Pages

Minggu, April 22

Konsep Moralitas Sosial Emile Durkheim

BAB I
PENDAHULUAN 

A.Latar Belakang Masalah.
Manusia pada eksistensinya di dunia, sebagai khalifah untuk menjaga, memelihara dan mengelola alam beserta isinya, utamanya manusia dengan manusia lainnya. Hal inilah manusia diberikan akal budi untuk berpikir mencari kepuasan dari perbuatannya atau mencari mana yang baik dan buruk dan sekaligus menunjukkan bahwa manusia sangat erat hubungannya dengan moralitas.
Dari awal sampai sekarang dalam perkembangan ke-hidupan bumi, manusia telah banyak mengalami per-kembangan, evolusi pemikiran dan perubahan tatanan  kehidupan, sehingga timbul berbagai pergolakan baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, utamanya integrasi manusia dengan sesamanya.  Hal ini perlu dicermati dan dikaji, persoalan yang satu (individu) membantai yang lainnya, atau sebaliknya sekelompok gerakan (kolektif) membantai kelompok yang lainnya, hal ini menjadi pergolakan egoistis, yang tidak melihat kebenaran, pentingnya solidaritas dalam kehidupan, keselarasan diantara keduanya termasuk keselarasan  seluruh umat manusia.
Pada prinsipnya, manusia dalam perbuatan dan kehendaknya mengarah pada suatu titik (tujuan) yang tinggi (esensi), Aristoteles menandaskan bahwa perbuatan manusia bagaimanapun mengejar sesuatu yang baik. Baik adalah sesuatu yang menjadi arah semua hal, sesuatu yang dikejar atau dituju, dan tujuan adalah sesuatu yang untuknya sesuatu itu dikerjakan.[1]
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa ketergantungan dengan orang lain, hidup berbagai rahasia yang banyak ragam dan misteri, maka manusia perlu persatuan dan saling tolong menolong. Gabriel Marcel (1889-1973), menjelaskan dan keterikatan antara sesama manusia adalah:
“Aku hanya mungkin mencapai kesempurnaan, kalau ia mengarahkan dirinya kepada orang lain, sehingga tanpa menghayati itu hidupnya mustahil memadai bagi panggilannya yang paling inti. Aku dan Engkau saling menghidupi, sehingga pada hakikatnya mereka tidak dapat dicairkan satu dari yang lain. Mereka dapat memberi wujud kongkrit kepada saling terjalinan mereka dan kesetiaan dan cinta. Menurut Marcel, kesatuan antara Aku dan Engkau dapat menghasilkan kepenuhan hidup sebagai manusia yang merupakan penyinaran intinya yang paling dalam, yang pada gilirannya memantulkan keterjalinan Akudan Engkau yaitu Allah ”.[2]
 Manusia (individual) hidup berkumpul dalam lingkungan masyarakat (kolektif), yang dalam sejarah dikatakan bahwa mulai dari zaman Yunani Kuno (dimana masa ini persoalan kemasyarakatan sudah menjadi perhatian, namun belum menjadi pusat perhatian sepenuhnya),[3] sampai sekarang abad moderen, persoalan kemasyarakatan menjadi ciri khas para filusuf, utamanya persoalan moralitas yang menjadi bagian dari persoalan etika sebagai bagian yang sangat penting, mengingat kehidupan masyarakat yang serba pluralistik, membutuhkan perhatian yang serius dan perlu penyelesaian.
Demikian halnya di Perancis, persoalan-persoalan sosial bergejolak. Bahkan perubahan-perubahan sosial[4]   menjadi bahan pikiran. Maka persoalan–persoalan yang timbul dan solusi yang diberikannya tidak dapat mengatasinya.
Revolusi Perancis dicanangkan untuk mengubah tatanan sosial yang terjadi pada abad ke-17 dan 18, mulai dari faham Feodalisme diterapkan, sehingga masyarakat buruh dan tani menjadi kaum yang tidak dapat menikmati kehidupan bebas, demikian lagi sistem pemerintahan yang menganut Absolutisme menjadi pedoman raja-raja, persoalan perbedaan kelas yaitu, atas, menengah dan bawah tidak henti-hentinya menjadi pertentangan. Maka lahirlah perlawanan-perlawanan yang mengakibatkan peperangan dan saling menumpahkan darah. Tapi gerakan revolusi tidak dapat dikuasai lagi dan tidak dapat merubah tatanan sosial, sampai pada tahun 1792 di Perancis “Republik” di Proklamasikan dan tahun 1799 Napoleon melakukan gerakan perebutan kekuasaan sebagai orang yang sukses untuk Republik dan menobatkan dirinya sebagai kaisar pada tahun 1807, hingga abad ke-19 sistem Liberlisme dan sosialisme menjadi faham masyarakat Eropa menuju masyarakat yang demokratis moderen.[5]
Emile Durkheim merupakan salah seorang dari tiga tokoh yang dikenal sebagai pendiri dan peletak dasar sosiologi bersama Karl Marx dan Max Weber dalam berbagai penelitian aspek-aspek sosial. Namun tidak perlu disangkal, dalam konseptual pemikirannya tidak banyak persamaan, bahkan Durkheim banyak menentang sosialisme yang “Revolusioner” dari Marx
Karl Marx menempatkan kerja dalam konteks keseluruhan hidup manusia, sehingga ia berpendapat bahwa pada hakikatnya manusia adalah “pekerja”, mengingat bahwa pada dasarnya segala-galanya berakar pada materi, jadi kerja tidak hanya merupakan inti dari individual, tetapi menerangkan dia dengan kolektifitas besar yaitu umat manusia beserta sejarahnya.[6]  Atau dengan kata lain, Marx cenderung melihat masyarakat sebagai wahana dan sekaligus mekanisme penyangga dari berbagai konflik.
Durkheim sangsi akan teori Marx di atas (revolusioner) sebagai cara pemecahan yang tepat dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang bergejolak. Menurutnya masyarakat memerlukan peneguhan dasar “moralitas” yang baru,[7] Konsensus yang dimaksud adalah “persepakatan” atau kesepakatankehendak antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu tindakan tertentu.
Demikian halnya dalam persoalan “perilaku sosial” Max Weber memandang lain dari Durkheim, bagi Weber adalah:

“Prilaku sosial bukanlah struktur-struktur sosial yang pertama-tama menghubungkan orang atau menentukan isi corak kelakuan mereka, melainkan arti-arti yang dikenakan orang-orang kepada kelakuan mereka.”[8]
Durkheim dengan sosialismenya dalam sosiologi moderen, menjelaskan pola-pola interaksi sosial antara seseorang dengan yang lain, melainkan berdasar pada tugas-tugas, kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang dikenakan oleh kolektifitas yang berlaku pada anggotanya (individu).
Dari berbagai paparan singkat di atas, nampak kepada kita, akan perjuangan Durkheim dalam merintismoralitas, khususnya di Perancis sebagai bagian Eropa yang mengalami situasi transpormasi sosial yang juga dialaminya pada masa itu.
Dalam konsep pemikiran Durkheim ada hal yang unik untuk dicermati, persoalan-persoalan ketimpangan sosial memerlukan moralitas, yang arah pemikirannya yaitu dengan jalan Positivisme yang murni, Ilmiah Rasionalis dan Sekuler, sehingga memandang tentang “Ilmu Moralitas” sebagai:
“Ketentuan moral dan hukum, pada dasarnya me-mantulkan keperluan sosial yang hanya bisa di-masukkan oleh masyarakat itu sendiri-sesuatu yang berdasarkan pada pandangan “kolektif”, maka bukanlah tugas kita untuk mendapatkan (ketentuan) etik dari ilmu pengetahuan, melainkan membentuk suatu ilmu tentang etika”.[9] 
Demikian pula moralitas baginya, bukanlah saja sesuatu yang deduktif, melainkan sesuatu yang berangkat dari kenyataan empiris dan ilmiah serta bercorak pasca pengalaman. 
Dengan gagasan filosofisnya ini, Ia nampak sebagai seorang yang konservatif, yang ingin ketentuan sosial berdasarkan ketentuan kolektif (kesadaran), dan tidak ingin kembali pada ketentuan sosial yan lama dan juga sebagai orang yang progresif yang mencari dasar baru dari solidaritas sosial.
Persoalan moral dalam Islam, yang lebih dikenal dengan istilah “akhlak”, dalam hal ini menganut suatu tata aturan (ajaran moral) tersendiri (moral keagamaan Islam), yang dengan pasti tidak akan lepas dari pedoman ajarannya yaitu Alqur’an dan Hadis, karena diyakini bahwa Alqur’an diturunkan kepada Nabi pilihan Tuhan Yang Maha Muliah, untuk memberikan petunjuk kehidupan bumi, termasuk persoalan prilaku kehidupan manusia (sosial), sebagaimana dalam sabdanya:
  حد ثنى عن مالك ؛ إنه بلغه إن رسول الله صل الله عليه وسلم قال: بعثت لأتمم حسن الأخلاق[10]
Artinya:
            “Telah sampai kepadaku kabar; “Bahwa sesungguhnya Rasullah saw. menyampaikan: Bahwa diutusnya beliau untuk menyempurnakan akhlak yang muliah”.
Secara teoritis dan konseptual, umat Islam yakin akan eksistensinya itu, sebagai rambu, jalur yang menuju pada hakikat manusia, yang namun tidak perlu dipungkiri dalam ajaran ini, wahyu, akaliah dan kekuatannya tetap diakui eksisitensinya serta kapasitasnya dalam melihat fakta realitas yang bergejolak sebagai fenomena kehidupan yang dinamis dialam semesta.                                                           

