengan alasannya mengapa di masa depan mendatang akan terjadi benturan antarperadaban. Antara lain adalah:
Pertama, perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tetapi juga mendasar. Kedua, Dunia sekarang semakin menyempiti interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang ataumasyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar dalam, diasmping memperlemah negara-negara sebagi sumber identitas mereka. Keempat, timbulnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Disatu sisi barat berada di punjak kekuatan. Di sisi lain mungkin ini akibat dari posisi Barat tersebut, kembalinya fenomena asal , sedang berlangsung diantara peradaban-peradaban Non-Barat. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. Dan, keenam regionalisme ekonomi semakin meningkat.
Akan tetapi asumsi tersebut tidak mutlak menjadi sebab utama terjadinya sebuah perpecahan. Misalnya, setelah berakhirnya Perang Dingin, kecenderungan yang terjadi bukanlah pengelompokan masyarakat ke dalam entitas tertinggi, yaitu pengelompokan peradaban, tetapi perpecahan menuju entitas yang lebih kecil lagi, yaitu berdasarkan suku dan etnisitas. Hal ini jelas sekali terlihat pada disintegrasi Uni Soviet yang secara ironis justru disatukan oleh dasar budaya dan peradaban yang sama. Dan lain lagi, persoalan perpecahan antara Jerman Barat dan Jerman Timur yang kembali bersatu karena persamaan suku dan kebudayaan. Dan “multikulturalisme justru menjadi sebuah pemersatu yang kokoh.
2.Multikulturalisme Menurut Al Qur’an
Kita perlu kembali merenungkan berbagai ajaran yang telah disampaikan Allah melalui para Rasul-Nya, yang terdapat dalam kitab Suci Al Qur’an. Kita hendaknya mampu mengoptimalkan peran agama sebagai faktor integrasi dan pemersatu. Al qur’an, misalnya, memuat banyak sekali ayat yang bisa dijadikan asas untuk menghormati dan melakukan rekonsiliasi di antara sesama manusia. Dalam tulisan ini dapat dikemukkan contoh sebagai berikut;.
Pertama, Al Qur’an menyatakan bahwa; dulu manusia adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan ) maka Allah mengutus para Nabi, sebagi pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberikan keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
“Tidak berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus,” (QS Al Baqarah: 213)
Dengan ayat ini, AlQur’an menegaskan konsep kemanusiaaan universal Islam yang mengajarkan bahwa umat manusia pada mulamya adalah satu. Perselisihan terjadi disebabkan oleh timbulnya berbagai vested interest masing-masing kelompok manusia. Yang masing-masing mereka mengadakan penafsiran yang berbeda tentang suatu hakekat kebenaran menurut vested interest nya.
Kedua, meskipun asal mereka adalah satu, pola hidupnya menganut hukum tentang kemajemukan, antara lain karena Allah menetapkan jalan dan pedoman hidup yang berbeda-beda untuk berbagai golongan manusia. Perbedaan itu seharusnya tidak menjadi sebab perselisiahan dan permusuhan, melainkan pangkal tolak bagi perlombaan untuk melakukan berbagai kebaikan. Al Qur’an menyebutkan :
“….. Untuk tiap-tiap manusia diantara kamu, Kami berikan jalan dan pedoman hidup. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat saja. Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Sehingga dari kedua ayat diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwa; betapapun perbuatan yang terjadi pada manusia di bumi ini, namun hakekat kemanusiaan akan tetap dan tidak akan berubah. Yaitu fitrahnya yang hanif, sebagai wujud perjanjian primordial (azali) antara Tuhan dan Manusia sendiri. Responsi atau timbal balik manusia kepada ajaran tentang kemanusiaan universal adalah kelanjutan dan eksisitensialisme dari perjanjian primordial itu dalam hidup di dunia ini.
Selain itu, kita juga harus membutuhkan sebuah artikulasi atau penjabaran suatu visi dari dalam yang baru tentang manusia. Sekarang menjadi suatu keharusan bahwa semua agama harus mengambil bagian. Sekurang-kurangnya untuk sebagian dari sebuah visi dari dalam, sebuah konsep manusia mengenai dirinya sendiri, sesama, bahkan dengan orang yang menyatakan dirinya tidak beragama. Dalam pencarian itu mungkin sangat penting bagi umat beragama untuk melihat kepada pribadi-pribadi terkemuka yang dimilikinya dan peninggalan kolektifnya di massa lampau.
3. Multikulturalisme menurut Para Tokoh
1.) Menurut Petter Wilson, Dia mengartikan multikulturalisme setelah melihat peristiwa di Amerika, “ Di Amerika, multikultural muncul karena kegagalan pemeimpin di dalam mempersatukan orang Negro dengan orang Kulit Putih”. Dari sini dapat diambil sebuah sintesa bahwa konsep multikultural PetterWilson semata-mata merupakan kegagalan dalam mempersatukan kelompok etnis tertentu. Kemudian problem penghambatan proses integrasi budaya ini berujung kepada gagalnya atau salahnya perspektif tentang sebuah kesatuan budaya (Unikultural). Yang seharusnya tidak berarti kemajemukan harus dipaksakan unutk menjadi satu, akan tetapi perbedaan itu haruslah menjadi kekuatan yang kompleks untuk bersatu dan berjalan bersama, tanpa adanya konflik.
Adanya sebuah konsesus Neo Liberal yaitu datang berdasarkan pada kepentingan ekonomi liberalisme. Juga menjadi faktor penghambat sebuah integrasi bangsa.
2.) Menurut Kenan Malik (1998), multikulturalisme merupakan produk dari kegagalan politik di negara Barat pada tahun 1960-an. Kemudian gagalnya perang Dingin tahun 1989, gagalnya dunia Marxisme kemudian gagalnya gerakan LSM di asia tenggara yang menemukan konsep multikultural yang sebenarnnya.
Jalan keluar dari semua itu menurutnya adalah sebuah keadilan yang masih berpegang pada keanekaragaman budaya yang sejati.
4. Perjalanan Menyambut Multikulturalisme di Indonesia
Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak Negara Republik Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan dan persatuan. Paham monokulturalisme kemudian ditekankan. Akibatnya sampai saat ini, wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Ada juga pemahaman yang memandang multikultur sebagai eksklusivitas. Multikultur justru disalahartikan yang mempertegas batas identitas antar individu. Bahkan ada yang juga mempersoalkan masalah asli atau tidak asli
.
Multikultur baru muncul pada tahun 1980-an yang awalnya mengkritik penerapan demokrasi. Pada penerapannya, demokrasi ternyata hanya berlaku pada kelompok tertentu. Wacana demokrasi itu ternyata bertentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru.
Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat” (plural society) sehingga corak masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik. Di dalam mozaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mozaik tersebut. Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.
Hal yang harus kita waspadai adalah munculnya perpecahan etnis, budaya dan suku di dalam tubuh bangsa kita sendiri. Bangsa Indonesia yang kita ketahui bersama memiliki bermacam-macam kebudayaan yang dibawa oleh banyak suku, adat-istiadat yang tersebar di seluruh Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke kita telah banyak mengenal suku-suku yang majemuk, seperti; Suku Jawa, Suku Madura, Suku Batak, Suku Dayak, Suku Asmat dan lainnya. Yang kesemuanya itu mempunyai keunggulan dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Begitu kayanya bangsa kita dengan suku, adat-istiadat, budaya, bahasa, dan khasanah yang lain ini, apakah benar-benar menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukah justru berbalik menjadi faktor pemicu timbulnya disintegrasi bangsa. Seperti apa yang telah diramalkan Huntington, keanekaragaman di Indonesia ini harus kita waspadai. Karena telah banyak kejadian-kejadian yang menyulut kepada perpecahan, yang disebabkan adanya paham sempit tentang keunggulan sebuah suku tertentu.
Paham Sukuisme sempit inilah yang akan membawa kepada perpecahan. Seperti konflik di Timur-Timur, di Aceh, di Ambon, dan yang lainya. Entah konflik itu muncul semata-mata karena perselisihan diantara masyarakat sendiri atau ada “sang dalang” dan provokator yang sengaja menjadi penyulut konflik. Mereka yang tidak menginginkan sebuah Indonesia yang utuh dan kokoh dengan keanekaragamannya. Untuk itu kita harus berusaha keras agar kebhinekaan yang kita banggakan ini tak sampai meretas simpul-simpul persatuan yang telah diikat dengan paham kebangsaan oleh Bung Karno dan para pejuang kita.
Hal ini disadari betul oleh para founding father kita, sehingga mereka merumuskan konsep multikulturalisme ini dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yang mengandung makna yang luar biasa. Baik makna secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, semboyan ini mampu mengangkat dan menunjukkan akan keanekaragaman bangsa kita. Bangsa yang multikultural dan beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang kokoh. Selain itu, secara implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan semacam dorongan moral dan spiritual kepada bangsa indonesia, khusunya pada masa-masa pasca kemerdekaan untuk senantiasa bersatu melawan ketidakadilan para penjajah. Walaupun berasal dari suku, agama dan bahasa yang berbeda.
Kemudian munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan suatu kesadaran akan perlunya mewujudkan perbedaan ini yang sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dan kesatuan dalam menghadapi penjajah Belanda. Yang kemudian dikenal sebagi cikal bakal munculnya wawasan kebangsaan Indonesia. Multikulturalisme ini juga tetap dijunjung tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat, antara lain dalam sidang-sidang BPUPKI. Betapa para pendiri republik ini sangat menghargai pluralisme, perbedaan (multikulturalisme). Baik dalam konteks sosial maupun politik. Bahkan pencoretan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, pun dapat dipahami dalam konteks menghargai sebuah multikulturalisme dalam arti luas.
Kemudian sebuah ideologi yang diharapkan mampu menjadi jalan tengah sekaligus jembatan yang menjembatani terjadinya perbedaan dalam negara Indonesia. Yaitu Pancasila, yang seharusnya mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang multikultural, multietnis, dan agama ini. Termasuk dalam hal ini Pancasila haruslah terbuka. Harus memberikan ruang terhadap berkembangannya ideologi sosial politik yang pluralistik.
Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.
5.Konsep Multikulturalisme di Indonesia
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Dalam upaya membangun masa depan bangsa, paham multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana, melainkan sebagai sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri yang terpisah dari ideologi-ideologi lainnya. Multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembangkannya dalam kehidupan bermasya-rakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia.
Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.
Salah satu isu yang cukup penting untuk diperhatikan di dalam kajian-kajian mengenai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak dari kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada corak kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah korporasi. Perhatian pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan seperti apa corak nilai-nilai budaya dan operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaaan manajemen yang dikaji.
Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang ada dalam struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (in-put) menjadi keluaran (out-put). Apakah memang ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman etikanya, ataukah pedoman etika itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya disembunyikan dari pengamatan umum)?
Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam masyarakat. Bangsa Indonesia kaya raya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berkualitas. Akan tetapi pada masa sekarang ini, bangsa Indonesia, tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang tingkat korupsinya paling tinggi. Salah satu sebab utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai. Pedoman etika yang menjamin proses-proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang dihasilkannya.
Cita-cita reformasi yang sekarang ini tampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya, ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki masyarakat multikultural Indonesia. Sebagai model, maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau Bhinneka Tunggal Ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat lokal dan nasional.
Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil, maka tahap selanjutnya adalah mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam masyarakat Indonesia. Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan dalam hukum dan penegakan hukum bagi keadilan.
Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan berbagai corak dinamikanya. Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen pemerintahan. Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.
Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut di atas, sebaiknya sistem pendidikan nasional juga mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah menumbuhkan integrasi nasional melalui revitalisasi gagasan (mutualisme, musyawarah dan mufakat, kesetaraan) dan nilai-nilai agama (kasih sayang, damai, keadilan dan persatuan) dalam ruang lingkup pergaulan sesama anak bangsa. Memang tidak mudah bagi bangsa yang pluralistik dan multikultural untuk menjaga integrasi nasional, namun hal tersebut tetap dapat dilakukan.
Hal-hal yang harus kita lakukan adalah: pertama, meningkatkan pemahaman tentang multikulturalisme Indonesia. Perlu dilakukan penumbuhan rasa saling memiliki aset-aset nasional yang berasal dari nilai-nilai adiluhung bangsa Indonesia, khususnya dari suku-suku bangsa, sehingga mendorong terbentuknya shared property dan shared entitlement. Artinya upaya membuat seseorang dari kawasan Barat Indonesia dapat menghargai, menikmati dan merasakan sebagai milik sendiri berbagai unsur kebudayaan yang terdapat di kawasan Timur Indonesia, dan demikian pula sebaliknya.
Kedua, setiap program pembangunan hendaknya mengemban misi menciptakan dan menyeimbangkan mutualisme sebagai wujud doktrin kebersamaan dalam asas kekeluargaan (mutualism and brotherhood) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian strategi dan kebijakan pembangunan, khususnya strategi dan kebijakan budaya, harus bertolak dan berorientasi pada upaya memperkokoh persatuan Indonesia melalui upaya menumbuhkan mutualisme antar komponen bangsa dan di tingkat grass-roots.
