Dalam filsafat ada tiga pembagian besar; ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Pada kasus cinta dimulai pembacaannya dari yang terakhir (aksiologi). Aksiologi terdiri dari etika dan estetika, maka jika cinta dipandang dari sudut aksiologi akan menghasilkan statement “beretika cinta pasti akan merasakan estetika cinta.” Estetika cinta dapat dirasakan ketika dan setelah beretika cinta, bagaimana bisa merasakan estetika cinta sedangkan etika cinta diabaikan?
Pembacaan selanjutnya dari sudut pandang epistemologi yang menjadi tindak lanjut dari aksiologi. Meminjam epistemologi tauhid, dalam cintapun sama epistemologinya, yaitu: “diyakini dengan hati, pembenaran dengan lisan, dan dilakukan dengan perbuatan atau tindakan.” Ketiga-tiganya harus utuh dan tidak bisa dipisahkan, karena kalau dipisah atau ada yang dihilangkan dari ketiga itu, apakah masih disebut epistemologi cinta?
Tidak berhenti disini, setelah beraksiologi cinta dengan cara epistemologi cinta akan sampai pada ontologi cinta. Artinya akan dapat diketahui definisi cinta yang sebenarnya, “cinta adalah cinta.” Definisi tersebut ringkasan dari definisi “tidak ada cinta kecuali cinta itu sendiri.” Ketika cinta didefinisikan dari kata-kata selain kata cinta itu sendiri, apakah itu sejatinya definisi cinta?
Ketiga pembahasan diatas dibagi menjadi tahapan-tahapan. Dalam tasawuf jika mau mencapai maqom hakikat, maka harus diawali dengan syariat dan dilanjutkan pada tahap makrifat yang akan menghantarkan pada maqom tertinggi, yaitu hakikat. Pada cintapun demikian -seperti tiga pembahasan di awal dari aksiologi ke epistemologi sampai ontologi-, syariat cinta adalah aksiologinya, makrifat cinta adalah epistemologinya, dan hakikat cinta adalah ontologinya.
Mafish de Philein
04 : 11 / 17 April 2011
0 komentar:
Posting Komentar