FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DAN PERKEMBANGANNYA
Sebuah Kajian Aksiologi
ISTI’AH
Pendahuluan
Filsafat sebagai pandangan hidup erat kaitannya dengan nilai tentang sesuatu yang dianggap benar. Jika filsafat itu dijadikan pandangan hidup oleh suatu masayarakat atau bangsa, maka mereka berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan yang nyata. Disini filsafat sebagai pandangan hidup difungsikan sebagai tolok ukur bagi nilai-nilai tentang kebenaran yang harus dicapai.
Untuk mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam filsafat atau pandangan hidup dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu diantaranya adalah melalui pendidikan. Dengan demikian suatu filsafat bagi masyarakat atau bangsa berkaitan erat dengan sistem pendidikan yang dirancang.
Dalam kaitan ini dapat dilihat hubungan antara filsafat hidup dengan sistem pendidikan ataupun sistem-sistem lainnya dalam suatu masyarakat atau Negara, sesuai dengan pandangan hidup yang mereka anut masing-masing, sebagai suatu nilai yang mereka anggap memiliki nilai-nilai tentang kebenaran. Filsafat atau pandangan hidup merangkum dasar dan tujuan dari suatu system, termasuk didalamnya sistem pendidikan.
Adapun Islam sebagi suatu konsep ajaran yang diyakini memiliki nilai-nilai tentang kebenaran oleh penganutnya, pada dasarnya juga merupakan filsafat dan pandangan hidup mereka.
Sistem pendidikan Islam baru dinilai Islami, hanyalah kalau secara serasi dan konsisten dapat diwujudkan sesuai dengan konsep ajaran al-Qur'an dan hadist, yang menjadi dasar dan tujuan hidup muslim. Dengan kata lain, pandangan hidup muslim seperti yang termuat dalam ajaran al-Qur'an dan hadits juga adalah menjadi filsafat pendidikaan Islam. Adanya hubungan timbal balik seperti ini menyebabkan sistem pendidikan Islam tidak mungkin dipisahkan dengan filsafat daan pandangan hidup muslim itu sendiri.
Pengertian Filsafat Pendidikan
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta dan kata Shopos yang berarti ilmu atau hikmah.[1] Dengan demikian, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibany mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta kepada hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya, ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakekat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat dan berusaha menafsirkan pengalaman-penglaman manusia.[2]
Selain itu terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Arab, falsafah yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia: Philos berarti cinta, suka(loving) dan Sophia berarti pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Orang yang cinta kepada pengetahuan atau kebenaran itu lazimnya disebut philosopher yang dalam bahasa Arab disebut failusuf.[3]
Sementara itu, A. Hanafi mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pithagoras (481-411SM), yang dikenal sebagai orang pertama yang menggunakan perkataan tersebu, ketika ditanya seseorang yang bernama Leon mengenai pekerjaannya, mengatakan bahwa ia adalah seorang filosof dalam arti: a love of wisdom (pecinta pengetahuan). A. Hanafi lebih lanjut mengatakan bahwa kata filsafat berasal dari kata Philos yang berarti cinta dan Shopia yang berarti pengetahuan.[4]
Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa pengertian filsafat dari segi kebahasaan atau semantic adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian Filsafat adalah suatu kegiatan atau aktifitas yang menempatkan pengetahuan sebagai sasaran utamanya. Kata cinta tersebut selanjutnya menunjuk kepada panggilan hati nurani yang secara murni rela melakukan suatu kegiatan tanpa paksaan dari luar.
Pendapat yang lebih jelas lagi tentang filsafat antara lain dikemukakan oleh Sidi Gazalba. Menurutnya, filsafat adalah berfikir mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenara, inti atau hakekat mengenai segala sesuatu yang ada.[5] Pendapat Sidi Gazalba ini memperlihatkan adanya tiga ciri pokok dalam filsafat. Pertama, adanya unsure berfikir yang dalam, hal ini menggunakan akal. Dengan demikian filsafat adalah kegiatan berfikir. Kedua, adanya unsur tujuan yang ingin dicapai melalui berfikir tersebut yaitu mencari hakikat atau inti mengenai segala sesuatu. Dalam hubungan ini bisa saja filsafat berfikir mengenai segala sesuatu yang bersifat material, namun yang dijadikan sasran bukanlah materinya itu sendiri, melainkan konsep atau hakikat mengenai materi tersebut. Dalam hubungan ini benar ap yang dikatakan Ahmad Tafsir,bahwa obyek penelitian filsafat itu bisa saja sesuatu yang konkret, tetapi yang ingin diketahui adalah bagiannya yang abstrak.[6]
Sebagai suatu agama, Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan komprehensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup didunia termasuk di dalamnya mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah al-Qur'an dan Hadits. Sebagai sumber ajaran, al-Qur'an sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Hal ini dapat dibuktikan antara lain karena al-Qur'an memuat istilah-istilah yang selama ini digunakan untuk pendidikan, yaitu tarbiyah dan ta'lim. Selain itu dapat pula dilihat dari lima ayat al-Qur'an yang pertama kali diturunkan, yaitu surat al-Alaq ayat 1 sampai 5. Dalam ayat-ayat tersebut Allah telah memperkenalkan istilah yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu iqra', 'allama, dan qalam, yang artinya bacalah, mengajarkan dan alat tulis. Ketiga istilah itu sangat akrab dengan kegiatan pendidikan dan pengajaran. Hal ini menarik, karena dari sekian banyak nama yang diberikan Allah untuk al-Qur'an, ada dua nama yang cukup terkenal yaitu al-Qur'an dan al-Kitab yang artinya bacaan dan tulisan. Atas dasar ini, tidaklah mengherankan jika Salih Abdullah Salih sampai pada suatu kesimpulan bahwa al-Qur'an adalah kitab kependidikan.[7]
Demikian pula dalam al-Hadits, sebagai sumber ajaran Islam, diakui memberikan perhatian yang sangat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW. Telah mencanangkaan program pendidikan seumur hidup (long life education). Hal ini dapat dipahami dari haditsnya yang menyuruh seseorang untuk menuntut ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang lahat.
Masalah pendidikan adalah merupakan masalah hidup dan kehidupan manusia. Proses pendidikan berada dan berkembang bersama proses perkembangan hidup dan kehidupan manusia, bahkan keduanya adlah proses yang satu. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Rupert C. Lodge, dalam bukunya "Philosiphy of Education", sebgai berikut:
"the word education is used, sometimes in a wider, sometimes in a narrower sense. In the wider sense, all experience is said to be educative.
……the child educates his parent, the pupil educates his theachers, the dog educates his master. Everything we say, think or do, educates us, no less than what is said or done to us by other beings, animate or inanimate. In this wider sense, life is education, and education is life"[8]
Jika diperhatikan, pengertian yang luas dari pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Lodge yaitu bahwa life is education, and education is life", akan berarti bahawa seluruh proses hidup dan kehidupan manusia itu adalah proses pendidikan. Segala pengalaman sepanjang hidupnya merupakan dan memberikan pengaruh pendidikan.
Muzayyin Arifin mengatakan bahwa filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berfikir tentang pendidikan yang bersumberkan atau berlandaskan ajaran-ajaran Islam tetang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam.[9]
Sedangkan menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany. Filsafat pendidikan Islam adalah pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah filsafat dalam bidang pendidikan yang didasarkan pada ajaran Islam. Lebih lanjut ia mengatakan supaya filsafat pendidikan Islam itu dapat memperoleh faedah, tujuan-tujuan dan fungsi-fungsi yang diharapkan dan diidamkan, filsafat itu harus diambil dari berbagai sumber.[10]
Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam
Al-Syaibany mengemukakan ada tiga manfaat dari mempelajari filsafat pendidikan Islam:
1. Filsafat pendidikan itu dapat menolong para perancang pendidikan dan orang-orang yang melaksanakannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap proses pendidikan. Disamping itu ia dapat menolong terhadap tukuan-tujuan dan fungsi-fungsinya serta meningkatkan mutu penyelesaian masalah pendidikan dan peningkatan tindakan dan keputusan termasuk rancangan-rancangan pendidikan mereka. Selain itu juga berguna untuk memperbaiki peningkatan pelaksanaan pendidikan serta kaidah dan cara mereka mengajar yang mencakup penilaian, bimbingan dan penyuluhan.
2. Filsafat pendidikan dapat menjadi asas yang terbaik uantuk penilaian pendidikan dalam arti yang menyeluruh. Penilaian pendidikan itu dianggap persoalan yang perlu bagi setiap pengajaran yang baik. Dalam pengertian yang terbaru, penilaian pendidikan meliputi segala usaha dan kegiatanyang dilakukan oleh sekolah, institusi-institusi pendidikan secra umum untuk mendidik angkatan baru dan warga negara dan segala yang berkaitan dengan itu.
3. Filsafat pendidikan Islam akan menolong dalam memberikan pendalaman pikiran bagi faktor-faktor spiritual, kebudayaan, social, ekonomi, dan politik.[11]
Fungsi filsafat pendidikan Islam lebih konkret lagi dijelaskan oleh Ahmad D. Marimba. Menurutnya bahwa filsafat pendidikan dapat menjadi pegangan pelaksanaan pendidikan yang menghasilkan generasi-generasi baru yang berkepribadian muslim. Generasi-generasi baru ini selanjutnya akan mengembangkan usaha-usaha pendidikan dan mungkin mengadakan penyempurnaan atau penyusunan kemabli filsafat yang mendasari usaha-usaha pendidikan itu sehingga membawa hasil yang lebih besar.[12]
Selanjutnya Muzayyin Arifin menyimpulkan bahwa fisafat pendidika Isalm itu seharusnya bertugas dalam tiga dimensi, yaitu:
1. Memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanaan pendidikan pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam.
2. Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan tersebut.
3. Melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan tersebut.[13]
Dengan uarian diatas, dapat diketahui filsafat pendidikan Islam berfungsi mengarahkan dan memberikan landasan pemikiran yang sistematik, mendalam, logis, universal radikal terhadap berbagai masalah yang beroperasi dalam bidang pendidikan dengan menempatkan al-Qur'an sebagai dasar acuannya.
Perkembangan Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat pendidikan Islam diperkirakan berkembang sejalan dengan latar belakang sejarah penyebaran agama Islam. Seperti diketahui penyebaran agama Islam berawal dari Mekkah, kota kelahiran Rasulullah SAW. Namun demikian Isalm baru membangun dirinya sebagai sebuah peradaban yang lengkap adalah pada periode Madinah. Sebagai ibukota, Madinah berperan sebagai pusat peradaban baru yang didasarkan pada konsep ajaran Islam. Disinilah rasul SAW dan para sahabat membuktikan kepada manusia, bahwa Islam sebagai agama mampu dan berhasil menata kehidupan berbangsa dan bernegara atas dasar ajaran agama, dalam bentuk komunitas yang disebut ummah.
A. Periode Awal Perkembangan Islam
Periode ini meliputi masa kehidupan nabi Muhammad SAW dan masa pemerintahan Khulafa' al-Rasyidin. Periode awal perkembangan Islam ini dibedakan dari periode berikutnya dengan pertimbangan bahwa selama masa kekuasaan Nabi dan Khulafa' al-Rasyidin kekuasaan Islam masih berpusat di wilayah arab. Dan mengingat masa antara kehidupan Nabi dengan Khulafa' al-Rasyidin relative hanya sekitar 29 tahun (nabi wafat tahun 632 M. dan Ali RA.wafat tahun 661 M). jarak yang sesingkat itu diperkirakan kondisi semasa Nabi SAW. dengan para Khulafa'al-Rasyidin tidak jauh berbeda.
Pemikiran mengenai filsafat pendidikan pada periode awal ini merupakan perwujudan dari kandungan ayat-ayat al-Qur'an dan hadits yang keseluruhannya membentuk kerangka umum ideology Islam. Pada periode kehidupan Rasul SAW. ini tampaknya mulai terbentuk pemikiran pendidikan yang bersumber dari al-Qur'an dan hadits secara murni. Jadi hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan berbentuk pelaksanaan ajaran al-Qur'an yang diteladani oleh masyarakat dari sikap dan perilaku hidup Nabi.
Adapun filsafat pendidikan al-Qur'an itu sendiri menurut Muhammad fadhil al-Jamaly meliputi lima masalah utama. Pertama, tujuan pendidikan dalam al-Qur'an, kedua, pandangan al-Qur'an terhadap manusia, ketiga, padangan al-Qur'an terhadap pendidikan kemasyarakatan, keempat, pandangan al-Qur'an terhadap alam, dan kelima, pandangan al-Qur'an terhadap Khalik.[14] Dan tujuan utamanya adalah untuk membentuk sikap ketakwaan.
Pemikiran filsafat tentang pendidikan Islam pada periode awal ini terfokus pada upaya mengaplikasi nilai-nilai akhlaq mulia dalam kehidupan, dengan menjadikan perikehidupan Rasul sebagai rujukan teladan secara langsung. Dengan kata lain, orientasi pemikiran filsafat pendidikan Islam pada saat itu adalah bagaimana memenuhi tuntutan hidup dan perilaku yang Islami.
Di zaman pemerintahan Khulafa' al-Rasyidin, terutama semasa pemerintahan Umar bin Khattab, wilayah kekuasaan Islam sudah meluas keluar tanah Arab. Untuk itu diperlukan perangkat tertentu dalam pemerintahan seperti administrasi pemerintahan, system keuangan, dan hal-hal yang menyangkut hubungan antar wilayah dengan pusat pemerintahan. Tetapi sejauh yang dapat diketahui, perubahan-perubahan yang terjadi belum terlalu banyak, karena perluasan wilayah, sehingga masih terbatas pada kegiatan dakwah dan bukan dengan tujuan menjajah.
B. Periode Klasik
Periode Klasik mencakup rentang masa pasca pemerintahan Khulafa' al-Rasyidin hingga masa imperialis Barat. Rentang waktu tersebut meliputi awal kekuasaan Bani Umayah, kemunduran kekuasaan Islam secara politis hingga awal abad XIX. Walaupun pembagian ini bersifat tentative, namun terdapat beberapa pertimbangan yang dijadikan dasar pembagian itu. Pertama, sistem pemerintahan.. Seperti diketahui, sistem pemerintahan periode rasul dan para Khulafa'al-Rasyidin berbeda dengan sistem pemerintahan pada periode-periode sesudahnya. Memasuki era kekuasaan Bani Umayah, system pemerintahan Islam lebih bersifat monarki absolute. Pengangkatan khalifah sudah tidak didasarkan pada prinsip pemilihan dan penunjukan atas dasar baiat, melainkan didasarkan pada keturunan. Sistem khalifah berganti menjadi sistem kerajaan. Adanya perubahan dalam pemerintahan ini mempengaruhi pula berbagai perubahn yang menyangkut kepentingan kepemerintahan seperti kelembagaan, dan lain-lain. Faktor kedua, luas wilayah. Sejak periode pemerintahan Umar bin Khattab (634-644 M.), wilayah kekuasaan Islam sudah meluas keluar jazirah Arab hingga ke Mesir dan Irak. Tapi baru di zaman kekuasaan bani Umayah timur (660-749 M.), pusat pemerintahan dipindahkan ke Damaskus. Dan dalam kelanjutan dinasti ini, kemudian ketika menguasai Andalusia (755-1031 M.) dengan ibukotanya di Baghdad.[15]. Faktor ketiga, yaitu kemajuan yang dicapai dalam berbagai bidang seperti politik, pemerintahan, ilmu pengetahuan dan ekonomi yang memungkinkan negara-negara Islam untuk mengembangkan diri. Berbagai kelembagaan didirikan sejalan dengan kebutuhan dan tuntutan kemajuan yang dicapai. Dan kelembagaan itu sendiri pada dasarnya lahir dari hasil pemikiran para ahli di bidangnya, terutama yang berkaitan dengan pendidikan. Factor keempat, yaitu hubungan antar bangsa. Dizaman klasik ini, terutama melalui kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad, kerajaan Islam sudah menjadi negara adi kuasa.
Keempat faktor ini selanjutnya dijadikan kerangka acuan dalam pendekatan terhadap perkembangan pemikiran berkaitan dengan filsafat pendidikan Islam. Upaya untuk menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan dan filsafat tampaknya dipermudah oleh sejumlah faktor pendukung yang cukup potensial.
Pertama, secara politis terlihat kekuasaan Islam sedang berada dalam puncak kekuatannya. Kedua, wilayah koloni baru yang demikian luasnya memberi dukungan sumber dana yang besar. Ketiga, para penguasa umumnya memiliki minat terhadap keilmuan, sehingga kegiata-kegiatan kajian keilmuan secara tidak langsung terkait dengan kepentingan kerajaan. Keempat, tumbuhnya semacam kecenderungan baru dalam pemikiran rasional di kalangan ilmuwan muslim. Semangat ini yang mendorong para ilmuwan untuk mengkaji karya-karya asing yang bermanfaat.
- Ibn Qutaibah (213-276 H.)
Nama lengkap Ibn Qutaibah adalah Abu Muhammad Abdullah ibn Muslim Qutaibah al-Dainuri. Ia dilahirkan di Kufah tahun 213 H. dan meninggal dalam usia 63 (276 H.). walaupun sebagai keturunan Parsi, sebagian besar usianya dihabiskan di Baghdad. Di kota ini ia belajar berbagai disiplin ilmu dari sejumlah ulama terkemuka di zamannya. Ibn Qutaibah dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat produktif. Diantara karangannya adalah al-Ma'ani al-Kabirah, gharib al-Qur'an, al-Ma'arif, Imamah wa al-Siyasah dan 'Uyun al-Akhbar.
Menurut Dr. Abd Karim Usman, 'Uyun al-Akhbarmerupakan kaarya Ibn qutaibah yang terkenal. Dalam buku ini Ibn Qutaibah telah menulis mengenai akhlaq yang menyangkut akhlaq terpuji dan tercela bagi perempuan. Kemudian juga ia telah menyinggung uraian mengenai ilmu yang bermanfaat dan nilai-nilainya bagi mereka yang mengembangkan ilmu tersebut.[16]
Menyimak hasil karyanya, terlihat bahwa Ibn Qutaibah telah memikirkan masalah pendidikan perempuan. Ibn Qutaibah bisa dikatakan sebagai seorang pemikir pertama tentang perempuan pada periode klasik.
- Ibn Massarah (269-319 H.)
Muhammad Ibn Abdillah Ibn Massarah al-Jabali adalah seorang muslim Andalusia. Ia dilahirkan di Kordova pada tahun 269H/883M dan meninggal di tempat perkampungan (komunitas Sufi atau Zawiyah) dekat Cordova tahun 319 H/931 M.
Dalam pemikiran filsafatnya, Ibn Massarah juga menguraikan tentang sifat-sifat jiwa manusia. Ia berpendapat bahwa secara individual, jiwa manusia merupakan pancaran dari jiwa universal. Keberadaan jiwa dalam tubuh manusia dikiaskannya sebagai terkungkung dalam penjara. Karena itu untuk melepasakan diri dari kungkungan itu, manusia harus membersihkan dirinya secara spiritual, dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan.
3. Ibn Maskawaih (330-421 H.)
Abu 'Ali ibn Muhammad maskawaih dilahirkan di Ray tahun 330 H./ 940 M. Karya tulis ibn Maskawaih seluruhnya berjumlah 18 judul, dan kebanyakan berhubungan dengan masalah kejiwaan dan dan akhlaq. Salah satu karya ibn Maskawaih yang memuat pemikiran pendidikannya adalah termuat dalam bukunya Tahzib al-Akhlaq (Pendidikan Akhlaq).
Menurut pandangannya, manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataanya manusia memiliki daya pikir. Berdasarkan daya pikir itu pula manusia dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, serta yang baik dan yang buruk. Dan manusia yang paling sempurna kemanusiaanya adalah mereka yang paling benar cara berfikirnya serta yang paling mulia usaha dan perbuatannya. Selain itu ia berpendapat bahwa untuk mewujudkan kebaikan manusia harus membina kerjasama. Usaha untuk mewujudkan kebaikan merupakan indikator dari tingkat kesempurnaan dan penciptaan manusia itu sendiri.
4. Ibn Sina (370-428 H.)
Abu 'Ali al-Husein ibn Abdullah ibn Sina lahir di Bukhara tahun 370 H/980 M. ia dianggap orang yang sangat cerdas, karena dalam usia yang sangat muda (17 tahun) ibn Sina telah dikenal sebagai filosof dan dokter terkemuka di Bukhara. Diantara karya besarnya adalah al-Syifaa berupa ensiklopedi tentang fisika, matematika, logika dan matematika. Kemudian al-qanun al-Tibb adalah sebuah ensiklopedi kedokteran.
Adapun pemikiran ibn Sina yang banyak kaitannya dengan pendidikan dan menyangkut pemikirannya tentang filsafat ilmu. Menurut Ibn sina ilmu terbagi menjadi dua, yaitu ilmu yang tidak kekal dan ilmu yang kekal (hikmah). Ilmu yang kekal dipandang dari peranannya sebagai alat dapat disebut logika. Tapi berdasarkan tujuannya, maka ilmu dapat dibagi ilmu yang praktis dan ilmu teoritis. Ilmu toritis seperti ilmu kealaman, matematika, ilmu ketuhanan. Sedangkan ilmu yang praktis adalah ilmu akhlaq, ilmu pengurusan rumah tangga dan ilmu pengurusan kota.
Selanjutnya Ibn Sina berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan (sa'adah). Mula-mula kebahgiaan secara individu dan kebahgiaan ini akan tercapai jika individu itu memiliki kemuliaan akhlaq. Selanjutnya jika setiap individu yang menjadi anggota ruamh tangga memiliki akhlaq yang mulia, maka akan tecapai pula kebahagiaan rumah tangga. Jika masing-masing rumah tangga berpegang pada prinsip yang mulia, akan terciptalah kebahagiaan dalam masyarakat, kemudian kebahagiaan dikalangan manusia seluruhnya.[17]
5. Al-Ghazali (450-505 H)
Nama lengkapnya Abu hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Ia lahir pada tahun 450 H di Ghazaleh, Khurasan dan wafat di Tabristan pada tahun 505 H. menurutnya tujuan pendidikan adalah untuk mendekatka diri kepada Allah SWT., bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri kepada Allah, akan menimbulkan kedengkian dan permusuhan. Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan bahwa orang yang berakal sehat adalah orang yang dapat menggunakan dunia untuk tujuan akhirat, sehingga orang tersebut derajatnya lebih tinggi di sisi Allah dan lebih luas kebahagiaanya di akhirat.
C. Periode Modern
Merujuk kepada pembagian periodesasi sejarah Islam yang dikemukakan oleh Harun Nasution, bahwa periode modern dimulai sejak tahun 1800 M. Menjelang periode modern ini, setelah Bani Umayah dan Bani Abbasiyah secara politik dapat dilumpuhkan, kekuasaan Islam masih dapat dipertahankan. Tiga kerajaan besar yaitu Turki Utsmani (Eropa Timu dan Asia-Afrika), kerajaan Safawi (Persia) dan kerajaan Mongol (India) masih memegang hegemoni kekuasaan Islam. Namun menjelang abad ke-!7 dan awal abad ke-18 kerajaan-kerajaan Islam tersebut, satu persatu dapat dikuasai oleh bangsa-bangsa Eropa (Barat).
Pengaruh pembaratan yang berlangsung pada awal abad ke-18 mulai disadari oleh para intelektual di Negara-negara Islam menjelang akhir abad ke-19. Di bidang pendidikan, pengaruh pembaratan itu tampaknya telah meninggalkan bekas yang cukup mendalam di Negara-negara Islam. Sehingga ketika negara-negara Islam yang satu persatu terlepas dari kekuasaan colonial dan menjadi Negara yang berdaulat, masalah ini merupakan bagian yang paling banyak dijadikan pembicaraan, terutama di kalangan tokoh-tokoh pemikirnya.
1. Rifa'at Badawi Rafi' al-Thathawi (1801-1873 M)
Al-Thathawi seorang pemikir pendidikan Mesir, yang dilahirkan di kota Thahtha tahun 1801. Ia berhasil menamatkan sekolah di al-Azhar, kemudian ia melanjutkan belajar ke Perancis atas biaya Muhammad Ali yang menjadi Pasya di Mesir saat itu.
Adapun ide-ide dan pemikiran kependidikannya ia tulis dalam buku al-Mursyid al-Amin fi Tarbiyat al-Banin (pedoman tentang pendidikan anak). Didalam buku itu dapat dilihat tentang pemikiran al-Thahthawi. Ide-idenya mengenai pendidikan adalah:
1. Pembagian jenjang pendidikan atas tingkat permulaan, menengah dan pendidikan tinggi sebagai pendidikan akhir.
2. Pendidikan diperlukan, karena pendidikan merupakan salah satu jalan untuk mencapai kesejahteraan.
3. Pendidikan harus dilaksanakan dan diperuntukkan bagi segala golongan.[18]
2. Muhammad Abduh (1849- 1905 M)
Muhammad Abduh dilahirkan tahun 1849 M disalah satu desa di Delta mesir bagian hilir. Muhammad abduh sejak kecil sudah diketahui sebagai anak yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi.. di usaia anak-anak ia mampu menghafal al-Qur'an dalam waktu dua tahun.[19]
Menurut pandangan Abduh, Islam adalah agama yang rasional. Dengan membuka pintu ijtihad, maka kebangunan akal akan dapat ditingkatkan. Iapun berkesimpulan bahwa kekuatan akal menjadi dasar peradaban dari suatu bangsa. Meningkatkan penggunakan akal akan mendorong manusia mencapai kemajuan. Karena itu usaha yang paling tepat untuk memajukan umat Islam sebagai Negara yang terjajah adalah melalui pendidikan. Hanya dengan pendidikann itu pula umat Islam diperkirakan mampu mengejar kemajuan bersaing dengan bangsa-bangsa Barat.
Analisa
Dalam kehidupan umat Islam, pandangan filosofis yang sufistis dan pandangan filosofis yang rasional nampak berebutan pengaruh dan pendukung. Ternyata pandangan filosofis yang sufistis mendapatkan tempat dan dukungan dari umat Islam di bagian Timur, sedangkan pandangan filosofis yang rasionalistis berkembang dan mendapatkan dukungan pada umat Isalam mundur dari Erop[a, ternyata pandangan filosofis yang rasionalistis dikembangkan oleh dunia Barat, dalam arti bangsa Eropa Barat pada masa itu.
Terjadilah penjajahan Barat atas dunia Timur, yang berarti bahwa pandangan filosofis rasional yang pernah dikembangkan oleh umat Islam mengalahkan pandangan filosofis sufistis yang juga dikembangkan oleh umat Islam. Sehingga mengakibatkan kehidupan umat Islam tidak seimbang.
M.M. Sharif dalam Muslim Thought mengemukakan bahwa fikiran Islam menurun setelah abad XIII dan terus melemah sampai abad XVIII. Diantara sebab yang melemahkan fikiran di alam Islam adalah:
1. Filsafat Islam terlalu berlebihan dimasukkan oleh al-Ghazali dalam alam Islami di Timur dan terlalu berlebinya Ibn Rusyd memasukkan Islamnya ke Islam di Barat. Ghazali dengan filsafat Islamnya menuju kearah bidang ruhaniyah hungga menghilang kea lam tasawuf. Ibn Rusyd dengan filsafat Islamnya menuju kearah yang bertentangan dengan Ghazali. Maka Ibn Rusyd menuju kea rah materialisme. Ghazali mendapat sukses di Timur hingga pendapatnya merupakan satu aliran yang terpenting. Ibn Rusyd mendapat sukses di Barat hingga fikiran-fikirannya menjadi pemimpin yang penting bagi alam fikiran Barat.
2. Umat Islam, terutama para pemerintahnya (khalifah, sultan dan amir) melalaikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta tidak membri kesempatan berkembang
3. terjadi banyak pemberontakan yang dibarengi dengan serangan luar, sehingga menimbulkan kehancuran yang akibatnya berhentinya kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia Islam.
Pendidikan Islam seharusnya bertujuan mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui latihan semangat, intelek, rasional diri, perasaan dan kepekaan rasa tubuh. Karena itu pendidikan seharusnya memberikan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya secara spiritual, intelektual, imajinatif, fisikal, ilmiah, baik secara individual maupun secara kolektif disamping memotivasi semua aspek tersebut kea rah kebaikan dan kesempurnaan.
Dalam rumusan tersebut dapat dilihat bahwa pemikiran tentang pendidikan Islam semakin menunjukkan langkah maju. Paling tidak dapat dilihat dari munculnya kesadaran para tokoh pendidik dan ahli didik muslim untuk merancang konsep pendidikan Islam yang sama sekali baru. Kesadaran ini turut membangkitkan dunia Islam agar mampu menyajikan konsep pendidikan yang murni Islam. Seperti dikemukakan, perencanan pendidikan didasarkan pada klasifikasi pengetahuan dalam dua kategori:
a. Pengetahuan abadi yang berasal dari al-Qur'an dan al-Hadits yang berarti semua pengetahuan beroientasi pada syariah, yang berarti dan berkaitan dengan hal tersebut.
b. Pengetahuan yang dipelajari, yang rentan terhadap pertumbuhan kualitatif dan kuantitatif, begitu pula terhadap multiplikasi, variasi yang terbatas dan persilangan budaya selama tetap konsisten dengan syariah sebagai sumber nilai-nilai.
Memang pemikiran seperti ini telah pernah dikemukakan oleh tokoh-tokoh pendidik muslim di zaman klasik.Al-Gazali telah mengemukakan pemikiran tentang pembagian ilmu: ilmu abadi yang bersumber dari wahyu dan ilmu yang diperoleh dari usaha manusia, tetapi karena proses kehidupan umat manusia berjalan terus, maka pemikiran-pemikiran semakin berkembang.
Kesimpulan
- Secara harfiah filsafat berasal dari bahasa Yunani, Philos berarti cinta dan Sophos berarti ilmu. Jadi filsafat artinya cinta kepada ilmu. Banyak sekali ahli yang mengartikan filsafat, yang pada intinya bersumber kepadaan kecintaan terhadap ilmu atau hikmah.
- Menurut al-Syaibany kegunaan filsafat pendidikan Islam adalah menolong memberikan pendalaman bagi fakto-faktor spiritual, kebudayaan, social, ekonomi dan politik
- Muzayyin Arifin mengungkapkan ada tiga dimensi tugas dari filsafat pendidikan Islam:
a. Memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanaan pendidikan berdasarkan ajaran Islam.
b. Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan tersebut.
c. Melakukan evaluasi terhadap metode dan proses pendidikan tersebut.
- Perkembangan filsafat pendidikan Islam meliputi periode awal perkembangan Islam, periode klasik dan periode modern
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, 1981, Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat, Pustaka al-Husna, Jakarta
Ahmad Tafsir, 1994, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Remaja Rosda Karya, Bandung.
Ahmad D. Marimba, 1962, Pengantar Filsafat Pendidikan, al-Ma'arif, Bandung
Harun Nastion, 1992, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jembatan, Jakarta
Louis O Kattsof, 1989, Pengantar Filsafat, bayu Indra Grafika, Yogyakarta
Jalaluddin dan Usman said, 1994, Filsafat Pendidikan Islam, Raja Grafindo, Jakarta
Muhammad fadhil al-jamaly, 1981, Filsafat Pendidikan dalam al-Qur'an, Pepara, Jakarta
Muzayyin arifin, 1984, Filsafat Pendidikan Islam, Bina Aksara, Jakarta
Rupert C. Lodge, 1974, Philosophy of Education, Harer & Brothers, New York
Salih Abdullah Saalih, 1991,Landasan dan tujuan pendidikan menurut al-Qur'an, Diponegoro, Bandung
[1] Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat (terjemah Soejono Soemargono dari Element of Philosophy), Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1989 cet. Ke-6, h. 11. Lihat pula Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, cet. ke-4, h. 1.
[2] Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (terjemahan Hasan Langgulung dari Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah), Jakarta: Bulan Bintang, 1979, cet. ke-1, h. 25.
[3] Poerwanto dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991, cet. ke-2, h.1.
[4] A. Hanafi, Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1981, cet. ke-1, h.9.
[5] Sidi gazalba, Sistematika Filsafat, jilid I, Jakarta: Bulan Bintang, 1967, cet. ke-2, h.15.
[6] Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung:Remaja Rosda Karya, 1994, cet. ke-2, h. 14-15. Dalam hubungan ini, Ahmad Tafsir menyebutkan adanya tiga pengetahuan manusia, yaitu sains, filsafat dan mistik. Ketiga macam pengetahuan ini mempunyai obyek, cara memperoleh, potensi yang digunakan dan ukuran kebenaran yang berbeda. Menurutnya, ilmu (sains) adalah sejenis pengetahuan yang diperoleh dengan riset terhadap obyek-obyek yang empiris, benar tidaknya suatu teori sains (ilmu) ditentukan oleh logis tidaknya dan ada tidaknya bukti empiric. Bila teori itu logis dan ada bukti empirik, maka teori sains itu benar. Bila hanya logis saja, ia adalah pengetahuan filsafat. Bila tidak logis, tetapi ada bukti empirik, itu namanya hayal. Lebih lanjut, filsafat adalh sejenis pengetahuan manusia yang logis saja tentang obyek-obyek yang abstrak. Bisa saja obyek penelitiannya konkret, tetapi yang ingin diketahui adalah bagiannya yang abstrak.
[7] Lihat Abdurrahman Salih Abdullah Salih,Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut al-Qur'an, (terjemahan Mutamma dari Islamic Education: Qur'anic Outlook), Bandung:Diponegoro, 1991, h.6.
[9] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1984, cet. ke-4, h.xi.
[10]Al-Syaibany,Loc.Cit.h.30.
[11] Al-Syaibany, Op.Cit., h.33.
[14] Muhammad Fadhil al-Jamaly, Filsafat Pendidikan dalam al-Qu'an, terjemah oleh Zainul Abidin Ahmad, Jakarta: Pepara, 1981, h.21.
[15] Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, h. 995.
[17] Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1994, h. 136.
0 komentar:
Posting Komentar