Dalam asas kebersamaan berdasarkan asas kekeluargaan (mutualism and brotherhood atau ukhuwah) yang sekaligus dapat menumbuhkan modal sosial, kerjasama di bidang pembangunan ekonomi dapat melibatkan berbagai lokalitas di tingkat kabupaten/kota, kecamatan ataupun desa, dengan dirancangnya upaya membentuk dan mengembang-kan mutualisme untuk memperkokoh integrasi dan kohesi nasional. Dengan demikian akan terwujud pembangunan ekonomi dan sekaligus interdependensi sosial. Pola interdependensi, yang sekaligus merupakan ketahanan budaya, harus dirancang oleh lembaga perencanaan di tingkat nasional dan tingkat daerah sebagai bagian dari integritas bangsa. Untuk memperkokoh kohesi nasional, perencanaan akan menjadi tujuan strategis karena perencanaan mendesain masa depan.
Sebagai bangsa yang pluralistik, dalam membangun masa depan bangsa dipandang perlu untuk memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan agama yang ada di Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan masyarakat. Berbagai kebudayaan itu jalan beriringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks itu pula maka ribuan suku bangsa sebagai masyarakat yang multikultural yang terdapat di Indonesia serta potensi-potensi budaya yang dimilikinya harus dilihat sebagai aset negara yang dapat didayagunakan bagi pembangunan bangsa ke depan. Intinya adalah menekankan pada pentingnya memberikan kesempatan bagi berkembangnya masyarakat multikultural yang masing-masing harus diakui haknya untuk mengembangkan dirinya.
Hal ini juga berarti bahwa masyarakat multikultural harus memperoleh kesempatan yang baik untuk menjaga dan mengembangkan kearifan budaya lokal mereka ke arah kualitas dan pendayagunaan yang lebih baik. Unsur-unsur budaya lokal yang bermanfaat bagi diri sendiri bahkan perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat menjadi bagian dari kebudayaan bangsa, memperkaya unsur-unsur kebudayaan nasional. Meskipun demikian, misi utamanya adalah mentransformasikan kenyataan multikultural sebagai aset dan sumber kekuatan bangsa serta menjadikannya suatu sinergi nasional.
Oleh karena itu, walaupun masyarakat multikultural harus dihargai potensi dan haknya untuk mengembangkan diri sebagai pendukung kebudayaannya di atas tanah kelahiran leluhurnya, namun pada saat yang sama, mereka juga harus tetap diberi ruang dan kesempatan untuk mampu melihat dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya yang sama-sama merupakan warga negara Indonesia.
Dengan demikian, membangun dirinya, membangun tanah leluhurnya, berarti juga membangun bangsa dan tanah air tanpa merasakannya sebagai beban, namun karena ikatan kebersamaan dan saling bekerjasama.
6. Ketika Multikulturalisme Menjadi Sebuah Masalah
Akhir-akhir ini, intensitas dan ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat terasa kian meningkat. Terutama konflik sosial yang bersifat horisontal, yakni konflik yang berkembang di antara anggota masyarakat, meskipun tidak menutup kemungkinan timbulnya konflik berdimensi vertikal, yakni antara masyarakat dan negara.
Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses interaksi yang alamiyah. Karena masyarakat tidak selamanya bebas konflik. Hanya saja, persoalannya menjadi lain jika konflik sosial yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif, tetapi berubah menjadi destruktif bahkan anarkis.
Perkembangan terakhir menunjukkan pada kita, sejumlah konflik sosial dalam masyarakat telah berubah menjadi destruktif bahkan cenderung anarkhis. Kasus Ambon, Poso, Maluku, GAM di Aceh, dan berbagai kasus yang menyulut kepada konflik yang lebih besar dan berbahaya. Konflik sosial berbau SARA (agama) ini tidak dianggap remeh dan harus segera diatasi secara memadai dan proporsional agar tidak menciptakan disintergrasi nasional. Banyak hal yang patut direnungkan dan dicermati dengan fenomena konflik sosial tersebut. Apakah fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat insidental dengan motif tertentu dan kepentingan sesaat, ataukah justru merpakn budaya dalam masyarakat yang bersifat laten. Realitas empiris ini juga menunjukkan kepada kita bahwa masih ada problem yang mendasar yang belum terselesaikan. Menyangkut penghayatan kita terhadap agama sebagai kumpulan doktrin di satu pihak dan sikap keagamaan yang mewujud dalam prilaku kebudayaan di pihak lain.
Kemajemukan masyarakat lokal seperti itu bukan saja bersifat horisontal (perbedaan etnik, agama dan sebagainya), tetapi juga sering berkecenderungan vertikal, yaitu terpolarisasinya status dan kelas sosial berdasar kekayaan dan jabatan atau pekerjaan yang diraihnya. Dalam hal yang pertama, perkembangan ekonomi pasar membuat beberapa kelompok masyarakat tertentu, khususnya dari etnik tertentu yang memiliki tradisi dagang, naik peringkatnya menjadi kelompok masyarakat yang menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat setempat yang mandeg perkembangannya. Dalam hal kedua, kelompok masyarakat etnis dan agama tertentu, yang semula berada di luar mainstream, yaitu berada di pinggiran, mulai menembus masuk ke tengah mainstream. Hal ini dapat menimbulkan gesekan primordialistik, apalagi bila ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi tertentu seperti terjadi di Ambon, Poso, Aceh dan lainnya .
7. Upaya Bersama di Dalam Menyikapi Sebuah Multikulturalisme
Dengan menjalankan asas gerakkan multikulturalisme menjadi sebuah ideologi yang dianggap mampu menyelesaikan berbagai masalah yang berkaitan dengan Multikulturalisme. Yaitu dengan asas-asas sebagai berikut:
a) Manusia tumbuh dan besar pada hubungan sosial di dalam sebuah tatanan tertentu, dimana sistem nilai dan makan di terapkan dalam berbagai simbol-simbol budaya dan ungkapan-ungkapan bangsa.
b) Keanekaragaman Budaya menunjukkan adanya visi dan sisitem makan tang berbeda, sehingga budaya satu memrlukan budaya lain. Dengan mempelajari kebudayaanlain, maka akan memperluas cakrawala pemahaman akan makna multikulturalisme
c) Setiap kebudayaan secara Internal adalah majemuk, sehingga dialog berkelanjutan sangat diperlukan demi terciptanya persatuan
Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa. Paradigma hubungan timbal balik dalam masyarakat multikultural mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu kompetensi kebudayaan, kemasyarakatan dan kepribadian.
Kompetensi kebudayaan adalah kumpulan pengetahuan yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membuat interpretasi-interpretasi yang dapat mengkondisikan tercapainya konsesus mengenai sesuatu. Kompetensi kemasyarakatan merupakan tatanan-tatanan syah yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membentuk solidaritas sejati. Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang memungkinkan seorang subjek dapat berbicara dan bertindak dan karenanya mampu berpartisipasi dalam proses pemahaman timbal balik sesuai konteks tertentu dan mampu memelihara jati dirinya sendiri dalam berbagai perubahan interaksi.
Semangat kebersamaan dalam perbedaan sebagaimana terpatri dalam wacana ”Bhineka Tunggal Ika” perlu menjadi “roh” atau spirit penggerak setiap tindakan komunikatif, khususnya dalam proses pengambilan ekputusan politik, keputusan yang menyangkut persoalan kehidupan bersama sebagai bangsa dan negara.
Jika tindakan komunikatif terlaksana dalam sebuah komunitas masyarakat multikultural, hubungan diagonal ini akan menghasilkan beberapa hal penting, misalnya:
a) Reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalamkonsepsi politik yang baru, tetap ada kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsesus praktis dalam praktek kehidupan sehari-hari.
b) Integrasi sosial yang menjamin bahwa koordinasi tindakan politis tetap terpelihara melalui sarana-sarana hubungan antar pribadi dan antar komponen politik yang diatur secara resmi (legitemed) tanpa menghilangkan identitas masing-masing unsur kebudayaan.
c) Sosialisasi yang menjamin bahwa konsepsi polotik yang disepakati harus mampu memberi ruang tindak bagi generasi mendatang dan penyelarasan konteks kehidupan individu dan kehidupan kolektif tetap terjaga
Dapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan. Demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai. Konsekwensinya ialah keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif; memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralistik; tatanan sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan.
Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan ‘Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa dan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya itu akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukkan itu menjadi suatu yang tangguh. Sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat dihindari.
B. Kebudayaan Jepang
1.) Sejarah Jepang
Perubahan yang krusial atas Jepang dimulai pada tahun 1603. Pada saat itu, Ieyasu yang telah berhasil menyatukan seluruh Jepang, membangun kekaisarannya di Edo, sekarang dikenal dengan Tokyo. Ieyasu mencoba membangun setiap aspek di negara ini sehingga negara ini mampu berdiri sendiri tanpa bantuan dari negara lain. Hasil dari politik yang dilakukan Ieyasu ini kemudian dimanfaatkan oleh Kekaisaran Tokugawa pada tahun 1639 dengan lahirnya Politik Isolasi.
Latar belakang dari lahirnya Politik Isolasi ini banyaknya misionaris Kristen yang datang menyebarkan Agama Kristen. Berkembangnya Agama Kristen akan menjadi mimpi buruk bagi kekaisaran, oleh sebab itu Kaisar mengambil langkah untuk tidak berhubungan dengan negara asing, kecuali dengan Pedagang-Pedagang Belanda yang dinilai menguntungkan. Itu pun hanya dilakukan di satu tempat, yaitu di Pulau Dejima, Nagasaki.
Politik Isolasi ini bertahan lebih dari 200 tahun sampai pada tahun 1853, Komodor Perry dari angkatan laut Amerika Serikat dengan 4 buah kapalnya memaksa Jepang untuk membuka diri kembali terhadap dunia luar.
Kekaisaran Tokugawa berakhir pada tahun 1867, dan digantikan dengan Kekaisaran Meiji. Pada zaman ini Jepang banyak mengalami kemajuan. Dan hanya dalam beberapa decade mampu menyejajarkan diri dengan negara-negara barat. Pada zaman ini pula Edo berganti nama dengan Tokyo, dan kasta-kasta yang ada pada zaman feudal dihapuskan. Restorasi Meiji benar-benar mampu menggerakkan seluruh aset negara yang ada, sehingga pada beberapa peperangan, Jepang dapat menang. Hasil dari kemenangan itu antara lain adalah dengan direbutnya Taiwan dari Cina pada tahun 1895 dan Sakhalin selatan pada tahun 1905 dari Rusia. Setelah itu Jepang pun mulai membesarkan daerah jajahannya dengan merebut korea pada tahun 1910. Kaisar Meiji meninggal pada tahun 1912 dan mewariskan tahta pada Kaisar Taisho, dan dimulailah Kekaisaran Showa.
Kekaisaran Showa ini dimulai dengan kondisi yang menjanjikan. Industri yang terus berkembang, dan kehidupan politik yang telah mengakar di parlemen-parlemen pemerintahan. Namun masalah-masalah baru terus bermunculan. Krisis ekonomi dunia menekan kehidupan rakyat. Rakyat mulai tidak percaya terhadap pemerintah karena banyaknya skandal. Hal ini dimanfaatkan oleh para ekstrimis dan berhasil menomorsatukan militer di negara ini. Jepang pun mulai terlibat pada banyak peperangan. Fungsi dari Parlemen pun semakin berkurang. Semuanya ditangani militer. Hingga pada akhirnya pecahnya Perang Pasifik pada tahun 1941.
Pada tahun 1945, Jepang menyerah pada sekutu akibat semakin melemahnya kekuatannya setelah Hiroshima dan Nagasaki dilumpuhkan. Dalam masa pendudukan sekutu ini banyak hal yang diubah. diantaranya adalah diberikannya hak kepada wanita untuk memberikan suara pada pemilu, dan juga kebebasan untuk mengelurkan pendapat, memeluk agama, dan lain-lain.
Pada tahun 1951, setelah ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian San Fransisko, Jepang mendapatkan haknya kembali untuk menjalankan politiknya kembali.
Satu tugas besar menunggu, yaitu mengangkat kembali negara ini dari keterpurukannya akibat perang. Dalam masa tidak lebih dari 10 tahun, dibantu dengan negara-negara luar, Jepang mampu tegak kembali dan bersaing di pasar internasional. Satu bukti dari kebangkitannya itu adalah dengan menjadi tuan rumah Olimpiade Tokyo 1964, yang juga menjadi symbol atas kebangkitan Jepang. Tidak hanya itu, pada tahun 1975 Jepang sudah diakui menjadi negara maju dan masuk dalam kelompok negara G-7.
2.) Sains dan Teknologi
Sejak Perang Dunia II, Pembangunan teknologi dibagi atas beberapa tahap. Akhir tahun 1940-an hingga tahun 1950-an, pembangunan ditekankan pada pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan tempat-tempat riset dan sebagainya, dan pengumpulan teknologi dari luar negeri. Pada saat inilah banyak pemuda-pemuda Jepang yang dikirim ke luar negeri untuk belajar. 10 tahun berikutnya adalah tahap mencoba untuk melakukan riset sendiri. Pada tahun 1970-an, Jepang memusatkan pada masalah teknologi yang bersifat ramah lingkungan dan juga penghematan energi. Dan mulai tahun 1980-an, penekanan pembangunan dilakukan pada kreativitas dalam sains dan teknologi itu sendiri.
Jepang merupakan negara yang banyak mengeluarkan dana untuk riset dan pembangunan teknologi. Pada tahun 1993 tercatat dana yang dikeluarkan untuk riset dan teknologi mencapai 13.7 trilyun yen. Angka ini merupakan 2.9% dari total GNP negara ini pada saat itu. Dari persentase ini, 79% dikeluarkan dari sector swasta. Beberapa proyek teknologi yang berskala besar di Jepang saat ini:
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
Pada tahun 1995, Jepang memiliki 45 reaktor nuklir pembangkit listrik. Reaktor-reaktor ini menyediakan sekitar 46 juta kilowatt per tahun, atau sekitar 33% dari total energi yang dibutuhkan Jepang per tahunnya. Pada saat ini penelitian dan pengembangan pada bidang ini masih tetap dilakukan sehingga ditargetkan pada tahun 2010, pembangkit listrik tenaga nuklir akan mensuplai 71 juta kilowatt, atau sekitar 41% dari total listrik yang diperlukan per tahunnya.
Kereta
Jepang merupakan negara yang maju dalam hal perkeretaan. Untuk kota-kota besar seperti Tokyo dan Osaka, hampir seluruh tempat di kota ini yang bias dicapai dengan menggunakan kereta. Untuk kereta antar kota, disamping kereta biasa tersedia pula kereta ekspress, shinkansen. Shinkansen pertama kali diluncurkan pada tahun 1964, berbarengan dengan diadakannya olimpiade di Tokyo. Hal itu merupakan bukti kesiapan Jepang dalam menjadi tuan rumah olimpiade pada saat itu. Dengan kecepatan yang mencapai 300 km/jam, dalam waktu yang singkat dapat menempuh waktu yang jauh. Tidak hanya itu, saat ini Jepang sedang melakukan riset dan tes uji coba tahap akhir kereta super cepat, Maglev. Kereta ini dapat menempuh kecepatan 500 km/jam.
Teknologi Antariksa
Pada tahun 1995, Jepang telah meluncurkan 58 satelit ke luar angkasa untuk bermacam-macam tujuan. Observasi cuaca, komunikasi, dan lain-lain. Walaupun demikian, Jepang belum pernah menerbangkan pesawat antariksanya sendiri walau astronot-astronotnya sudah beberapa kali terbang ke luar angkasa. Karena itulah pada saat ini penelitian di bidang ini sedang digalakkan. Salah satu contohnya adalah proyek yang diberi nama ‘Hope’, tujuannya adalah pada awal abad ke 21 ini, Jepang akan menerbangkan pesawat antariksanya ke luar angkasa.
3.) Budaya Jepang
JEPANG merupakan contoh perpaduan harmonis antara modern dan tradisional. ‘’Negeri matahari terbit’’ ini tidak hanya memancarkan sinar kemajuan industri dan teknologi, melainkan juga memiliki keunikan budaya yang tak tenggelam di tengah arus modernisasi. Budaya Jepang —dalam banyak hal bersumber pada spirit Konfusianisme dan Shintoisme— sangat mewarnai kehidupan sosial dan etos bisnis. Jepang memiliki budaya konteks tinggi yang sangat berbeda, khususnya dengan budaya Barat, yang lebih egaliter dan terbuka.
Pilar utama nilai-nilai budaya Jepang dikenal dengan wa (harmoni), kao (reputasi), dan omoiyari (loyalitas). Konsepsi wa mengandung makna mengedepankan semangat teamwork, menjaga hubungan baik, dan menghindari ego individu. Perlu diingat, pengaruh nilai wa dalam pola budaya Jepang terutama budaya bisnis— yaitu ekspresi tidak langsung dalam menyatakan penolakan.Orang Jepang tidak bisa berkata tidak. Dalam menyampaikan pendapat, mereka lebih mengutamakan konteks, tidak menyatakannya secara terbuka. Secara harfiah, kao berarti wajah. Wajah merupakan cermin harga diri, reputasi, dan status sosial. Masyarakat Jepang pada umumnya menghindari konfrontasi dan kritik terbuka secara langsung. Membuat orang lain ‘’kehilangan muka’’ merupakan tindakan tabu dan dapat menyebabkan keretakan dalam hubungan bisnis. Sedangkan omoiyari berarti sikap empati dan loyalitas. Spirit omoiyari menekankan pentingnya membangun hubungan yang kuat berdasarkan kepercayaan dan kepentingan bersama dalam jangka panjang.
3.1 Budaya Dan Iklim Bisnis
Memasuki abad ke-20, setelah kekalahannya dalam Perang Dunia II, Jepang mulai mengadopsi teknologi Barat dan menggenjot industri dalam negerinya. Sejak itu, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat dan menjadi salah satu negara pengekspor paling sukses. Kini Jepang merupakan negara industri terkemuka, dengan iklim bisnis dan pasar terbuka yang ramah bagi investasi dan perdagangan asing. Meskipun Jepang mengalami proses modernisasi yang cepat, pola budaya dan tradisinya masih kental mewarnai praktek dan hubungan bisnis. Berikut gambaran praktek bisnis di Jepang pada umumnya.
• Struktur dan hierarki dalam bisnis dan perusahaan Jepang sangat kuat. Hierarki yang kuat juga tercermin dalam negosiasi bisnis. Proses negosiasi biasanya dimulai dari executive level, kemudian dilanjutkan pada middle level. Meskipun demikian, keputusan dibuat secara kolektif.
• Proses negosiasi bisnis dengan Jepang dikenal alot dan lamban. Namun adanya persaingan bisnis yang ketat dewasa ini mendorong pengambilan keputusan dibuat lebih cepat dan efisien.
• Dalam budaya bisnis Jepang, senioritas sangat dihormati. Umur dan status biasanya terkait erat. Dalampertemuan bisnis, posisi tempat duduk didasarkan pada tingkat senioritasnya.
• Di Jepang, kontrak bisnis tidak otomatis diartikan sebagai kesepakatan akhir. Lebih penting dari itu adalah memelihara relasi dengan baik untuk kepentingan jangka panjang.
• Pemimpin yang selalu memikirkan penampilannya tidaklah ada gunanya karena citra sama sekali tidak bermakna.
• Disiplin ketat dan organisasi, jadi batu penjuru warga jepang bahwa sampai kapan pun kedisiplinan dan nilai kerja tetaplah amat berharga.
C. Kebudayaan Yogyakarta
1. Grebeg Syawal 1941 Jimawal
Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menggelar tradisi Grebeg Syawal (jawa: Sawal), Kamis (02/10/2008), dalam Kalender Jawa bertepatan dengan tanggal 1 Sawal tahun 1941 Jimawal. Rangkaian upacara dimulai dari Pagelaran Kraton dan diakhiri dengan rayahan gunungan di halaman Masjid Gede Kauman. Upacara tradisional yang digelar setiap tahun ini merupakan dimaknai sebagai sedekah Sultan kepada rakyatnya.
2. Nyadran Makam Sewu
Nyadran merupakan tradisi melakukan ziarah kubur ke makam leluhur menjelang bulan Ramadhan (Jawa: Pasa). Di Makam Sewu Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Bantul, setiap tahunnya digelar tradisi Nyadran yang dikemas dengan ritual budaya menarik. Dilaksanakan setelah tanggal 20 bulan Ruwah dalam kalender jawa. Ritual ini digelar untuk menghormati Panembahan Bodo, seorang tokoh penyebar.
3. Tradisi Labuhan Alit di Parangkusumo
Kraton Yogyakarta menggelar tradisi Labuhan Alit di Pantai Parangkusumo, Minggu (03/08/2008). Tradisi ini diselenggarakan dalam rangka peringatan Jumenengan Ndalem (penobatan) Sri Sultan Hamengku Buwono X setiap tanggal 30 bulan Rejeb dalam penanggalan Jawa. Barang-barang tinggalan dalem (milik sultan), baju, kain, serta potongan rambut dan kuku sultan dilarung ke laut sebagai persembahan bagi penguasa laut selatan.
4. Grebeg Selarong, Tradisi Budaya Mengenang Perjuangan Diponegoro
Grebeg Selarong sebuah tradisi budaya digelar di pelataran Goa Selarong yang terletak di Desa Guwosari, Pajangan, Bantul. Minggu (27/07/2008) lalu, masyarakat sekitar selarong untuk keempat kalinya menggelar tradisi ini. Warga berpakaian tradisional Jawa memadati pelataran goa bersejarah tersebut. Grebeg Selarong kali ini diselenggarakan secara sederhana. Tanpa prosesi kirab, hanya membawa sebuah gunungan berukuran kecil berhias hasil.
D. Perbandingan Kebudayaan Jepang dengan Indonesia
Budaya adalah kristalisasi nilai dan pola hidup yang dianut suatu komunitas. Budaya tiap komunitas tumbuh dan berkembang secara unik, karena perbedaan pola hidup komunitas itu. Perbandingan budaya Jepang dan Indonesia berarti mencari nilai-nilai kesamaan dan perbedaan antara bangsa Indonesia dan bangsa Jepang. Dengan mengenali persamaan dan perbedaan kedua budaya itu, kita akan semakin dapat memahami keanekaragaman pola hidup yang ada, yang akan bermanfaat saat berkomunikasi dan berinteraksi dengan pihak yang berasal dari budaya yang berbeda.
Kesulitan utama dalam membuat perbandingan budaya antara Indonesia dan Jepang disebabkan perbedaan karakteristik kedua bangsa tersebut. Bangsa Jepang relatif homogen, dan hanya memiliki sekitar 15 bahasa (tidak berarti 15 suku bangsa, karena termasuk didalamnya sign language untuk tuna rungu), dan telah memiliki sejarah yang jauh lebih panjang, sehingga nilai-nilai budaya itu lebih mengkristal. Adapun bangsa Indonesia berciri heterogen, multi etnik, memiliki lebih dari 700 bahasa, sehingga tidak mudah untuk mencari serpih-serpih budaya yang mewakili Indonesia secara nasional. Perlu dipisahkan nilai-nilai mana yang diterima secara nasional di Indonesia, dan mana yang merupakan karakter unik salah satu suku yang ada.
1. Tradisi penamaan di Jepang
Nama di Jepang terdiri dari dua bagian : family name dan first name. Nama ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan (kuyakusho), selambat-lambatnya 14 hari setelah seorang bayi dilahirkan. Semua orang di Jepang kecuali keluarga kaisar, memiliki nama keluarga. Tradisi pemakaian nama keluarga ini berlaku sejak jaman restorasi Meiji, sedangkan di era sebelumnya umumnya masyarakat biasa tidak memiliki nama keluarga. Dewasa ini ada sekitar 100 ribu nama keluarga di Jepang, dan diantaranya yang paling populer adalah Satou dan Suzuki. Jika seorang wanita menikah, maka dia akan berganti nama keluarga, mengikuti nama suaminya. Namun demikian, banyak juga wanita karir yang tetap mempertahankan nama keluarganya. Tradisi di Jepang dalam memilih first name, dengan memperhatikan makna huruf Kanji, dan jumlah stroke, diiringi dengan harapan atau doa bagi kebaikan si anak.
2. Tradisi penamaan di Indonesia
Adapun masyarakat di Indonesia tidak semua suku memiliki tradisi nama keluarga. Masyarakat Jawa misalnya, tidak memiliki nama keluarga. Tetapi suku di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi memiliki nama keluarga. Dari nama seseorang, kita dapat memperkirakan dari suku mana dia berasal, agama apa yang dianut dsb. Berikut karakteristik nama tiap suku di Indonesia
• Suku Jawa (sekitar 45% dari seluruh populasi) : biasanya diawali dengan Su (untuk laki-laki) atau Sri (untuk perempuan), dan memakai vokal “o”. Contoh : Sukarno, Suharto, Susilo, Joko, Anto, Sri Miranti, Sri Ningsih.
• Suku Sunda(sekitar 14% dari seluruh populasi) : banyak yang memiliki perulangan suku kata. Misalnya Dadang, Titin, Iis, Cecep
• Suku Batak : beberapa contoh nama marga antara lain Harahap, Nasution.
• Suku Bali : Ketut, Made, Putu, Wayan dsb. Nama ini menunjukkan urutan, bukan merupakan nama keluarga.
Selain nama yang berasal dari tradisi suku, banyak nama yang diambil dari pengaruh agama. Misalnya umat Islam : Abdurrahman Wahid, Abdullah, dsb. Sedangkan umat Katolik biasanya memakai nama baptis : Fransiskus, Bonivasius, Agustinus, dsb.
3. Perbandingan kedua tradisi
a.) Persamaan antara kedua tradisi
Baik di Jepang maupun di Indonesia dalam memilih nama (first name) sering memilih kata yang mensimbolkan makna baik, sebagai doa agar si anak kelak baik jalan hidupnya. Khusus di Jepang, banyaknya stroke kanji yang dipakai juga merupakan
salah satu pertimbangan tertentu dalam memilih huruf untuk anak.
b.) Perbedaan antara kedua tradisi sbb.
1. Di Jepang, nama keluarga dimasukkan dalam catatan sipil secara resmi, tetapi di Indonesia nama keluarga ini tidak dicatatkan secara resmi di kantor pemerintahan
2. Di Jepang setelah menikah seorang wanita akan berganti nama secara resmi mengikuti nama keluarga suaminya. Sedangkan di Indonesia saat menikah, seorang wanita tidak berganti nama keluarga. Di Indonesia umumnya setelah menikah nama suami dilekatkan di belakang nama istri. Tetapi penambahan ini tidak melewati proses legalisasi/pencatatan resmi di kantor pemerintahan.
3. Huruf Kanji yang bisa dipakai untuk menyusun nama anak di Jepang dibatasi oleh pemerintah (sekitar 2232 huruf, yang disebut jinmeiyo kanji), sedangkan di Indonesia tidak ada pembatasan resmi untuk memilih kata yang dipakai sebagai nama anak
4. Pemakaian gesture/gerak tubuh untuk memberikan penghormatan dan kasih sayang
Salah satu topik menarik untuk dibahas adalah bagaimana memakai bahasa tubuh untuk mengungkapkan penghormatan. Jepang dan Indonesia memiliki cara berlainan dalam mengekspresikan terima kasih, permintaan maaf, dsb.
a.) Ojigi
Dalam budaya Jepang ojigi adalah cara menghormat dengan membungkukkan badan, misalnya saat mengucapkan terima kasih, permintaan maaf, memberikan ijazah saat wisuda, dsb. Ada dua jenis ojigi : ritsurei (立礼) dan zarei (座礼). Ritsurei adalah ojigi yang dilakukan sambil berdiri. Saat melakukan ojigi, untuk pria biasanya sambil menekan pantat untuk menjaga keseimbangan, sedangkan wanita biasanya menaruh kedua tangan di depan badan. Sedangkan zarei adalah ojigi yang dilakukan sambil duduk. Berdasarkan intensitasnya, ojigi dibagi menjadi 3 : saikeirei (最敬礼), keirei (敬礼), eshaku (会釈). Semakin lama dan semakin dalam badan dibungkukkan menunjukkan intensitas perasaan yang ingin disampaikan. Saikeirei adalah level yang paling tinggi, badan dibungkukkan sekitar 45 derajat atau lebih. Keirei sekitar 30-45 derajat, sedangkan eshaku sekitar 15-30 derajat. Saikeirei sangat jarang dilakukan dalam keseharian, karena dipakai saat mengungkapkan rasa maaf yang sangat mendalam atau untuk melakukan sembahyang. Untuk lebih menyangatkan, ojigi dilakukan berulang kali. Misalnya saat ingin menyampaikan perasaan maaf yang sangat mendalam. Adapun dalam budaya Indonesia, tidak dikenal ojigi.
b.) Jabat tangan
Tradisi jabat tangan dilakukan baik di Indonesia maupun di Jepang melambangkan keramahtamahan dan kehangatan. Tetapi di Indonesia kadang jabat tangan ini dilakukan dengan merangkapkan kedua tangan. Jika dilakukan oleh dua orang yang berlainan jenis kelamin, ada kalanya tangan mereka tidak bersentuhan. Letak tangan setelah jabat tangan dilakukan, pun berbeda-beda. Ada sebagian orang yang kemudian meletakkan tangan di dada, ada juga yang diletakkan di dahi, sebagai ungkapan bahwa hal tersebut tidak semata lahiriah, tapi juga dari batin.
c.) Cium tangan
Tradisi cium tangan lazim dilakukan sebagai bentuk penghormatan dari seorang anak kepada orang tua, dari seorang awam kepada tokoh masyarakat/agama, dari seorang murid ke gurunya. Tidak jelas darimana tradisi ini berasal. Tetapi ada dugaan berasal dari pengaruh budaya Arab. Di Eropa lama, dikenal tradisi cium tangan juga, tetapi sebagai penghormatan seorang pria terhadap seorang wanita yang bermartabat sama atau lebih tinggi. Dalam agama Katolik Romawi, cium tangan merupakan tradisi juga yang dilakukan dari seorang umat kepada pimpinannya (Paus, Kardinal). Di Jepang tidak dikenal budaya cium tangan.
d.) Cium pipi
Cium pipi biasa dilakukan di Indonesia saat dua orang sahabat atau saudara bertemu, atau sebagai ungkapan kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya dan sebaliknya. Tradisi ini tidak ditemukan di Jepang.
e.) Sungkem
Tradisi sungkem lazim di kalangan masyarakat Jawa, tapi mungkin tidak lazim di suku lain. Sungkem dilakukan sebagai tanda bakti seorang anak kepada orang tuanya, seorang murid kepada gurunya. Sungkem biasa dilakukan jika seorang anak akan melangsungkan pernikahan, atau saat hari raya Idul Fitri (bagi muslim), sebagai ungkapan permohonan maaf kepada orang tua, dan meminta doa restunya.
Baik budaya Jepang maupun Indonesia memiliki keunikan tersendiri dalam mengekspresikan rasa hormat, rasa maaf. Jabat tangan adalah satu-satunya tradisi yang berlaku baik di Jepang maupun Indonesia. Kesalahan yang sering terjadi jika seorang Indonesia baru mengenal budaya Jepang adalah saat melakukan ojigi, wajah tidak ikut ditundukkan melainkan memandang lawan bicara. Hal ini mungkin terjadi karena terpengaruh gaya jabat tangan yang lazim dilakukan sambil saling berpandangan mata. Kesalahan lain yang juga sering terjadi adalah mencampurkan ojigi dan jabat tangan. Hal ini juga kurang tepat dipandang dari tradisi Jepang.
E. Norma Sosial dan Norma Hukum
Secara umum pengertian norma adalah segala aturan-aturan atau pola-pola tindakan, yang normatif, yang menjadi pedoman hidup bagi orang yang bersikap tindak di dalam kehidupannya, baik dalam hidupnya sendiri maupun dalam pergaulan hidup bersama. Norma-norma tersebut diyakini oleh masyarakat yang bersangkutan sebagai milik bersama.
Beraneka ragamnya norma yang hidup di masyarakat dikarenakan norma-norma tersebut sudah mengacu pada peranan-peranan manusia dalam kedudukannya di masyarakat. Selain itu apabila dilihat dari sudut daya paksa atau sanksi untuk kepatuhan terhadap suatu norma terdapat perbedaan-perbedaan pula. Ada norma yang lemah atau tidak keras dengan sanksinya, atau dikatakan sebagai sanksi sosial saja. Sebaliknya ada pula yang mempunyai sanksi kuat yang dinamakan sebagai sanksi hukum, sehingga norma tersebut dinamakan sebagai norma hukum.
1. Norma Hukum dan Norma Sosial Lainnya
Norma-norma yang ada dalam masyarakat bermacam-macam, atau disebut juga sebagai kaidah atau norma sosial. Macam kaidah atau norma tersebut tergantung dari dua macam aspek hidup manusia yaitu:
a.) aspek hidup pribadi, meliputi:
Kaidah-kaidah atau norma-norma kepercayaan, untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan beriman.
Kaidah-kaidah kesusilaan (sittlichkeit atau moral/etika dalam arti sempit) yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi atau kebersihan hati nurani dan akhlak (kehidupan dengan geweten).
b.) aspek hidup antar pribadi, meliputi:
Kaidah-kaidah atau norma-norma sopan santun yang bertujuan agar tercapai kenyamanan hidup bersama.
Kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang bertujuan agar tercapai kedamaian hidup bersama.
Mengingat dalam masyarakat ada beraneka norma yang dianut dan diagungkan oleh warga masyarakat yang bersangkutan sebagai pedoman berlaku, dan tatanan sosial terwujud berkat pedoman-pedoman tersebut. Selain itu hukum perundang-undangan tidak dapat mengatur semua segi kehidupan manusia. Sehingga kehidupan manusia perlu dilengkapi oleh pedoman hidup yaitu norma-norma sosial lainnya.
2. Proses Norma Sosial Menjadi Norma Hukum
Dalam konteks diri manusia sebagai makhluk sosial, maka tujuan hidup bersama yang ingin dicapai adalah kedamaian dan keteraturan hidup antar manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan suatu patokan atau pedoman yang mengatur bagaimana manusia dapat berperilaku pantas dan semestinya di dalam masyarakat. Patokan atau pedoman berperilaku pantas tersebut adalah dalam ukuran yang sesuai dengan masyarakat yang bersangkutan. Mengingat setiap manusia tentu mempunyai ukuran pantas atau semestinya berbeda-beda dengan manusian lainnya, sehingga sebagai makhluk sosial kehidupan sosialnyapun perlu diatur oleh suatu pedoman, patokan atau standar yang disepakati bersama, yang disebut dengan kaidah atau norma.
Proses bagaimana terjadinya kaidah atau norma itu dapat dijelaskan berkaitan dengan manusia sebagai makhluk budaya. Sebagai makhluk budaya, manusia diberikan kemampuan berpikir, ia diberi Tuhan akal untuk menjalani kehidupannya. Perilaku yang ia lakukan setiap hari adalah hasil dari proses belajar dari generasi sebelumnya dan juga lingkungan hidupnya. Pola hidup dengan norma-norma yang ada sebagai pedoman hidup atau patokan hidup itu muncul karena adanya suatu kebutuhan hidup manusia yang harus dipenuhi.
Dalam penerapan norma-norma yang telah disepakati bersama tersebut, apabila terjadi pelanggaran atas suatu norma sosial maka akan ada sanksi sosial, misalnya dikucilkan, dicemooh, dan lain-lain. Apabila suatu norma sosial diberlakukan dengan paksaan suatu sanksi maka norma sosial tersebut menjadi norma hukum. Menurut E. Adamson Hoebel, suatu norma sosial adalah hukum apabila pelanggarannya atau tindakan tidak mengindahkannya secara teratur ditindak, yaitu tindakan fisik, secara ancaman atau secara nyata, oleh seseorang atau suatu kelompok orang, yang mempunyai wewenang bertindak secara sosial diakui. (T.O. Ihromi, 1986: 5). Jadi perbedaan norma hukum dan norma sosial adalah dalam norma hukum, hukum dapat menerapkan penggunaan kekuatan yang ada pada masyarakat yang terorganisasi untuk menghindari atau menghukum pelanggaran terhadap norma sosial.
Sebagai negara hukum, maka penyelenggaraan organisasi negara yang berkaitan dengan pemerintahan maupun seluruh rakyatnya diatur oleh hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Hukum yang tertulis yang dibuat oleh lembaga legislatif atas usulan Pemerintah, mempunyai kedudukan yang penting dalam pengaturan penyelenggaraan negara. Di sisi lain norma-norma sosial lainnya atau norma-norma bukan hukum tidak dapat diabaikan peranannya dalam usaha mewujudkan kenyamanan, kedamaian dan ketertiban hidup manusia dalam suatu masyarakat.
3. Pengertian, Tujuan dan Fungsi Hukum
Hukum mempunyai pengertian yang beraneka, dari segi macam, aspek dan ruang lingkup yang luas sekali cakupannya. Kebanyakan para ahli hukum mengatakan tidak mungkin membuat suatu definisi tentang apa sebenarnya hukum itu. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Van Apeldoorn yang mengatakan bahwa hukum itu banyak seginya dan demikian luasnya sehingga tidak mungkin menyatakannya dalam satu rumusan yang memuaskan. (apeldoorn, 1982: 13). Oleh sebab itu menurut Purnadi Purbacaraka, pengertian hukum antaralain dapat dilihat dari cara-cara merealisasikan hukum tersebut dan bagaimana pengertian masyarakat terhadap hukum, yang antara lain adala sebagai berikut:
1.) Hukum sebagai ilmu pengetahuan,
2.) Hukum sebagai disiplin,
3.) Hukum sebagai kaidah,
4.) Hukum sebagai tata hukum,
5.) Hukum sebagai petugas (hukum),
6.) Hukum sebagai keputusan penguasa,
7.) Hukum sebagai proses pemerintahan,
8.) Hukum sebagai perikelakuan yang ajeg atau sikap tindak yang teratur,
9.) Hukum sebagai jalinan nilai-nilai. (Purbacaraka, 1982: 12)
Sebagai bagian dari kebudayaan, dan manusia atau masyarakat adalah pendukung dari kebudayaan tersebut, maka hukum selalu ada dimana masyarakat itu berada (ubi societas ibi ius). Keberadaan hukum tersebut, baik pada masyarakat yang modern atau masyarakat primitif atau yang masih sederhana menunjukkan bahwa hukum mempunyai kedudukan yang sangat pentin
0 komentar:
Posting Komentar