B. Rumusan dan Batasan Masalah.
Berdasarkan latar belakang yang telah di-kemukakan, lahirlah suatu permasalahan, yang penulis mencoba mengemukakan rumusan permasalahan yang selanjut-nya akan dibahas dalam skripsi ini, sebagai berikut:
1.Bagaimana corak moralitas sosial yang ditawarkan Emile Durkheim?
2.Bagaimana pandangan etika Islam tentang moralitas Durkheim?
  
C. Hipotesis.
Dari rumusan masalah tersebut di atas, maka penulis mencoba memberikan jawaban sementara, sebagai berikut:
1. Moralitas sosial yang ditawarkan oleh Durkheim adalah suatu moral yang bersifat atau bercorak positivisme, rasionalis dan sekularis dan objektif dalam melihat sesuatu, dimana ketentuan moral lahir dari konsensus secara kolektif. Sehingga moralitas sosial bukan hanya sebagai “kewajiban” (ketentuan), melainkan kebaikan ketika manusia telah dihadapkan pada realitas sosial, serta “ketentuan-ketentuan” itu berada diluar diri “sipelaku”, sehingga misalnya sesuatu yang salah tidak harus menderita, sehingga ia sadar dan menghayati aturan-aturan moral dari sudut kemasyarakatan.
2. Islam memiliki konsep etika yang lebih dikenal dengan istilah ahklak, dalam mengarungi berbagai fenomena dan keaneka ragaman realitas, untuk mengatur integritas sesama manusia, etika Islam yang berakar pada ketentuan ilahiah dalam Alqur’an dan Hadis Rasulullah saw., yang menjadi pedoman pokok umat Islam dalam prilaku kehidupannya. Etika Islam mengakui moralitas bukan hanya menyangkut persoalan baik dan buruk, tetapi sesuatu yang terkait dari keseluruhan komponen dalam dunia, namun berbeda karena Durkheim yang sekularis, sedangkan etika Islam mengakui dua kekuatan yang ada dalam diri manusia, demikian pula etika islam memiliki konsep moral tersendiri yang termuat dalam “wahyu” dan “hadis” yang meliputi segala zaman manusia (pra, sedang berlangsung dan pasca pengalaman) tercantum dan tersirat di dalamnya.

D. Pengertiaan Judul.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai judul skripsi ini, maka perlu diberikan kata yang dianggap kurang jelas, untuk memberikan batasan pemikiran agar tidak menyulitkan dalam pembahasan. Judul skripsi ini adalah suatu upaya untuk menyelidiki dan mempelajari bagaimana konsep moralitas sosial Emile Durkheim, maka penulis menganggap perlu memberikan pengertian, sebagai berikut:
1. Moralitas; pola-pola, kaidah tingka laku, budi bahasa yang dipandang baik dan luhur dalam suatu masyarakat tertentu.[11] Moralitas adalah kualitas perbuatan manusia yang dengan itu ia berkata bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruknya perbuatan manusia.[12]  Keseluruhan norma-norma, nilai-nilai dan sikap moral seseorang atau sebuah masyarakat.[13]  Dan kerangka yang rasional, tidak memihak, bebas dan objektif.[14]
2. Sosial; Perkenaan dengan masyarakat, perlu adanya komunikasi, suka memperatikan kepentingan umum.[15]
3. Studi; kajian, telaah, penelitian, penyelidikan ilmiah.[16]
4. Analisis; Penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya atau menguraikan suatu pokok atas bagiannya atau penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman dari arti keseluruhan.[17]
5. Filsafat; pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi tentang hakikat segala yang ada, sebab, asal dan teori-teori yang mendasari alam pikiran secara mendalam.[18] Dan filsafat atau pemikiran kritis normatif tentang moralitas.[19]
6. Akhlak; Hal-hal berkaitan dengan sikap, prilaku dan sifat-sifat manusia dalam berinteraksi dengan dirinya, sasarannya, makhluk-makhluk lain dan dengan Tuhan, atau berarti tabiat, perangai dan adat kebiasaan.[20]
7.Emile Durkheim; sosiolog Perancis, lahir di Epinal tahun 1858-1917, beliau mengajar sosiologi di Universitas Bordeaux dan Sarbonne. Beliau menentang para ahli sosiologi tahun 1980-an yang menganggap individu sebagai dasar terbentuknya tatanan sosial.[21]
Dari pengertian kata judul di atas, dapat diberikan kesimpulan adalah suatu penelitian ilmiah mengenai kerangka pemikiran Emile Durkheim tentang moralitas yang ingin memperbaiki tatanan kehidupan, kemudian akan dikaji lebih lanjut dalam sudut pandang Filsafat Akhlak.

 E. Tinjauan Pustaka.
Dalam tinjauan pustaka ini, penulis perlu memberikan sedikit gambaran tentang relevansi antara masalah pokok yang akan dikaji dengan sejumlah teori dalam berbagai referensi yang penulis gunakan.
Setelah penulis menelitih secara saksama tentang masalah yang akan dibahas dalam judul skripsi ini, maka penulis berkesimpulan bahwa judul ini telah ada yang membahasnya dalam judul “Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas” karangan Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, namun berbeda dengan sudut tinjauan (analisis) yang penulis kaji, dan sangat menarik untuk dikaji.
Adapun rujukan literatur yang penulis gunakan adalah literatur yang termuat dalam berbagai buku hasil terjemahan kedalam bahasa Indonesia, diantaranya sebagai berikut:
“Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas” karangan Taufik Abdullah dan A.C. Van der Leeden yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, yang didalamnya termuat ulasan-ulasan mengenai pemikiran Durkheim dalam hal moralitas, selanjutnya buku “Realitas Sosial” Refleksi Filsafat atas Hubungan Individu – Masyarakat dalam Cakrawala Sosiologi, karangan KJ. Veeger yang diterbitkan oleh Gramedia, yang memuat pembahasan metodologi dan kasus-kasus prilaku individu dalam masyarakat, kemudian buku “Tata, Perubahas dan Ke-timpangan” Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, karangan L. Laeyendecker diterbitkan oleh Gramedia, yang didalamnya memuat tentang moral dan bentuk-bentuknya, metodologi dan prilaku individu dalam masyarakat, selanjutnya buku “Pendidikan Moral; Suatu Study Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan” Karangan Emile Durkheim yang dialih bahasakan oleh Drs. Lukas Ginting dari judul “Moral Education” yang di dalamnya memuat masalah pemikiran Durkheim mengenai Moral yang diajarkan di Sarbonne, penerbit Erlangga pada tahun 1990, kemudian buku “Emile Durkheim Aturan-aturan Metode Sosiologis” karangan Prof. DR. Soerjono Soekanto S.H, M.A, diterbitkan oleh Rajawali Perss tahun 1985, yang memuat tentang metode sosiologinya, serta berbagai literatur yang banyak menjadi kutipan dan  berkaitan dengan judul pembahasan ini, semoga kita semua memperoleh tambahan wawasan intelektual dan kritis dalam melihat realitas dengan positif  dari karya tulis ilmiah ini.

F. Metode Penelitian.
Dalam penulisan karya tulis ilmiah, diperlukan suatu metode sebagai petunjuk jalan penelitian yang sisitimatis dan dapat dipertanggung jawabkan. Maka penulis dalam penulisan ini, menggunakan beberapa metode, yakni sebagai berikut:
1.Metode Pengumpulan Data.
Dalam penulisan skripsi ini, data diperoleh secara keseluruhan adalah data yang dihimpun dari data kepustakaan, baik secara pribadi maupun yang bersifat umum, maka penulis menggunakan metode penelitian pustaka atau Library Research yakni dengan jalan membaca atau mengutip berbagai buku literatur yang ada kaitanya dengan objek yang dibahas pada skripsi ini.

 2.Metode Pendekatan.
a.Pendekatan Sosiologis yaitu membahas suatu permasalahan berdasarkan pada studi mengenai hubungan       kelompok  manusia dengan melihat bahwa hukum kemajuan adalah tindakan kehidupannya.[22]
b.Pendekatan Historis yaitu membahas suatu permasalahan berdasarkan data masa lalu (sejarah) atau yang berlangsung pada masa lalu yang merupakan rangkaian peristiwa masa sekarang maupun tidak.
c.Pendekatan Filosofis yaitu membahas suatu permasalahan dengan jalan melakukan perenungan yang mendalam, rasional, terarah, untuk mencapai atau sampai pada hakikat sesuatu, baik yang menyentuh sesuatu yang ada sekarang maupun yang mungkin ada.[23]
2.Metode Pengolahan Data.
Dalam metode ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
a. Metode Induktif yaitu suatu metode yang penulis gunakan dengan jalan meninjau beberapa hal yang bersifat khusus kemudian diterapkan atau dialihkan kepada sesuatu yang bersifat umum.
b. Metode Deduktif yaitu suatu metode yang penulis gunakan dengan jalan meninjau beberapa hal yang bersifat umum, kemudian diterapkan kepada yang bersifat khusus atau kebalikan dari Induktif.[24]
c. Metode Komperatif yaitu suatu metode yang penulis gunakan dengan menggunakan atau melihat beberapa pendapat kemudian membandingkan dan mengambil yang kuat atau dengan jalan mengkompromikan beberapa pendapat tersebut.
  
G. Tujuan dan Kegunaan.
Adapun maksud dan dan tujuan yang hendak dicapai   dalam penulisan dan penelitian terhadap suatu masalah yang sedang dikaji adalah sebagai berikut:
1. Menguji kebenaran suatu teori moralitas sebagai Ide yang ditawarkan oleh Durkheim di Prancis untuk mengubah tatanan yang dianggap ambruk pada masa itu.
2. Mencoba mengangkat permasalahan moralitas, yang penulis anggap relevansi dengan kondisi Indonesia, terutama perubahan tatanan sosial yang mengalami transpormasi.
3. Mengkaji teori moralitas Durkheim, dimana beliau dikenal sebagai peletak dasar dan pejuang untuk memperbaiki masyarakat, yang sampai sekarang dikenang oleh masyarakat Prancis.
Adapun kegunaan penelitian skripsi ini yang dimaksud adalah sebagai berikut;
1.Kegunaan ilmiah yang berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu keislaman pada khususnya.
2.Kegunaan praktis yang berkaitan dengan pembangunan masyarakat dengan jalan memberikan tambahan wawasan dan loncatan berpikir demi terwujudnya pembangunan bangsa, negara dan agama.

H. Garis-garis Besar Isi Skripsi.
Skripsi ini terdiri dari lima Bab, mengawali pembahasan dalam tulisan ini, dikemukakan Bab I sebagai Bab pendahuluan yang memuat; tentang latar belakang sebagai gambaran tentang permasalahan yang dibahas, dari situlah timbul beberapa permasalahan atau rumusan masalah yang menjadi kajian pokok isi skripsi, yang dilanjutkan dengan hipotesa sebagai jawaban sementara dari permasalahan yang ada, kemudian dilanjutkan dengan pengertian judul sebagai gambaran untuk menghindari terjadinya interpretasi yang luas dalam judul skripsi ini, kemudian mengetengahkan metode penelitian dan tujuan dan kegunaan  penelitian serta diakhiri dengan garis-garis besar isi skripsi.
Pada Bab II, dikemukakan tentang biografi Emile Durkheim yang memuat; latar belakang kehidupannya, karya-karyanya, dan metodologi pemikiran sosiologinya.
Pada Bab III, sebagai pembahasan inti skripsi ini, yang mengemukakan tentang corak moralitas sosial Emile Durkheim yang memuat; pengertian moralitas, dilanjutkan dengan unsur-unsur moralitas dan beberapa persoalan prilaku moralitas sosial yang dianggap suatu permasalahan yang banyak terjadi pada masanya (lingkungannya).
Pada Bab IV, sebagai Bab pembahasan tentang tanggapan etika Islam (akhlak) mengenai pemikiran Durkheim yang meliputi; persoalan manusia dan moralitas perbuatannya, dilanjutkan dengan tanggapan etika Islam tentang unsur-unsur moralitas dan etika Islam dan prilaku moral kehidupan.
Pada Bab V, sebagai Bab penutup dalam penulisan skripsi ini, dimana penulis mengemukakan beberapa kesimpulan yang dapat dijadikan landasan berpikir dan penelitian serta saran-saran sebagai rangkaian dalam skripsi ini.
         
                                                                                                             
                                 
                                                                                                           


[4]Lihat L. Laeyerdecker, TataPerubahan dan Ketimpangan ;Suatu Pengantar Sejarah Sosiaologi (Cet. II; Jakarta: Gramedia,1991), h. 1-32

[5]Lihat Ibid., h. 38-43
[6]Lihat P. Leenhouwers, op.cit., h. 260-260
[7]Lihat Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Edisi I (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), h. 7
[8]K.J. Veeger, Realitas Soaial; Refleksi Filsafat Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala Sosiologi (Cet. III; Jakarta: Gramedia, 1990), h. 175
[9]Tufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, op.cit., h. 3 disadur dari buku Durkheim, The Division in Society, h. 33  
[10]Imam Malik Ibnu Anas ra., Al-Muwaththa’ (Bairut: Darul Al-Kabil, 1414 H), h. 789
[11]Ensiklopedia Indonesia, Jilid IV (Jakarta: Ichtiar Baru – Van Houve, 1983), h. 2288
[12]Lihat W. Poespoprodjo L. PH., op.cit., h. 102
[13]Franz Magnis Suseno, et.all., Etika Sosial; Buku Panduan Mahasiswa  PBI-PBVI (Cet. III; Jakarta: Gramedia, 1993),h. 9
[14]Lihat Robert C. Solomon, Ethics;  a Brief Intrrudaction, dialih Bahasakan oleh R. Andre Karo-karo dengan judul “Etika; Suatu Pengantar” (Jakarta: Erlangga, 1987), h. 78
[15]Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 855
[16]Ibid., h. 860
[17]Lihat ibid., h. 32
[18]Lihat ibid., h. 242. Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata philo berarti“cinta” dan sophia berarti “ilmu pengetahuan”, sehingga kedua kata tersebut dirangkai menjadiphilosophia yang bermakna “cinta ilmu pengetahuan”. Lihat  Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy,dialih bahasakan oleh Soejono Soemargono dengan judul “Pengantar Filsafat” (Cet. V; Yokyakarta: Tiara Wacana Yokya, 1992), h. i  lebih lanjut Filsafat bermakna berpikir secara mendalam tentang hakikat segala sesuatu sampai pada akar-akarnya. Ibid., h. 3-16
[19]Franz Magnis Suseno, et.all., loc.cit.
[20]Depaetemen Agama RI, Ensiklopedia Islam di Indonesia, Jilid I (Jakarta: CV. Anda Utama, 1992), h. 104
[21]Lihat Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jilid IV (Cet. I; Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1989), h.430-431
[22]Lihat Ridwan Tang, Metodologi Research; Suatu Himpunan Kuliah (Ujungpandang: Fak. Ushuluddin IAIN Alauddin UP., 1993), h. 20
[23]Lihat H. Hadari Nawawi*dan H. M. Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosiologi (Cet. II; Yokyakarta: Gaja Mada University, 1995), h. 66
[24]Lihat Sutrisno Hadi, Metodologi Resesarch, Jilid I (Cet XXVII; Yokyakarta: Andi Offset, 1994), h. 36-49

0 komentar: