Berbicara tentang manusia berarti kita berbicara tentang dan pada diri kita sendiri makhluk yang paling unik di bumi ini. Banyak di antara ciptaan Allah yang telah disampaikan lewat wahyu yaitu kitab suci. Manusia merupakan makhluk yang paling istimewa dibandingkan dengan makhluk yang lain. Menurut Ismail Rajfi manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan.[1]
Manusia mempunyai kelebihan yang luar biasa. Kelebihan itu adalah dikaruniainya akal. Dengan dikarunia akal, manusia dapat mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya serta mampu mengatur dan mengelola alam semesta ciptaan Allah adalah sebagai amanah.
Selain itu manusia juga dilengakapi unsur lain yaitu qolbu (hati). Dengan qolbunya manusia dapat menjadikan dirinya sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman dan kehadiran Ilahi secara spiritual.[2]
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain, dengan memiliki potensi akal, qolbu dan potensi-potensi lain untuk digunakan sebagai modal mengembangkan kehidupan.
Hakikat wujud manusia menurut Ahmad Tafsir adalah makhluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa manusia mempunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh banyaknya potensi yang dimiliki. Dalam hal ini beliau membagi kecenderungan itu dalam dua garis besar yaitu cenderung menjadi orang baik dan cenderung menjadi orang jahat.[3]
Pemahaman tentang manusia merupakan bagian dari kajian filsafat. Tak mengherankan jika banyak sekali kajian atau pemikiran yang telah dicurahkan untuk membahas tentang manusia . walaupun demikian, persoalan tentang manusia ajan menjadi misteri yang tek terselesaikan. Hal ini menurut Husein Aqil al-Munawwar dalam Jalaluddin: karena keterbatasan pengetahuan para ilmuan untuk menjangkau segala aspek yang terdapat dalam diri manusia. Lebih lanjut Jalaluddin mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk Allah yang istimewa agaknya memang memiliki latar belakang kehidupan yang penuh rahasia.[4]
Dengan demikian, memang yang menjadi keterbatasan untuk mengetahui segala aspek yang terdapat pada diri manusia itu adalah selain keterbatan para ilmuan untuk mengkajinya, juga dilatarbelakangi oleh faktor keistimewaan manusia itu sendiri.
Walaupun demikian, sebagai hamba yang lemah, usaha untuk mempelajarinya tidaklah berhenti begitu saja. Banyak sumber yang mendukung untuk mempelajari manusia. Di antara sumber yang paling tinggi adalah Kitab Suci Al-Qur’an. Yang mana di dalamnya banyak terdapat petunjuk-petunjuk tentang penciptaan manusia. Konsep-konsep tentang manusia banyak dibahas, mulai dari proses penciptaan sampai kepada fungsinya sebagai makhluk ciptaan Allah.
Dalam makalah ini kami berupaya untuk menguraikan secara sederhana tentang hakikat manusia dan kedudukannya di alam semesta. Yang sudah tentu hal ini merupakan kajian untuk mempejari penciptaan manusia.
1. KONSEP AL-NAFS
$pkçJƒr'¯»tƒß§øÿ¨Z9$#èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$#ÇËÐÈ
27. Hai jiwa yang tenang.
An-Nafs dalam kebanyakan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, diartikan dengan Jiwa atau diri. Padahal sesungguhnya An-Nafs ini menunjuk kepada dua maksud, yaitu : hawa nafsu dan hakikat dari manusia itu sendiri (diri manusia).
1. Hawa Nafsu
Nafsu yang mengarah kepada sifat-sifat tercela pada manusia. Yang akan menyesatkan dan menjauh dari Allah. Inilah yang oleh Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan Al Baihaqi dari Ibnu Abbas : “Musuhmu yang terbesar adalah nafsumu yang berada diantara kedua lambungmu”.
2. Diri Manusia
Diri manusia ini apabila tenang, jauh dari goncangan disebabkan pengaruh hawa nafsu dan syahwat, dinamakan Nafsu Muthmainnah.“Hai jiwa yang tenang (nafsu muthmainnah), kembalilah kepada Tuhanmu, merasa senang (kepada Tuhan) dan (Tuhan) merasa senang kepadanya”. (QS Al Fajr : 27-28)
Bila Al Qur’an menggunakan An-Nafs dalam bentuk jamak, ini sesungguhnya merefer kepada Jiwa-jiwa yang banyak. Yaitu Hawa Nafsu. Karena bentuk Hawa Nafsu itu banyak. Seperti marah, sombong, ria, ujub, ingin dihormati, dsb.Namun bila An-Nafs ini dalam bentuk tunggal, maka sesungguhnya ia merefer kepada Jiwa yang tunggal yaitu Nafsu Muthmainnah. Karena memang Nafsu Muthmainnah ini tunggal, dan ini merupakan Hakikat diri manusia. Jadi ayat ini sesungguhnya mempunyai maksud agar manusia keluar dari dominasi hawa nafsu. Hawa nafsu dan syahwat ini bukan dibunuh dan dihilangkan. Tetapi dikontrol oleh Nafsu Muthmainnah.
Seorang yang hatinya telah didominasi oleh Nafsu Muthmainnah, bukan lagi oleh syahwat atau hawa nafsu, maka Nafsu Muthmainnah menjadi Imam bagi seluruh tubuh dan dirinya. Dan seperti dikatakan dalam penjelasan sebelumnya, sesungguhnya Nafsu Muthmainnah inilah yang disebut Jati Diri manusia itu. Hakikat dari manusia itu.
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa (An-Nafs) mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu”. Mereka menjawab:”Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (QS. 7:172)
Siapakah yang berjanji dalam ayat diatas? Apakah kita pernah merasa berjanji? Yang berjanji seperti disebutkan di ayat diatas, bukanlah ruh. Tetapi Jiwa yang tunggal, Nafsu Muthmainnah. Namun kemana Nafsu Muthmainnah kita sekarang? Sejak kita dilahirkan ke bumi, berapa puluh tahun yang lalu, sudah berapa banyak kita membiarkan hati kita di dominasi Syahwat dan Hawa Nafsu? Pada dasarnya, Jiwa (Nafsu Muthmainnah) kita ini seperti juga jasad. Jasad membutuhkan makan, demikian pula dengan Jiwa. Jasad membutuhkan makanan berupa : karbohidrat, vitamin, mineral, protein, dsb. Jiwa juga membutuhkan makanan, seperti : shalat, dzikir, puasa, dsb.
Dalam sehari orang pada umumnya jasadnya membutuhkan makan 3 kali, dengan kadar karbohidrat, vitamin, mineral, protein tertentu. Apabila ini tidak terpenuhi maka akan sakit, bahkan mati, demikian juga dengan jiwa.[5]
2. KONSEP AL-INSAN
Manusia disebut al-insaan karena dia sering menjadi pelupa sehingga diperlukan teguran dan peringatan.[6] Disamping itu juga manusia adalah makhluk yang lemah seperti yang dijelaskan oleh Firman Allah:
߉ƒÌリ!$#br&y#Ïeÿsƒä†öNä3Ytã4t,Î=äzurß`»|¡RM}$#$Zÿ‹Ïè|ÊÇËÑÈ
28. Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.
Kata insan bila dilihat asal kata al-nas, berarti melihat, mengetahui, dan minta izin. Atas dasar ini, kata tersebut mengandung petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan kemampuan penalarannya. Manusia dapat mengambil pelajaran dari hal-hal yang dilihatnya, dapat mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, serta dapat meminta izin ketika akan menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Berdasarkan pengertian ini, tampak bahwa manusia mampunyai potensi untuk dididik.[7]
Potensi manusia menurut konsep al-Insan diarahkan pada upaya mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi.[8]Sedangkan menurut pendapat Asy’ari manusia dalam konteks insan, adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian ideal, sementara kata basyar menun-jukkan manusia sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian material seperti yang tampak pada aktivitas fisiknya.[9]
Maka dari itu jelas sekali bahwa dari kreativitasnya, manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan berupa pemikiran (ilmu pengetahuan), kesenian, ataupun benda-benda ciptaan. Kemudian melalui kemampuan berinovasi, manusia mampu merekayasa temuan-temuan baru dalam berbagai bidang. Dengan demikian manusia dapat menjadikan dirinya makhluk yang berbudaya dan berperadaban.
3. KONSEP AL-BASYR
ô`ÏBurÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä÷br&Nä3s)n=s{`ÏiB5>#tè?¢OèO!#sŒÎ)OçFRr&Öt±o0šcrçŽÅ³tFZs?ÇËÉÈ
20. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.
Penelitian terhadap kata manusia yang disebut al-Qur’an dengan menggunakan kata basyar menyebutkan, bahwa yang dimaksud manusia basyar adalah anak turun Adam, makhluk fisik yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang membuat pengertian basyar mencakup anak turun Adam secara keseluruhan.[10]Menurut Abdul Mukti Ro’uf, kata basyar disebutkan sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan hanya sekali dalam bentuk mutsanna.[11]
Jalaluddin mengatakan bahwa berdasarkan konsep basyr, manusia tidak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah prinsip kehidupan biologis seperti berkembang biak. Sebagaimana halnya dengan makhluk biologis lain, seperti binatang. Mengenai proses dan fase perkembangan manusia sebagai makhluk biologis, ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an, yaitu:[12]
1. Prenatal (sebelum lahir), proses penciptaan manusia berawal dari pembuahan (pembuahan sel dengan sperma) di dalam rahim, pembentukan fisik (QS. 23: 12-14)
2. Post natal (sesudah lahir) proses perkembangan dari bayi, remaja, dewasa dan usia lanjut (QS. 40: 67)
Secara sederhana, Quraish Shihab menyatakan bahwa manusia dinamai basyar karena kulitnya yang tampak jelas dan berbeda dengan kulit-kulit binatang yang lain.[13]Dengan kata lain, kata basyar senantiasa mengacu pada manusia dari aspek lahiriahnya, mempunyai bentuk tubuh yang sama, makan dan minum dari bahan yang sama yang ada di dunia ini. Dan oleh pertambahan usianya, kondisi fisiknya akan menurun, menjadi tua, dan akhirnya ajalpun menjemputnya.[14]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia dalam konsep al-Basyr ini dapat berubah fisik, yaitu semakin tua fisiknya akan semakin lemah dan akhirnya meninggal dunia. Dan dalam konsep al-Basyr ini juga dapat tergambar tentang bagaimana seharusnya peran manusia sebagai makhluk biologis. Bagaimana dia berupaya untuk memenuhi kebutuhannya secara benar sesuai tuntunan Penciptanya. Yakni dalam memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier.
4. KONSEP AL-NAS
Dalam konsep an-naas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Tentunya sebagai makhluk sosial manusia harus mengutamakan keharmonisan bermasyarakat. Manusia harus hidup sosial artinya tidak boleh sendiri-sendiri. Karena manusia tidak bisa hidup sendiri.[15]
Jika kita kembali ke asal mula terjadinya manusia yang bermula dari pasangan laki-laki dan wanita (Adam dan Hawa), dan berkembang menjadi masyarakat dengan kata lain adanya pengakuan terhadap spesis di dunia ini, menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan tidak boleh saling menjatuhkan. Secara sederhana, inilah sebenarnya fungsi manusia dalam konsep an-naas.Seperti yang difirmankanoleh Allah SWT dalamkitabnyayaitu:
$yg•ƒr'¯»tƒâ¨$¨Z9$#(#qè=ä.$£JÏB’ÎûÇÚö‘F{$#Wx»n=ym$Y7Íh‹sÛŸwur(#qãèÎ6®Ks?ÏNºuqäÜäzÇ`»sÜø‹¤±9$#4¼çm¯RÎ)öNä3s9Ar߉tãîûüÎ7•BÇÊÏÑÈ
168. Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Ayat di atasmenjelaskanbahwakitasebagaimanusiadiperintahkanuntukmenjauhilangkah-langkahsaitan, seperticontohkecilnya yang telahdijelaskan di atas, yaitukitasebagaimanusia yang sudahsepatutnyahidupsallingmenghargaitidakdiperkenankanuntukmenjatuhkanantarasatudengan yang lainnya.
5. KONSEP BANI ADAM
Kenapa manusia disebut bani adam ?Jika kita perhatikan pertanyaan di atas, makajawaban yang paling dekat dari pertanyaan tersebut adalah karena manusia itu pada hakikatnya adalah turunan dari manusia pertama yang bernama Adam, karena itulah disebut Bani Adam(Keturunan Adam). Jawaban ini tentu tidak salah, tetapi ada rahasia yang sangat agung kenapa Allah menyebut manusia sebagai Bani Adam. Allah swt. berfirman dalam al Quran surat al Isra ayat 70 :
*ô‰s)s9ur$oYøB§x.ûÓÍ_t/tPyŠ#uäöNßg»oYù=uHxqur’ÎûÎhŽy9ø9$#Ìóst7ø9$#urNßg»oYø%y—u‘uršÆÏiBÏM»t7ÍhŠ©Ü9$#óOßg»uZù=žÒsùur4’n?tã9ŽÏVŸ2ô`£JÏiB$oYø)n=yzWxŠÅÒøÿs?ÇÐÉÈ
70. Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Jika kita simak, kenapa Allah tidak menyebutkan nama lain dari manusia seperti,insan, basyar atau an-Naas, tetapi Allah menggunakan istilah Bani Adam? tentu ada rahasia besar yang terkandung dalam istilah Bani Adam.
Al Quran merupakan kalam yang agung, karena itu pemilihan katanya pun sangat selektif dan tentu saja sangat sesuai dengan tuntutan alur kalam. Pada ayat di atas Allah secara tegas mengatakan bahwa Dia memuliakan anak-anak Adam dengan memberi mereka akal, bisa berbicara, bisa menulis, bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, bentuk tubuh yang baik, bisa berdiri tegak serta bisa mengatur kehidupan, baik sekarang di dunia maupun untuk nanti di akhirat.
Menurut Ibnu Katsir, Allah memuliakan manusia dengan bisa berjalan tegak di atas kedua kakinya, bisa mengambil makanan dengan kedua tangannya, sedangkan makhluk yang lain tidak bisa melakukan dua hal tersebut secara bersamaan, mereka berjalan dengan keempat kakinya dan mengambil makanan dengan mulunya. Manusia juga dimuliakan oleh Allah dengan memberi mereka pendengaran, penglihatan dan hati, dimana ketiganya merupakan modal yang berharga untuk memahami segala hal, kemudian mengambil manfaat dari hal tersebut. Selain itu tiga alat ini merupakan modal dalam membedakan segala sesuatu, mengetahui manfaatnya, mengetahui keistimewaan serta kemudaratannya, baik untuk urusan dunia maupun akhirat.
Adapun kata bani adam dan zurriyat Adam, yang berarti anak Adam atau keturunan Adam, digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dari asal keturunannya (Quraish Shihab, 1996: 278). Dalam Al-Qur’an istilah bani adam disebutkan sebanyak 7 kali dalam 7 ayat.[16]
Menurut Thabathaba’i dalam Samsul Nizar (2001: 52), penggunaan kata bani Adam menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini setidaknya ada tiga aspek yang dikaji, yaitu: Pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, di antaranya adalah dengan berpakaian guna manutup auratnya. Kedua, mengingatkan pada keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang mengajak kepada keingkaran.Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah dan mentauhidkanNya. Kesemuanya itu adalah merupakan anjuran sekaligus peringatan Allah dalam rangka memuliakan keturunan Adam dibanding makhluk-Nya yang lain.
Lebih lanjut Jalaluddin (2003: 27) mengatakan konsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh adalah mengacu kepada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusian.[17]
Lebih lanjut Jalaluddin (2003: 27) mengatakan konsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh adalah mengacu kepada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusian.[17]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia dalam konsep Bani Adam, adalah sebuah usaha pemersatu (persatuan dan kesatuan) tidak ada perbedaan sesamanya, yang juga mengacu pada nilai penghormatan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian serta mengedepankan HAM. Karena yang membedakan hanyalah ketaqwaannya kepada Pencipta. Sebagaimana yang diutarakan dalam QS. Al-Hujarat: 13).
Dari uraian di atas, kita dapat menangkap bahwa kenapa Allah menggunakan istilah Bani Adam, karena pada ayat ini Allah akan menjelaskan bagaimana manusia itu lebih unggul dibanding makhluk manapun, oleh karena itu penggunaan istilah Bani Adam dapat mempertegas bagaimana unggulnya manusia dibanding dengan makhluk lain, seperti unggulnya Nabi Adam dibanding malaikat, dimana malaikat pernah diperintah oleh Allah untuk memberi penghormatan kepada Adam. Dengan demikian maka konsep manusia sebagai bani Adam adalah bahwa manusia itu memiliki banyak keunggulan dibanding makhluk yang lain, sehingga makhluk yang lain tunduk kepada manusia dan dipersiapkan untuk kemaslahatan manusia sebagai predikat khalifah dimuka bumi ini. Wallahu A'lam.
6. KONSEP AL-INS
$tBuràMø)n=yz£`Ågø:$#}§RM}$#uržwÎ)Èbr߉ç7÷èu‹Ï9ÇÎÏÈ
56. Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
Kata al-Ins dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 18 kali, masing-masing dalam 17 ayat dan 9 surat.[18] Muhammad Al-Baqi dalam Jalaluddin memaparkan al-Isn adalah homonim dari al-Jins dan al-Nufur.[19] Lebih lanjut Quraish Shihab mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan jin, maka manusia adalah makhluk yang kasab mata. Sedangkan jin adalah makhluk halus yang tidak tampak.[20]Sisi kemanusiaan pada manusia yang disebut dalam al-Qur’an dengan kata al-Ins dalam arti “tidak liar” atau “tidak biadab”, merupakan kesimpulan yang jelas bahwa manusia yang insia itu merupakan kebalikan dari jin yang menurut dalil aslinya bersifat metafisik yang identik dengan liar atau bebas (Aisyah Bintu Syati, 1999: 5).[21]
Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa dalam konsep al-ins manusia selalu di posisikan sebagai lawan dari kata jin yang bebas. bersifat halus dan tidak biadab. Jin adalah makhluk bukan manusia yang hidup di alam “antah berantah” dan alam yang tak terinderakan. Sedangkan manusia jelas dan dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada.
7. KONSEP Al-UNAS
Dalam al-Qur'an, ada tiga istilah kunci yang mengacu kepadamakna pokok manusia: basyar, insan, dan al-Nas. Adakonsep-konsep lain yang jarang dipergunakan dalam al-Qur'andan dapat dilacak pada salah satu di antara tiga istilah kuncidi atas, unas, anasiy, insiy, ins. Unas disebut lima kalidalam al-Qur'an (2:60; 7:82; 70:160; 17:71; 27:56) danmenunjukkan kelompok atau golongan manusia. Dalam QS. 2:60,misalnya, unas digunakan untuk menunjukkan 12 golongan dalamBani Israil.[22]
*ÏŒÎ)ur4’s+ó¡oKó™$#4†y›qãB¾ÏmÏBöqs)Ï9$oYù=à)sù>ÎŽôÑ$#š‚$|ÁyèÎn/tyfyÛø9$#(ôNtyfxÿR$$sùçm÷ZÏB$tFt^øO$#nouŽô³tã$YZøŠtã(ô‰s%zOÎ=tã‘@à2<¨$tRé&óOßgt/uŽô³¨B((#qè=à2(#qç/uŽõ°$#ur`ÏBÉ-ø—Íh‘«!$#Ÿwur(#öqsW÷ès?†ÎûÇÚö‘F{$#tûïωšøÿãBÇÏÉÈ
60. Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu". lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing)[55]. Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.
Satu mata air satu suku. Setiap kelompok suku, al-Qur’an menyebutnya أُنَاس (unās). Kalau diurut pengistilahan ini menurut al-Qur’an, kita akan menemukan tiga urutan kuantitas: insān (manusia individu), unās (manusia berkelompok), dan an-nāas (manusia secara keseluruhan tanpa kecuali). Kalau setiap unās memiliki masyrab (tempat minum)-nya sendiri-sendiri, bisa dikatakan setiap kelompok manusia yang disebut umat juga harus memiliki masyrab, yang merupakan sumber mata air bening, tempat masing-masing mereka memuaskan dahaga ruhaninya. Dan karena agama ini adalah agama ruhani, maka dapat difahami kalau fungsi masing-masing Khalifah yang jumlahnya 12 orang itu adalah sebagai masyrab terhadap pengikut atau umatnya masing-masing. Sekaligus menjelaskan betapa urgennya kehadiran Khalifah Ilahi ini di tiap kurun waktu tertentu.[23]
Begitulah kata unas yang dipaparkanolehMafatihul Jinan Community, bila kata insanberartiindividulaluan-naasadalah manusia secara keseluruhan, maka yang disebut unas adalah manusia yang berkelompok atau bersuku.
0 komentar:
Posting Komentar