Pages

Minggu, September 25

Tulisan Pertama Dengan Publikasi

Malem ini ane nyoba posting sebuah tulisan karya ane sendiri gan. Sebuah tulisan semi ilmiah yang ane tulis waktu ane masih duduk di bangku kuliah semester 4 atau 5, lupa ane. Tulisan ini dapet setelah searching and ternyata dapet di blog pribadi temen seperjuangan ane. Ceritanya ini tulisan merupakan tulisan pertama ane yang di publikasiin. Emang bukan via surat kabar atau media elektronik. Namun tulisan ini di kemas dalam bentuk selebaran yang di copy kalo ngga salah sebanyak 1000 lembar dan kita bagi-bagiin di seputar jalan Jendral Soedirman kota Palembang dalam rangka kegiatan organisasi ane yaitu kegiatan sosialisasi PILPRES 2009. Tak usah panjang lebar, berikut tulisan pertama ane yang di publikasikan. Kalo rada ngawur dan masih blepotan, maafkanlah. Karena itu tulisan anak semester 4. Hehehee... CEKIDOT


PEMILU SEBAGAI HAK KONSTITUSIONAL RAKYAT DAN PENENTU KEMENANGAN (PILPRES)
Ka. Biro Litbang DPC PERMAHI Palembang
Bhimo Ariwibowo

Pada saat memasuki tahun 2009, Indonesia seakan memasuki tahun demokrasi, karena pada tahun ini masyarakat Indonesia akan menentukan masa depan bangsa ini untuk 5 tahun ke depan. Tahun 2009 merupakan tahun dimana kita akan menentukan wakil kita untuk duduk di Parlemen lewat Pemilu Legistatif serta kita akan menentukan Pemimpin bangsa kita ini lewat Pemilu Presiden (Pilpres). Pasca reformasi 1998 dengan runtuhnya rezim Orde Baru yang dikomandani oleh Presiden Soeharto, Pemilihan Presiden dilakukan secara langsung dimana rakyat Indonesia yang memiliki hak untuk memilih Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden untuk memimpin Negara ini dalam jangka waktu 5 tahun kedepan. Hak pilih yang dimiliki oleh rakyat merupakan hak konstitusional yang tercantum di dalam UUD 1945 pasal 6A. Proses untuk melakukan transisi dari pemilihan presiden yang dilakukan oleh MPR menjadi pemilihan langsung oleh rakyat bukanlah perkara yang mudah karena untuk menjadikan sebagai hak konstitusional butuh waktu sampai 3 kali amandemen UUD 1945. Baru pada tahun 2001 lewat amandemen ketiga UUD 1945, hak rakyat untuk memilih presiden dan wakil presiden dijadikan sebagai hak konstitusional.
Kurang dari 1 bulan lagi rakyat akan menentukan pilihannya untuk memilih presiden dan wakil presidennya lewat PILPRES 2009. Dengan waktu yang kurang dari 1 bulan ini masyarakat seakan harus mulai meneguhkan hatinya untuk memilih pilihannya sesuai dengan keinginannya. Implikasi dari kian dekatnya waktu Pilpres ini, partai politik atau gabungan partai politik kian gencar pula untuk melakukan maneuver-manuver lewat masa kampanye agar dapat menarik hati pemilih untuk memilih jargon yang mereka usung.
Dalam proses demokrasi ini ada suatu fenomena menarik yaitu masalah koalisi partai politik. Koalisi partai politik ialah suatu upaya penggabungan kekuatan politik untuk mencapai tujuan bersama partai tersebut. Koalisi ini bahkan menjadi bincang yang hangat ditengah lapisan-lapisan masyarakat. Masyarakat pun seakan menerka-nerka partai mana saja yang akan berkoalisi. Bahkan fenomena ini menjadi berita yang sangat hangat beberapa bulan yang lalu terutama di media masa. Bahkan beberapa media masa tak segan menjadikan berita atau informasi koalisi partai untuk menjadi headline di media masa mereka. Fenomena koalisi makin gencar pasca pencoblosan pada pemilu legislatif pada 9 april yang lalu. Lahir dan munculnya beberapa lembaga survei menjadi salah satu factor dalam fenomena ini. Walaupun hasil resmi dari KPU tetang hasil pemilu legislatif 2009 belum diumumkan secara resmi, beberapa lembaga survei telah memberikan persentase hasil pemilu itu kepada public. Menurut hemat saya, ada suatu kecendrungan bahwa beberapa partai politik mulai gencar untuk melakukan koalisi pasca pencoblosan pemilu legislative dan pasca pengumuman persentase hasil pemilu walaupun itu belumlah hasil final.
Telah dibicarakan diatas bahwa dalam konteks pilpres ini tujuan dari sebuah koalisi adalah untuk menyandingakan tokoh bangsa untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden ataupun untuk menambah dan menggabungkan kekuatan dari beberapa partai tersebut. Koalisi Partai ini adalah hal yang sah-sah saja untuk dilakukan. Mungkin beberapa masyarakat dapat meyakini bahwa kemenangan suatu calon presiden dan calon wakil presiden merupakan hasil dari suatu koalisi partai. Tapi perlu dipahami secara mendalam bahwa siapa yang bakal menjadi pemenang dari pilpres nanti secara hakikinya ialah hasil dari pilihan rakyat walaupun tidak mengenyampingkan factor koalisi. Kalau pun koalisi partai yang mengusung sang pemenang dalam pilpres nanti bakal mengklaim bahwa itu hasil dari koalisi itu sah-sah saja.
Dalam pilpres 2004 yang merupakan pilpres pertama dengan system pemilihan langsung oleh rakyat, muncul suatu fenomena koalisi pada zaman itu. Pada saat itu pilpres di ikuti oleh lima pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Pada putaran pertama terpilihlah dua pasangan calon yaitu Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) dan Megawati Soekarno Putri-Hasyim Muzadi (Mega-Hasyim) sebagai pasangan yang berhak melaju dalam pilpres putaran kedua. Pilpres putaran kedua dilakukan karena tidak satu orang calon pun yang mampu suara mutlak yaitu 50% dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Sebelum dilakukan pilpres tahap kedua dilangsungkan, terjadi suatu gebrakan politik yaitu lahirnya koalisi besar untuk mengusung pasangan Mega-Hasyim untuk menjadi Pemeneng pada waktu itu. Koalisi itu bernama koalisi kebangsaan yang berisi partai Golkar, PDIP dan beberapa partai lainnya. Perlu diketahui bersama bahwa pada pemilu legislative 2004, Golkar dan PDIP menduduki peringkat pertama dan kedua dalam hasil pemilu tersebut. Jadi secara kasap mata sebagian masyarakat seakan memprediksi bahwa pasangan Mega-Hasyim mampu menjadi pemenang pada saat itu. Apalagi pada waktu itu Mega merupakan Calon Presiden Incumbent ditambah sokongan dari duet maut Golkar dan PDIP. Golkar dan PDIP pun telah memiliki beberapa kantong suara tetap yang tersebar di beberapa provinsi besar ataupun provinsi kecil. Hal ini seakan jadi pemulus langkah Mega-Hasyim untuk meraih jabatan tertinggi dalam eksekutif untuk masa jabatan 2004-2009. Tetapi justru pasangan SBY-JK lah yang keluar menjadi pemenang pada saat itu. SBY-JK pada saat itu di usung oleh Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan partai-partai lainnya. Secara hitungan matematik kekuatan Koalisi Kebangsaan setidaknya mampu memenangkan Pilpres tersebut. Apalagi koalisi tandingan dari pasangan SBY-JK notabebe merupakan partai baru yang belum memiliki kantong suara sebanyak yang dimiliki oleh koalisi kebangsaan. Tapi itulah politik. Ada sebuah ungkapan, bahwa politik bukanlah matematik yang mampu ditebak hasilnya karena politik bukanlah ilmu eksak.
Itu tadi adalah contoh fakta bahwa suatu koalisi partai bukanlah jaminan suatu kemenangan dalam pemilu ataupun pilpres, walaupun koalisi itu notabene merupakan koalisi partai besar yang memiliki kekuatan dan kantong suara yang besar di beberapa provinsi. Karena kedaulatan rakyat adalah hal yang paling hakiki dalam menentukan hasil pemilu nanti. Kedaulatan rakyat itu berupa hak pilih rakyat yang diperoleh dari hak konstitusional dalam UUD 1945. Rakyat lah yang bakal menentukan pemenangnya bukanlah koalisi partai. Tetapi sah-sah saja bagi orang yang meyakini bahwa koalisi partai merupakan factor utama pemenangan pemilu atau pilpres.
Gunakanlah hak pilih anda secara baik dengan memilih calon presiden dan calon wakil presiden yang anda anggap cocok untuk memimpin bangsa ini. Pilihlah orang yang mampu menunjukan bukti bukan hanya janji. Karena pilihan anda bakal menentukan nasib dan kelangsungan bangsa kita dalam waktu 5 tahun kedepan. Marilah kita gunakan hak pilih kita secara benar dan marilah kita secara bersama berperan dalam proses demokrasi kita. Kami berharap agar pilpres ini dapat berlangsung secara lancar dan damai, cukup lah kejadian di Iran beberapa saat yang lalu. Lahirkan sikap legowountuk menerima kekalahan walaupun pilihan anda kalah dalam pilpres nanti. Karena amatlah disayangkan kalau pilpres ini akan melehirkan suatu keributan bahkan bentrokan akibat sikap kita yang tidak menerima hasil pilpres nanti. Mari jadikan pilpres sebagai media pemersatu bangsa dan sebagai sarana pendidikan politik warga Negara.



0 komentar: